Webinar Kagama Fotografi 2: Teguh Santosa Berkisah tentang Malam yang Terlupakan

Hari Sabtu (3/10/2020) jam 15.00 s/d 17 WIB berlangsung webinar Kagama Fotografi #2 dengan judul “Chasing Light at the Edges of Night – Kisah tentang Malam yang Terlupakan”, menghadirkan narasumber utama Teguh Santosa, seorang fotografer yang terkenal dengan karya-karya foto makronya. Sebagai host acara adalah Wahyu W. Basjir dan Belinda Arunarwati Margono, Koordinator Departemen Pengembangan Seni dan Budaya PP Kagama, tampil menyampaikan pidato pembukaan.

Belinda Arunarwati Margono di awal sambutannya memberikan apresiasi kepada Kagama Fotografi yang tetap berkarya di tengah pandemi. Menurutnya fotografi adalah media ekspresi sekaligus media komunikasi yang mampu membawa pesan. Pesan yang tidak terucap namun bisa dipahami oleh pemirsa cukup hanya dengan melihatnya. Fotografi adalah penggabungan hasrat atau passion manusia sendiri, juga kejelian dalam melihat moment yang merupakan batas antara realita dan imajinasi. Dikombinasikan dengan perpaduan teknis maka akan terlihat keindahan yang muncul dari sebuah obyek foto.

Belinda Arunarwati Margono, Koordinator Departemen Pengembangan Seni dan Budaya PP Kagama

Teguh Santosa memulai paparannya dengan menanyakan kapankah waktu yang disebut awal hari? Sebagian besar menjawab awal hari adalah pagi hari dan berakhir pada senja hari. Menurut Teguh dengan konsep seperti itu menjadikan malam hari seperti hilang tidak ada yang memikirkan. Malam yang terlupakan itulah yang menjadi inspirasinya dalam penulisan buku barunya yang berjudul “Chasing Light at the Edges of Night”. Sejumlah 130 foto dalam buku setebal 228 halaman tersebut kesemuanya dipotret pada malam hari. Teguh menyebut waktu memotretnya dengan istilah dari maghrib sampai masyriq, dari senja hingga fajar menjelang.

Teguh Santosa, narasumber utama

Buku karyanya tersebut diawali oleh foto-foto makro dan diakhiri dengan foto makro juga. Sengaja Teguh tidak memberi judul panjang kepada setiap fotonya, dengan alasan biarkan gambar yang bercerita. Judul hanyalah menyebutkan nama tempat dan waktu pemotretan.

Teguh dalam pemotretan di malam hari nyaris tidak menggunakan cahaya tambahan. Jadi hampir semuanya menggunakan available light atau cahaya on the spot apa adanya. Meski tidak dipungkiri pada saat post processing akan ada adjustment light dan adjustment color.

Ada yang istimewa buat Teguh saat memotret langit di dalam hari dengan obyek galaksi bima sakti atau milky way. Hal mana yang membuatnya tersentak akan konsep ruang dan waktu. Jarak antara bintang dengan bumi adalah ribuan tahun bahkan jutaan tahun cahaya. Ketika ia memotret saat ini bintangnya merupakan obyek masa lalu dan barangkali bahkan sudah pada mati. Jadi yang dipotret adalah cahaya yang sudah ‘basi’ dari masa silam. Artinya kekinian itu hanyalah nisbi dan tidak ada.

Sedikit keluar dari topik utama, Teguh mengatakan jangan pernah takut mencoba untuk memotret dari perspektif yang berbeda, dan menampilkannya dengan cara yang tidak lazim. Kita kadang akan mendaptakan hasil foto yang menakjubkan manakala kita memotret dari sudut yang paling ekstrim. Memotret dari sudut yang berbeda pasti akan dihasilkan foto yang berbeda pula, meski obyeknya sama. Perspektif yang akan membuat cerita sebuah foto berbeda. Misalnya foto ditampilkan terbalik atau upside down photography, akan terlihat lebih impresif dibandingkan perspektif normal.

Bicara tentang keseluruhan, membuat buku fotografi itu bukan sekedar membuat album foto. Juga bukan semata foto bagus yang berjibun jumlahnya. Menyusun sebuah fotografi itu sebaiknya dimulai dari konsep yang ditulis agar komunikatif. Konsep itulah yang menjadi benang cahaya yang mengikat keseluruhan foto menjadi rangkaian yang padu dan harmonis.

Tidak semua foto yang kita anggap bagus harus ditampilkan. Keunikan dan kesesuaian dengan tema harus menjadi pertimbangan utama di samping kualitas foto. Di sinilah pentingnya peran kurator yang kompeten untuk mengkurasi foto-foto yang akan ditampilkan. Fotografer tidak bisa memilih karyanya sendiri karena seringkali subyektivitas menjadi sangat kuat.

Ketika sudah diterbitkan, menikmati sebuah karya buku fotografi itu berbeda dengan menikmati sebuah (atau banyak) foto. Analoginya seperti sebuah foto film yang dibuat dari novel. Menilai sebuah novel pastilah tidak sama dengan menilai sebuah film, meski bahannya sama.

Buku fotografi, meski bahan utamanya foto, akan menjadi sebiah karya yang lain ketika menjadi buku, yaitu pustaka. Di dalamnya seharusnya secara utuh konsepnya, alur foto, desain / layout, kualitas kertas dan cetak. Mana foto yang harus tampil besar atau kecil, mana foot yang harus ditampilkan utuh atau harus dicrop.

“Apresiasi terhadap buki fotografi seharusnya memang dalam bentuk pustaka. Karena jika hanya ingin melihat foto-foto saja, cukup di sosial media menurut saya.” demikian pungkas Teguh.

*) Materi webinar bisa dilihat di Youtube https://www.youtube.com/watch?v=kHVNWppeOkE

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*