Dalam rangka menyambut hari kemerdekaan RI yang ke-75, pada hari Sabtu (15/8/2020) www.kagama.id mengadakan webinar berjudul “Kagama Ngopi Merdeka: Memerdekakan Kopi Indonesia”. Antusiasme teman-teman Kagama penggiat, pecinta dan penikmat kopi sungguh luar biasa. Dari target peserta yang hanya 70 orang ternyata di saat acara berlangsung tercatat peak peserta sampai 125 orang.
Sejumlah tokoh yang cukup lama malang melintang di dunia perkopian tampil menjadi narasumber webinar. Mereka adalah Putu Ardana (Owner Don Biyu Munduk Bali & Blue Tamblingan Coffee), Jay Wijayanto (International Q Processing Grader & Mulita Coffee Founder) dan Endro Kristanto (Owner Ignite Coffee). Webinar dimoderatori oleh Retno Rara yang merupakan owner Central Market Coffee Jogja. Hadir pula pembicara spesial Anwar Sanusi, Waketum 2 PP Kagama & Sekjen Kemendes PDTT yang berkenan memberikan opening speech.
Tampil sebagai pembicara pembuka, Anwar Sanusi mengatakan tema webinar memerdekakan kopi Indonesia sungguh luar biasa. Karena saat ini memang sepertinya belum ada kemerdekaan terhadap kopi, artinya ada ruang-ruang gerak yang terbatasi, sehingga kopi belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sebenarnya kopi-kopi Indonesia seperti kopi Lampung, kopi Toraja dan kopi Aceh sudah menempati posisi yang lumayan baik dan memiliki nilai yang cukup tinggi. Namun demikian rasanya masih ada persoalan yang terkait bagaimana petani kopi belum memiliki nilai manfaat atau nilai tambah yang memadai dari setiap usahanya.
Saat ini Kemendes PDTT mendorong pengembangan kopi di kawasan perdesaan. Di mana relevansinya adalah untuk memperkuat skala ekonomis dengan memproduksi komoditas unggulan kawasan, yang bertujuan untuk membuat desa atau petani menjadi penentu harga (price-maker) bukan hanya sekedar penerima harga (price-taker). Kita harus membangun kawasan yang mengandung kompetensi spesifik, termasuk kompetensi kopi di antaranya. Untuk mencapai target & sasaran kita harus memperkuat kolaborasi antar desa dalam sebuah pembangunan kawasan perdesaan yang solid. Kolaborasi harus melibatkan banyak kepentingan namun harus memiliki interest yang sama.
Untuk mendorong munculnya banyak cluster komoditas unggulan, termasuk kopi, harus jelas dalam setiap intervensi yang dilakukan pemerintah daerah dan desa dari berbagai pintu dengan koordinasi yang bagus. Dalam tahun-tahun terakhir ini desa mendapatkan kesempatan membangun dengan adanya dana desa. Dana desa bisa dipergunakan buat pengembangan para petani kopi dalam hal memiliki kesempatan meningkatkan kapasitas pengolahan. Kendala yang terjadi adalah masalah koordinasi yang kurang baik. Ada suatu daerah yang mendapatkan bantuan berlebih namun di daerah lain kurang. Itulah makanya Kemendes PDTT membangun data tunggal, berisi deskripsi jelas dari setiap kawasan, termasuk intervensi pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait.
Dari evaluasi yang ada ternyata masih banyak ditemukan anggaran-anggaran yang bisa kita pergunakan untuk mengembangkan produk-produk yang ada di desa dari segala sisi. Kita tidak cukup hanya memikirkan produksi saja namun juga meliputi pemasarannya. Intinya adalah bagaimana masyarakat petani bisa menjadi lebih sejahtera. Jika petani kopi sejahtera maka penikmat kopi akan mendapatkan produk olahan kopi dengan cita rasa tinggi.
Tampil sebagai nara sumber pertama, Putu Ardana yang biasa dipanggil Kaweng menggaris bawahi apa yang dikatakan oleh Anwar Sanusi, yaitu kopi kita belum merdeka. Sebagai contoh, barangkali kita paling banyak memiliki varian paling banyak di dunia ini, namun kita justru diajari minum kopi oleh negara yang notabene tidak menghasilkan kopi seperti Itali.
Kehadiran produk kopi Blue Tamblingan yang ia kelola di Munduk, Bali, didasari oleh 2 kekhawatiran. Yang pertama para petani belum merdeka dalam hal komoditas yang ditanam dan dalam hal menentukan harga. Yang kedua adalah masalah lingkungan di mana terjadi perubahan dari menanam tanaman keras seperti kopi menjadi menanam sayur atau bunga yang kebanyakan memakai pupuk kimia atau pestisida. Sehingga dampak lingkungannya sangat luar biasa buruk, yang mana belum pernah terjadi sebelumnya seperti tanah longsor, sedimentasi dan tingkat polutan terhadap air yang begitu tinggi. Padahal Munduk adalah daerah penyangga air cagar alam Batukahu yang memenuhi kebutuhan air 1/3 wilayah Bali.
Untuk mengembalikan petani menanam kopi lagi sangat sulit karena secara ekonomi nilainya kalah dengan sayur dan bunga-bungaan. Karena itu harus ada edukasi dan pemberdayaan terhadap petani. Juga petani harus ditawarkan hal-hal yang menguntungkan seperti produk dibeli dengan harga tinggi. Sudah 4 tahun Kaweng melakukan pendampingan kepada petani, efeknya lambat laun dari tahun ke tahun semakin banyak petani yang mau bergabung menanam kopi atau bersedia memelihara kembali kebun kopi yang mereka punya.
Seperti kita ketahui negara kita mempunyai diversity atau keberagaman hamparan yang jumlahnya sangat banyak. Beragam hamparan dan kawasan yang ada akhirnya menjadi fondasi lahirnya peradaban-peradaban yang kemudian disebut adat istiadat. Hamparan cagar alam Batukahu melahirkan masyarakat adat Tamblingan yang memuliakan air. Akibat diversity hamparan maka akan beragam pula hasil-hasil pertaniannya, termasuk kopi dengan kwalitas dan cita rasa yang berbeda. Kita mempunyai diversity kopi yang sangat beragam. Cita-cita untuk memerdekakan kopi bukan dengan cara menyeragamkan kopi, karena setiap hamparan kawasan menghadapi tantangan dan habitat yang berbeda.
Kopi Blue Tamblingan apabila kita hubungkan dengan Pancasila sebenarnya sudah memenuhi beberapa unsur. Masyarakat adat yang bertani secara tradisional mengaitkan pertanian dengan hal-hal ketuhanan atau spiritual, dengan memberi rasa hormat kepada kekuatan yang mereka tidak tahu. Lalu para petani yang mau bergabung akhirnya terjadi kohesi sosial yang kuat antar petani sehingga meningkatkan ikatan sosial. Secara ekonomi para petani akan mendapatkan harga yang fair, yang mana itu masuk dalam konsep keadilan sosial.
Narasumber kedua Endro Kristanto memaknai kemerdekaan bukan berarti bebas atau tidak tergantung kepada yang lainnya, namun naik level dari independent menjadi interdependent atau ada saling ketergantungan seluruh pelaku perkopian yang terlibat di Indonesia. Jadi seharusnya seluruh fungsi dan aktor dalam proses value change kopi mulai dari hulu sampai hilir bisa saling tergantung. Bukan bersaing secara tidak sehat atau saling mengeksploitasi. Intinya menjadi pemain yang bisa mandiri dan merdeka tapi juga saling ketergantungan yang menguntungkan.
Dampak perubahan iklim bisa menjadi salah satu ancaman dalam pertanian kopi. Ketika nanti temperatur global naik di atas 2 derajat celcius mungkin akan ada ancaman kepada tanaman kopi khususnya jenis arabika, karena pada ketinggian 1000 DPL bisa lebih panas dari sekarang. Jika petani kopi tidak bisa beradaptasi dengan perubahan iklim, maka produksi arabika ke depannya bisa menurun. Seperti kita ketahui produksi kopi arabika terbatas. Apabila bertambahpun akan tidak signifikan karena arabika harus tumbuh pada ketinggian tertentu.
Contoh kasus di Costa Rica perubahan iklim membuat hama penyakit sangat beragam yang mengancam kelangsungan hidup kopi arabika sehingga sebagian berpindah menanam robusta karena lebih tahan terhadap hama. Apabila arabika supplynya menurun maka dampaknya bisa jadi semakin langka dan membuat kompetisi menjadi tidak sehat & beresiko terhadap banyak orang khususnya pelaku bisnis kopi.
Sehubungan dengan tema kemerdekaan, Endro menyoroti tentang nasib petani perempuan yang mengalami semacam diskriminasi. Akses mendapatkan apapun nampaknya lebih banyak menyasar kepada petani laki-laki. Apabila petani secara keseluruhan sejahtera namun petani perempuan tidak, maka akan timbul konflik struktural yang mengakibatkan petani perempuan akan terancam kemerdekaannya. Endro sangat setuju dengan ide Sekjen Kemendes PDTT bagaimana kita bisa memfasilitasi penggunaaan dana desa untuk meningkatkan kesejahteraan petani kopi. Ia berharap suara petani perempuan dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) akan semakin didengarkan dan terkait anggaran dana desa mereka lebih intens dilibatkan sehingga kebutuhan mereka akan semakin terpenuhi dan bisa sederajat dengan petani laki-laki.
Yang terakhir adalah terkait dengan aktor-aktor yang terlibat di dunia kopi, hubungan antara pemilik usaha dan pekerja entitas bisnis kopi, entah itu perusahaan penggilingan, perusahaan roasting ataupun coffee shop, kita perlu melihat kemerdekaan dari para pelakunya. Kita memandang hubungan asimetri antara pemilik dan pekerja adalah suatu hal yang wajar karena pemilik adalah yang punya modal, namun yang penting pemilik harus mawas diri. Karena kecenderungan power tends to corrupt tidak hanya terjadi di dunia politik kekuasaan, melainkan juga di dunia bisnis. Jadi pemilik usaha baik besar atau kecil harus bisa memperlakukan para pekerjanya sebaik mungkin atau lebih memerdekakan kehidupan mereka demi terciptanya harmonisasi kerja serta kesejahteraan bersama.
Tampil sebagai narasumber terakhir, Jay Wijayanto banyak mengkritisi semua pihak terkait permasalahan kopi di Indonesia. Seperti kita tahu saat ini pandemi corona berdampak ke semua aspek kehidupan, termasuk kepada nasib petani kopi. Bagaimana tidak, restoran dan kafe-kafe tutup, sementara ekspor juga belum dibuka krannya. Petani bingung mau melempar ke mana hasil panennya. Nyaris tidak ada offtaker termasuk dari perusahaan besar yang biasa mengambil 70% lebih pangsa pasar kopi.
Penting sekali melihat kopi secara global. Di tingkat hulu, jarang sekali yang menyentuh prosesing dari red cherry menjadi grean bean. Di Indonesia kopi sudah dikenal 300 tahun lebih tetapi sangat sedikit yang tahu prosesnya. Pendampingan-pendampingan yang dilakukan instansi terkait banyak yang tidak tepat sasaran karena mungkin tidak ada maping sebelumnya.
Hubungannya dengan kemerdekaan yaitu kemerdekaan petani kopi sederhana sekali. Kalau mereka bisa hidup beserta keluarganya dari hasil panennya itu sudah dianggap merdeka. Di sinilah peran penting instansi terkait sebagai pendamping seperti koperasi & dinas pertanian harus memahami sungguh-sungguh kondisi di lapangan. Ironisnya policy maker di tingkat kabupaten banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Harus diakui kita lemah dalam Standard Operating System (SOP). Perusahaan kopi “Lisa & Leo” bisa menjadi prosesor kopi paling bagus di Indonesia dan mampu menjadi supplier produknya ke perusahaan besar di Amerika karena kuatnya SOP yang mereka miliki. Umumnya prosesing dari red cherry menjadi green bean mempunyai skala perbandingan 5:1 yang artinya 5 kg red cherry menjadi 1 kg green bean. Di “Lisa & Leo” skalanya bisa menjadi 10:1 karena proses sortir yang sangat ketat demi memperoleh hasil yang benar-benar berkualitas. Namun harga jual produk mereka perkilonya bisa sangat mahal dan mampu menembus pasar dunia.
Banyak prosesor kopi lain yang produknya tidak bisa diterima pasar karena tidak memenuhi standar. Misalnya soal tingkat kelembaban yang mensyaratkan angkanya 12%, kita hanya mengira-ngira aja tidak pakai alat ukur yang ada padahal harganya tidak mahal. Sehingga ketika saat ditawarkan dan diukur akhirnya ditolak karena tidak memenuhi standar.
Sebenarnya Indonesia sangat kaya raya untuk produk kopi, di mana saat ini kita masuk 3 besar eksportir kopi di bawah Brazil dan Vietnam. Namun sekali lagi kita sering mengabaikan SOP. Ke depannya Jay bersama para prosesor kopi bersertifikat internasional yang bisa mempertanggungjawabkan produknya akan bekerja sama mengangkat derajat kopi Indonesia. Masalah konsistensi yang akan menjadi prioritas mereka. Mereka akan mendampingi para petani di wilayah yang mau didampingi. Terbuka kemungkinan kerja sama dengan pemerintah daerah, andaikata tidakpun mereka tetap akan jalan sendiri. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah mengembangkan unit-unit prosesing dengan pemakaian alat bersama. Fokus di prosesing dirasa sudah cukup, karena jika petani sudah bisa memproduksi green bean tapi yang berkualitas, nampaknya kesejahteraan sudah bisa dibangun. Karena selama ini umumnya petani hanya mampu menjual red cherry kepada tengkulak dengan harga yang tidak bisa mereka tentukan sendiri.
Buat teman-teman yang ingin belajar memproses green bean dengan standar internasional, Jay sangat terbuka untuk berbagi pengetahuan. Dari usulan salah satu peserta webinar mengenai pembentukan satgas kopi, Jay sangat setuju. Ia kemudian mengajak rekan-rekan Kagama untuk segera membentuk satgas kopi yang berbakti secara riil demi kejayaan kopi nusantara yang ujungnya akan menyejahterakan petani. Misal membuat gerakan peduli kopi nasional dengan road map yang jelas. Karena di tingkat multi stake holder pemerintahan Jay justru sangat pesimis bisa terwujud. Lebih baik kita tangani sendiri dengan pembagian kerja sama yang jelas & ada kemungkinan bersinergi dengan Kemendes PDTT karena pertanian kopi pasti adanya di desa tidak mungkin di kota.
Leave a Reply