Penulis: Sitawati Ken Utami
Siapa yang masih menyangsikan kekuatan perempuan? Perjuangan dalam diam, dalam damai maupun dalam ramai pun telah banyak diberitakan. Perempuan selalu punya caranya sendiri untuk mengekspresikan kegundahannya melihat fenomena yang terjadi di sekitarnya. Riuh rendahnya situasi sosial dan politik sebenarnya banyak yang menjadi perhatian kaum perempuan. Namun perempuan tak harus menunjukkan kegeramannya dengan kekerasan atau pertikaian. Salah satu cara yang elegan dilakukan oleh perempuan ialah mengekspresikan perasaannya dengan seni. Ya, berbagai seni dan salah satunya adalah seni Batik
Batik-batik tulis yang selama ini dipakai oleh (banyak) kaum perempuan dan (sedikit) kaum laki-laki itu sarat makna. Terutama batik batik klasik yang dibuat oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Berbagai ekspresi seni yang dituangkan dalam karya adi luhung itu menyampaikan pesan kepada para pemimpin, para penguasa yang mendominasi peta politik di negara ini. Demikian juga batik menceritakan “perbincangan” antar wilayah yang cantik serta menyatukan perbedaan demi perbedaan yang ada di bumi Pertiwi ini.
Filosofi Batik
Lihatlah nama nama motif dan filosofi beberapa batik ini. Makna yang terkandung di alamnya menyiratkan pesan terhadap kekuasaan yang tampil elegan dan bijaksana. Sejarah pun mencatat adanya kolaborasi antara daerah daerah atau wilayah wilayah yang seakan akan menjadi kontroversi, namun dinegosasikan dalam satu wadah, kain mori bahan dasar batik. Batik sudah mempertemukan antara daerah pesisir dan peadalaman, kraton dan rakyat kebanyakan, etnis pendatang dan etnis pribumi. Contoh munculnya aroma politik dalam keindahan selembar kain batik, terlihat pada motif berikut ini.
Motif Wahyu Tumurun, memiliki makna filosofi tertentu. Pola mahkota terbang yang menjadi motif utama menyimbolkan kemuliaan. Filosofinya menggambarkan pengharapan agar para pemakainya mendapat petunjuk, berkah , rahmat dan anugerah yang berlimpah dari Tuhan yang Maha Kuasa. Pengharapan untuk mencapai cita-cita, kedudukan ataupun pangkat. Sedangkan dalam hal khusus seperti pernikahan, motif ini menyiratkan berkah kehidupan lahir batin dan kebahagiaan yang langgeng (dikutip dari blog Fitinline).
Lihatlah batik Tiga Negeri. Batik yang disebut sebagai sebagai masterpiece dalam dunia perbatikan. Dari namanya, Batik tersebut merupakan perpaduan proses pengerjaan dari 3 tempat yaitu Lasem (warna merah), Pekalongan (warna biru) dan Solo (warna sogan/coklat). Tentu tidak mudah menyatukan tiga komponen warna yang merupakan representasi ciri khas budaya masyarakat setempat. Merah merupakan simbol warna kejayaan etnis tionghoa, sedangkan warna biru merupakan representasi adanya pengaruh Belanda dan coklat yang merupakan warna paling kuat di dunia perbatikan menjadi tanda adanya budaya Jawa. Betapa Batik sudah mengirimkan pesan secara halus dengan adanya perpaduan 3 warna tersebut ke dalam 1 lembar kain. Tak ada sedikit pun arogansi yang terlihat dari salah satu warna karena ketiganya mengambil peran yang seimbang. Tanpa banyak kata, pembatik pembatik tulis nan ayu gemulai memberi teladan akan keindahan perbedaan dalan keragaman.
Batik dalam Sejarah Bangsa
Dari masa ke masa, batik mewarnai sejarah bangsa sejak zaman kerajaan hingga zaman reformasi. Batik tidak hanya menjadi sekedar karya seni atau ungkapan rasa terhadap keindahan busana, tetapi juga menjadi media dalam perjuangan para tokoh-tokoh bangsa.
Ketika di masa kerajaan Surakarta, ada motif motif batik yang hanya boleh dipakai oleh keluarga kerajaan dan terlarang digunakan oleh masyarakat umum. Motif tersebut diantaranya adalah : Hoek, Parang Rusak, Semen Ageng Sawat Garuda, Udan Iris, Rujak Sente. Kebijakan kraton itu semata-mata dilakukan untuk meningkatkan wibawa kraton di mata kolonial Belanda. Bahkan seringkali kraton mengadakan upacara upacara untuk menunjukkan kemegahan kekuasaannya dan tentu saja pada kesempatan tersebut, keluarga kraton memamerkan keindahan batik tulis klasiknya yang penuh kharisma (disarikan dari phesolo.wordpress.com)
Pada zaman kerajaan Mataram, sejarah mencatat terjadinya Perang Diponegoro yang teramat dahsyat. Pada saat itu keluarga kerajaan terdesak hingga menyebar keluar dari kerajaan. Untuk melanjutkan kehidupannya, keluarga kraton tersebut mengembangkan batik sebagai salah satu langkah mengamankan kondisi perekonomian keluarga.
Politik devide et impera yang dijalankan oleh kolonial Belanda sudah memecah kerajaan Mataram menjadi 2 antara kerajaan Yogyakarta dan Surakarta yang terjadi dengan adanya perjanjian Gianti pada tahunn 1788. Kerajaan Mataram yang terbelah itu pun berimbas pada perbedaan yang terjadi pada motif-motif batik klasik. Seperti misalnya motif gagrak semua diboyong ke Yogkarta sehingga pada akhirnya kraton Surakarta pun memunculkan motif-motif baru yang digunakan oleh lingkungan kerajaan dan kemudian berkembang ke lingkungan masyarakat luas.
Pada masa pergerakan di Solo, H Samanhudi mendirikan organisasi Syarekat Dagang Islam (SDI). Pada awalnya SDI ini merupakan organisasi koperasi para pedagang batik di Solo. Serikat Dagang Islam ini merupakan cikal bakal berdirinya Serekat Islam. Pada perkembangannya, H Samanhudi bersama tokoh pergerakan seperi HOS Cokroaminoto, Abdul Muis dan H. Agus Salim membentuk Sarekat Islam. Organisasi ini kemudian berkembang menjadi partai bernafaskan agama Islam
Ketika memasuki masa kemerdekaan, Indonesia memasuki era transisi dari penjajahan Jepang menuju kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu batik Hokokai yang dipengaruhi oleh motif dan warna Jepang berganti nama dengan batik Jawa Baroe. Hai ini merupakan proses adaptasi batik terhadap pemerintah yang baru (blok Engrasia)
Bung Karno sebagai presiden pertama, proklamator Indonesia yang dikenal memiliki jiwa nasionalisme tinggi, menaruh perhatian besar terhadap batik sebagai alat pemersatu Bhineka Tunggal Ika. Pada zaman pemerintahan beliau, batik dipadukan coraknya antara corak batik kraton dan pesisir sehingga meminimalisir gap antara raja dan rakyat.
Kemudian pada masa kemerdekaan sampai dengan masa reformasi, ketika presiden berganti, kebijakan pemerintah berubah dan peta perpolitikan mengalami perubahan, batik tetap mendapat perhatian oleh pemerintah sebagai salah satu media untuk menunjukkan identitas bangsa. Kebijakan pemerintah dalam pemakaian batik untuk seluruh Pegawai Negeri Sipil pada hari tertentu dituangkan dalam Permendagri No.6 Tahun 20016 tentang Perubahan ketiga Permendagri No.60 Tahun 2007 Tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Kemendagri dan Pemerintah Daerah . Pemakaian batik juga meluas ke sekolah-sekolah yang merupakan lembaga paling efektif untuk memberikan edukasi terhadap kecintaan pada batik. Di beberapa wilayah di Indonesia, para pemimpin daerah bahkan sudah menerapkan pemakaian busana tradisional pada sekolah, instansi pemerintah dan masyarakat luas, seperti misalnya kebijakan pemerintah di wilayah Jawa Barat dengan kebijakan Rabu Nyunda.
Peran Perempuan dalam Perkembangan Batik
Dalam perjalanan batik yang mewarnai pergolakan politik dari jaman kerajaan, zaman pergerakan, zaman kemerdekaan sampai saat ini, perempuan memegang peran penting. Beberapa catatan tentang peran perempuan tergambarkan dalam riwayat berikut ini.
Di masa kemerdekaan, sudah tak asing nama RA Kartini sebagai pejuang emansipasi wanita. Namun sesungguhnya perjuangan RA Kartini bukanlah “setipis” itu. Kartini dikenang sebagai pahlawan emansipasi karena keinginannya berada sama tinggi dengan pria dalam memperjuangkan nasib bangsanya. Ketika terjadi penjajahan terhadap kaum Hindia, beliau bergerak lincah membantu meningkatkan taraf sosial ekonomi masyarakat , salah satunya dengan membina para pembatik di Jepara. Mampu membatik sejak umur 12 tahun, Kartini sudah merambah mengembangkan batik dengan membuat tulisan didasari riset tentang batik serta berpastisipasi mengirimkan batik pada Pameran Nasional untuk Karya Wanita di Nederlang pada tahun 1898. Tujuannya bukan saja untuk memamerkan hasil karya bangsa Hindia, manun juga menunjukkan kemakmuran rakyat dengan karya batik yang berkelas tinggi (disarikan dari buku Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya Ananta Toer)
Ketika para lelaki berperan sebagai pemimpin dan mengambil keputusan penting untuk negara dan bangsa, maka perempuan akan mengambil peran yang besar untuk mendukung keputusan tersebut. Ketika batik sudah dijadikan simbol kejayaan negara Indonesia, maka para ibu negara lah yang bertugas menunjukkan penggunaan batik pada kesempatan-kesempatan istimewa kenegaraan atau sebagai pendorong para perempuan lainnya untuk penyebarluaskan pemakaian batik ke semua organisasi perempuan. Tentu saja masa yang paling khusus perempuan memegang peran penting di negara ini, ketika Ibu Megawati menjadi presiden, Selain pengambil kebijakan, maka beliau sendirilah yang berperan dalam menunjung wibawa batik di mata dunia.
Beberapa ibu negara pun menjadi perbincangan dalam penggunaan batik bahkan pakaian tradisional sehingga menjadi trend setter di dunia fashion. Salah satunya adalah ibu Tien Soeharto yang selalu memakai batik klasik beserta kebaya yang anggun, bahkan dalam kesempatan yang santai berlibur atau bermain bowling. Ibu negara Iriana juga saat ini menjadi perbincangan di media, karena seringkali memakai kain kebaya klasik ketika saat ini kain kebaya klasik mengalami lesu darah, sudah tidak lagi menjadi pakaian sehari hari yang dikenakan perempuan sebagaimana era 20 tahun belakangan ini.
Perkembangan batik dari batik tulis menjadi batik cap dan variannya memberi pengaruh terhadap eksistensi perempuan terhadap produksi batik. Batik tulis yang lembut dan anggun sebagian besar hasil karya tangan-tangan halus kaum perempuan lengkap dengan suasana yang dramatis ketika canting bertemu dengan malam dan selanjutnya menari di atas kain, didahului dengan tiupan bibir untuk menjada suhu malam pada canting. Suasana inilah yang seringkali menumbuhkan kecintaan yang lebih tinggi terhadap batik tulis.
Industrialisasi batik menuju batik cap menjadikan peran perempuan tergeser oleh laki laki yang bertenaga membubuhkan mal cap ke kain. Ini menjadikan nilai batik lebih merakyat. Harganya lebih mudah dijangkau. Namun demikian nilai seni batik tetaplah lebih tinggi pada proses pembuatan batik tulis. Inilah yang diakui Unesco, batik sebagai salah satu warisan dunia.
Masa depan batik sebagai salah satu warisan budaya perlu dicermati eksistensinya. Apabila tidak ada intervensi dari penentu kebijakan, maka batik akan berjalan mengikuti arus. Untuk melestarikan batik khususnya batik tulis, perlu adanya campur tangan pemerintah dan disikapi oleh seluruh elemen masyarakat. Karena batik bukan hanya asset bangsa, batik adalah identitas bangsa Indonesia.
*) Tulisan tersebut menjadi juara I lomba penulisan esai bulan bahasa tahun 2016
*) Foto batik-batik di bawah ini adalah koleksi pribadi penulis
Leave a Reply