
Sesar Aktif Mengancam Kota-Kota Padat: Pakar Serukan Mitigasi Gempa Segera
Gempa bumi bukan lagi ancaman yang jauh di cakrawala. Ia berdiam di bawah kaki kita, tersembunyi dalam sesar aktif yang melintasi kota-kota padat penduduk di Jawa Barat. Webinar Kagama Prima yang digelar baru-baru ini mengungkap kenyataan tersebut dengan tegas: Indonesia harus segera beralih dari respons reaktif menuju strategi mitigasi yang proaktif dan berbasis ilmiah.

Dalam forum yang menghadirkan pakar dari BMKG, Basarnas, dan Pusat Studi Bencana Alam UGM, terungkap bahwa sistem sesar Baribis—yang membentang dari Bekasi hingga Cirebon—menyimpan potensi gempa dangkal dengan kedalaman 3–10 kilometer. “Gempa jenis ini menghasilkan guncangan permukaan yang sangat kuat. Jika terjadi di wilayah urban, dampaknya bisa sangat merusak,” ujar Dr. Daryono, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG. Ia menekankan pentingnya mikrozonasi, pembangunan gedung tahan gempa, dan jaringan sensor seismik yang padat untuk mendeteksi aktivitas geologi secara dini.

Namun mitigasi bukan hanya soal teknologi. Dr. Abdul Haris dari Basarnas menyoroti perlunya perubahan paradigma dalam penanganan bencana. “Komunitas harus menjadi garda terdepan. Kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan pemerintah sebagai satu-satunya aktor,” katanya. Ia mendorong pelatihan masyarakat, simulasi lintas sektor, dan pembentukan tim SAR bersertifikasi internasional untuk memperkuat kesiapsiagaan.

Galih Aris Wastanto, M.Sc., Peneliti Pusat Studi Bencana Alam UGM, memperkenalkan pendekatan aksi antisipatif—kerangka kerja yang menggabungkan sistem peringatan dini dengan perencanaan berbasis risiko. Meskipun gempa bumi sulit diprediksi secara presisi, tindakan preventif tetap bisa dilakukan melalui pemetaan bahaya, tata ruang yang sensitif terhadap risiko, dan mekanisme pendanaan seperti dana kontinjensi dan asuransi parametris. “Kita tidak bisa menunggu prediksi. Kita harus bertindak berdasarkan risiko yang sudah kita ketahui,” tegasnya.

Sesi tanya jawab mengungkap tantangan besar dalam integrasi data geologi ke dalam kebijakan pembangunan. Data sesar aktif yang berskala regional sering kali tidak kompatibel dengan peta tata ruang yang membutuhkan resolusi tinggi. Para ahli sepakat bahwa harmonisasi skala dan akurasi data adalah kunci agar risiko gempa benar-benar terintegrasi dalam kebijakan pembangunan.
Webinar ini juga menyoroti pentingnya teknologi dalam memperkuat ketahanan bencana. Integrasi AI, IoT, dan platform digital berbasis cloud menjadi strategi masa depan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dan respons real-time. “Rencana kontinjensi bukan lagi dokumen statis. Ia harus hidup, bisa diakses, dan dipahami oleh semua,” kata Galih.
Di tengah kompleksitas geologi dan kepadatan urban, Indonesia membutuhkan strategi terpadu yang menggabungkan ilmu pengetahuan, partisipasi komunitas, dan tata kelola yang cerdas. Webinar Kagama Prima menjadi pengingat bahwa menjaga bumi yang berguncang bukan hanya tugas para ahli, tetapi tanggung jawab kita semua.