Di penghujung tahun 2024 ini KAGAMA Teater (KATER) mendapatkan kesempatan istimewa mempersembahkab sebuah sosiodrama bertajuk “(Denmas Landung) Soerjopranoto Bertukar Jalan” di dua situs bersejarah, yaitu kompleks makam raja-raja Mataram Kotagade dan Pabrik Gula Madukismo, Rabu (4/12). Lakon yang dimainkan merupakan upaya tafsir ulang atas buku biografi Soerjopranoto dengan judul “Anak Bangsawan Bertukar Jalan” karya Budiawan, Ph.D. yang merupakan alumnus Jurusan Sejarah FIB UGM 1986. Bertindak sebagai penulis naskah adalah Dr. Ikun Sri Kuncoro, sedangkan penyutradaraan dipercayakan kepada Irfanuddien Ghozali.
Yang menarik dari pentas tersebut adalah adanya partisipasi aktif sekitar 100 penonton undangan khusus, yang terdiri dari unsur guru mapel Sejarah Kota Yogyakarta, guru mapel IPS Kab. Bantul, Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI) DPD Yogayakarta & DPC Bantul, dan keluarga ahli waris Soerjopranoto. Mereka dengan antusias mengikuti acara dari awal sampai akhir pentas, baik di Makam Kotagede maupun PG Madukismo.
Pementasan merupakan rangkaian dari proyek teater yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan melalui program Fasilitasi Bidang Kebudayaan Teater Kepahlawanan 2024. Pentas dengan judul besar “Teater Soerjopranoto: 6 Tubuh Si Raja Mogok” tersebut berlangsung selama 6 hari, 3-8 Desember 2024, mengambil tempat yang berbeda-beda dengan pelakon berbeda pula. KATER mendapatkan kesempatan tampil di hari kedua selama sehari penuh.
Tema yang diambil memang sengaja mengangkat sosok figur Soerjopranoto, agar khalayak lebih mengenalnya sebagai tokoh pahlawan nasional yang berperan penting dalam perjuangan bangsa ini. Soerjopranoto merupakan kakak kandung dari Soewardi Soerjanngrat atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Mereka berdua adalah putra dari Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Soerjaningrat, putra tertua dari Pakualam III.
Pada awal tahun 1920-an Soerjopranoto memanfaatkan privilegenya sebagai kaum priyayi untuk membela kaum tertindas dengan cara bergabung di beberapa organisasi pemuda dan pekerja, seperti Boedi Oetomo, Serikat Buruh Pegawai Negeri, hingga Sarekat Islam. Puncaknya adalah ia mendapat julukan “De Stakings Koning” alias si raja mogok, karena upayanya mengorganisir aksi mogok kerja masal yang menjadi ancaman kolonial Belanda.
Soerjopranoto juga mendirikan sekolah Adhi Dharma yang membantu kelas pekerja dengan pendidikan keterampilan yang memiliki ribuan siswa. Selain itu ia mendirikan koperasi yang diberi nama Mardi Kaskaya dengan tujuan utama untuk menyejahterakan anggotanya.
Pemikiran tokoh yang masa kecilnya sering dipanggil Denmas Landung itu sungguh luar biasa. Bersama dengan adiknya, Ki Hajar Dewantara, mereka berdua sering terlibat diskusi tentang apa saja, terutama yang berkaitan dengan kepentingan pergerakan kebangsaan.
Sisi itulah yang kemudian diangkat oleh KATER menjadi sebuah repertoar. Alur ceritanya terpusat pada diskusi intensif antara Soerjopranoto dan Ki Hajar. Berperan sebagai Soerjopranoto yaitu Margono Wedyopranasworo, dan Ketua KATER, Patah Ansori memerankan Ki Hajar.
“Selain kami berdua sebagai pelakon utama, 4 anggota KATER juga terlibat sebagai aktor pendukung. Beberapa bintang tamu dihadirkan untuk menambah daya tarik lakon, termasuk di antaranya aktor teater senior mas Landung Simatupang,” ucap Patah.
Patah menuturkan kali ini KATER tidak semata-mata bermain drama, namun juga melibatkan serta memosisikan penonton sebagai peserta ziarah sejarah mengenang kembali sisi-sisi kehidupan Raden Mas Soerjopranoto, tokoh pergerakan yang dijuluki si raja mogok pada masa kolonial Belanda. Hampir sehari penuh KATER tampil bukan di panggung konvensional, namun menggelar serangkaian pertunjukan yang berlangsung di 2 situs bersejarah yang terkait erat dengan Soerjopranoto, yaitu kompleks makam raja-raja Mataram Kotagede dan di Pabrik Gula Madukismo. Di masing-masing situs ada sosiodrama sederhana dengan format pergelaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi situs yang dikunjungi.
Patah menjelaskan mengapa dua situs bersejarah itu dipilih sebagai tempat pentas. Kompleks makam raja-raja Mataram Kotagade adalah tempat Pakualam III yang merupakan kakek Soerjopranoto dimakamkan. Sedangkan PG Madukismo adalah perusahaan di mana Soerjopranoto pernah menjadi staf administrasi. Menurut Patah, julukan Soerjopranoto sebagai si raja mogok disematkan padanya ketika ia mengorganisir aksi mogok kerja para buruh PG Madukismo.
“Apresiasi setinggi-tingginya kami acungkan buat Kementerian Kebudayaan yang menginisiasi pementasan teater tematik tentang kepahlawanan. Karena masih banyak tokoh-tokoh bangsa ini yang belum begitu dikenal oleh publik. Menjadi tugas kita bersama untuk memperkenalkannya kepada masyarakat luas, baik ketokohan dan pemikirannya,” pungkasnya.