Tiga Mantra Pembuka Takdir

Oleh: Ajar Edi

Selasa (18/8/2020) bersama Mbak Kiki Widyasari dan Mbak Wirastuti, saya berbagi cerita kepada para Sahabat Kagama Muda, mereka yang diwisuda di periode Agustus 2020. Saya hanyalah pupuk bawang bagi dua mbak doktor itu. Keduanya berbagi inspirasi, pengalaman, serta prinsip juga perilaku hidup. Mendengarkan keduanya berbagi cerita dan makna hidup sangat menyenangkan. Karena pengalaman keduanya sangat berwarna.

Saya memulai dengan menghaturkan selamat bagi para wisudawan. Sudah lulus dari UGM, perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Saya turut larut dalam keriangan wisuda, mirip 18 tahun lalu.

Mereka merasakan wisuda di masa pandemi Covid 19. Ini, pengalaman unik. Dulu, di jaman saya, hal paling mendebarkan saat wisuda adalah mengenalkan pacar ke orang tua. Walau, ada yang lebih pusing, bila wisuda tanpa pendamping.

Tapi persoalan setelah lulus tetap sama. Mau kerja di mana? Apa mau kuliah lagi? Atau bikin usaha sendiri?

Saat ini, saya bekerja di Microsoft Indonesia. Sebelumnya, saya sempat cukup lama berkarir di perusahaan energy global. Jadi, walau berpendidikan filsafat, kesempatan berkarir, sama dengan lulusan dari disiplin ilmu lainnya.

Saya tak pernah punya mimpi karir atau posisi pekerjaan. Karena kalau ada harapan, tapi tak tercapai, bisa bikin menyesal. Atau merasa tersesat karir, lalu sesat pikir, terus menyalahkan hidup atau orang lain.

Berkarir, entrepreneur, atau aktifitas apa pun harus dikerjakan secara sadar dan sepenuh hati, bukan diimpikan. Tapi ada juga yang pinter jawabnya. Setidaknya, mimpinya harus dengan mata terbuka.

Kepada para teman-teman itu, saya berbagi tiga mantra pembuka takdir yang mungkin berguna. Ini berdasar pengalaman saya selama ini.

Mantra pertama: jadilah pribadi otentik. Tahu apa tujuan hidup. Hidup dengan sadar dan mengikatkan diri dengan kondisi yang dialami. Nanti hasil akan mengikuti.

Untuk itu, pahami diri sendiri dengan baik. Apa kelebihan? Apa kekurangan? Lantas, apa hal yang bisa memotivasi diri. Apa yang membuat kita down. Yang terpenting, kita harus tahu apa tujuan dalam perjalanan hidup ini.

Sepertinya, terasa berat ya. Saya akan beri contoh. Lihatlah nelayan. Mereka pandai meniti buih, lihai menebak arah angin, dan pandai membaca bintang. Harus selalu sadar walau diterpa gelombang. Tidak mabuk laut, sehingga masih bisa menangkap ikan dan pulang ke rumah.

Atau mari kita tenggok misi UGM. Setahu saya, tujuan dibentuknya UGM itu agar para lulusannya punya pengabdian dan bermanfaat bagi masyarakat.

Atau kita ambil contoh misi dari perusahaan. Misi Microsoft itu, to empower every person and every organization on the planet to achieve more. Memberdayakan setiap orang dan setiap organisasi di atas bumi untuk mencapai lebih banyak hal. Harapannya semua kebijakan perusahaan, produk, juga perilaku seluruh pegawainya harus bisa merefleksikan hal itu.

Kembali ke diri pribadi kita. Pertanyaanya, bagaimana merumuskan tujuan hidup? Ingin jadi gubernur seperti Mas Ganjar Pranowo atau Mas Anies Baswedan? Itu bukan tujuan hidup, itu hanya status pekerjaan. Dari posisi itu, sebenarnya kita ingin berbuat apa dalam hidup ini?

Dalam khasanah keilmuan kuno Jepang, tujuan hidup bisa dicapai dengan ikigai. Iki berati hidup dan gai berarti nilai. Singkat kata, ikigai berarti menemukan kebahagiaan di dalam hidup melalui tujuannya. Saya yakin, wisudawan Sastra Jepang lebih paham hal ini.

Namun, adakah rahasia untuk menemukan tujuan hidup? Ada. Seringlah berdialog dengan diri sendiri. Semisal, masihkah kita ingin dianggap lebih hebat dari lainnya. Melakukan sesuatu hanya demi pujian atau mengikuti orang lain. Atau ada ego ingin mendapatkan hasil secara ringkas dan instant.

Bila proses kontemplasi itu terwujud, akan ketemu prinsip hidup. Sehingga kita tidak akan mudah terombang ambing. Setidaknya saat bangun pagi, ada hal yang membuat kita terus bersemangat bergerak.

Karena kita semua belajar di UGM, saya pun mengambil satu value dari budaya Jawa, mocopat. Pribadi otentik itu bak perjalanan manusia di tingkatan Mulat Sarira (Mawas Dhiri). Nah, di sini, wisudawan dari Sastra Jawa, pasti berkarib dengan istilah ini.

Ada tiga tahapan penundukan diri sebelum menapak ke Mulat Sarira. Pertama, sukses mengalahkan rasa nanding sarira (membandingkan kelebihan dengan orang lain). Kedua, berhasil meminggirkan nafsu Ngukur Sarira (mengukur batas capaian kelebihan serta kekurangannya dengan orang lain). Ketiga, sukses melewati Tepo Sarira atau tepo seliro (bisa menakar dan menerapkan ukuran orang lain pada diri kita sendiri). Ada standar kedewasaan di sini, tidak egois. Bisa menundukkan pamrih diri.

Untuk implementasi dalam konteks bekerja, pekerjaan apapun harus kita jalani dengan sepenuh hati dan bahagia, sehingga bisa mendeliver hasil terbaik. Tidak merugikan orang lain dalam proses itu, bahkan kalau perlu pencapaian dilakukan bersama-sama. Ini membuktikan bahwa keberadaan Anda memberikan nilai tambah bagi semuanya. Kalau dalam prespektif barat: Be present. Hadir secara utuh: hati, pikiran, dan perbuatan.

Satu hal pasti, tidak ada pekerjaan yang ideal dan indah. Itu hanyalah mitos.

Pasti nanti teman-teman ini, akan mengalaminya. Karena tiap pekerjaan selalu akan ada warnanya: ada tekanan, ada target, bahkan bisa jadi tak ada ruang menikmati pencapaian. Karena kita sudah terikat dengan target yang disepakati di awal tahun. Jadi, pencapaian itu dianggap wajar karena itu kewajiban.

Bisa jadi, kita diminta melakukan peninjuan atau look back. Agar bisa ditemukan lagi, cara yang lebih efektif dan menghasilkan dampak yang lebih besar. Pribadi yang otentik membuat kita bisa mengelola naik dan turunnya ritme pekerjaan yang dihadapi. Di setiap posisi kerja apa pun. Maka, mulailah berproses menjadi pribadi yang otentik, mulat sarira.

Lantas mantra kedua, jadilah pribadi yang bertumbuh atau ngelmu. Percaya, bahwa setiap perjalanan hidup apa pun akan membuat kita berkembang dan membesar. Pada titik ini, kita sudah meninggalkan pikiran sempit yang membelenggu.

Misalnya, setelah lulus ini, pekerjaan pertama yang dilakoni tak seperti harapan. Saran saya, dijalani dengan semangat. Berani memberikan pendapat. Yakini, perjalanan itu akan memberikan pengalaman. Membentuk pijakan baru, sebagai dasar untuk lompatan berikutnya.

Dalam konteks di dunia kerja, prinsip pribadi yang bertumbuh ini, akan mengantarkan kita menjadi pribadi yang selalu ingin belajar. Lebih dalam konteks mental. Termasuk di dalamnya adalah siap untuk berkompetisi.

Hemat saya, UGM telah menyediakan ekosistem ini. Saya yakin, kita sudah meminggirkan kompetitor agar bisa kuliah di UGM. Lantas, saat KKN, kita diminta belajar team work, kolaborasi, kepemimpinan, juga peka atas masalah sosial. Lantas, lolos berkompetisi dengan diri sendiri menjadi lulusan UGM.

Secara kompentesi, lulusan UGM sudah mampu bertarung dengan lulusan manapun. Termasuk lulusan universitas luar negeri. Karena kita lebih mengenal lingkungan kita. Saya pernah mendengar, ada lulusan kampus luar negeri yang kerja di perusahaan unicorn yang tahu beda kabupaten dan Kota. Bisa jadi mereka tak kenal apa itu posyandu, RT, atau para tomas: tokoh masyarakat.

Oh ya, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UGM juga memberi warna atas kompetisi. Dulu, saat saya ingin bergabung di UKM Majalah Balairung, harus lolos ujian tulis dan wawancara. Tapi saya pikir proses ini ada gunanya. Untuk memastikan passion, endurance dalam beraktifitas di UKM.

Intinya, pribadi bertumbuh adalah mensikapi berbagai pengalaman hidup dan kesempatan, sebagai sarana belajar, memupuk kreatifitas, menambah khazanah pengetahuan diri. Anggap saja, sebagai nutrisi jiwa. Kalau dalam istilah barat banyak yang menyebutnya dengan growth mindset.

Dalam budaya Jawa, semangat ini sebenarnya juga ada. Saya akan mengutip bait Wedhatama yang termasyur itu, bait tembang pocung.

Ngelmu iku kelakone kanti laku (Ilmu itu, tercapainya dengan cara laku dan olah diri).

Lekase Lawas kas tegese kas nyantosani (permulaanya dengan sungguh-sungguh. Maksudnya sungguh-sungguh mengukuhkan tekad).

Setyo budya pengakese dur angkara (setia terus menerus mengolah budi dalam memberantas sumber keburukan).

Dalam pupuh sinom tujuan ngelmu ini disebutkan dengan jelas: membangun karyenak tyas ing sasama (menciptakan enak di hati sesama).

Ada keselarasan di sini. Sebab Pribadi yang bertumbuh juga mengantarkan kita bisa berempati kepada orang lain. Bisa sepenuh hati mendengarkan perkataan orang lain.

Kita terbentuk menjadi pribadi yang bisa belajar dari beragam permasalahan mereka. Secara naluri, kita terbentuk untuk menghormati orang lain. Bisa egaliter. Menerima keberagaman dan pilihan orang lain. Jujur pada diri sendiri dan orang lain.

Pendek kata, seiring perjalanan, semua itu bisa membentuk kita menjadi pribadi yang berintegritas.

Apa hubungan antara berkarir dengan pribadi bertumbuh ini? Perusahaan global, selalu ingin mencari orang yang sejalan dengan budaya dan misi perusahaan. Pokok soal, perusahaan global selalu menganut prinsip nilai universal.

Sebab bila konsisten pada penerapannya, perusahaan global bisa hidup merentang panjang. Sukses mewujudkan visinya, dan beroperasi di banyak negara. Oh ya, karyawannya juga datang dari beragam latar budaya, agama, ras, serta pilihan lainnya.

Perusahaan bisa berumur panjang, karena mereka juga bertumbuh mengikuti dinamika perkembangan jaman. Untuk itu, dibutuhkan pribadi-pribadi yang terus belajar, sebagai penggerak bisnis. Sehingga mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman.

Jadi, bila Sahabat UGM ingin juga berkair di perusahaan global, mohon diingat mantra ke dua ini. Mulai dari sekarang, berproseslah untuk menjadi pribadi bertumbuh atau ngelmu.

Mantra ke tiga, harta yang paling berharga adalah perkawanan. Pada kajian strategi memenangkan perang, Sun Tzu, seorang filsuf dari China menawarkan konsepsi kesempurnaan pertarungan. Ada empat hal yang harus dikuasai: kenali kawan, ketahui lawan, identifikasi medan laga, dan kuasai diri sendiri.

Pendekatan yang sama bisa kita implementasikan dalam kehidupan dan pekerjaan. Untuk hal ke empat, kuasai diri sendiri, tadi sudah kita bahas. Masih ingat tidak? Menjadi pribadi otentik (mulat sariro) dan menjadi pribadi bertumbuh (ngelmu).

Untuk urusan kenali kawan dan ketahui lawan, tipsnya hanya satu. Membangun sebanyak orang untuk kita jadikan kawan. Sun Tzu bahkan menyatakan buatlah kawanmu dekat, bahkan lebih dekatlah dengan lawanmu. Atau ada yang menyebut seribu kawan kurang, satu musuh kebanyakan.

Maka jadilah pribadi yang aktif di mana pun berada. Jika saat mahasiswa aktif di beragam kegiatan ekstra kampus dan di fakultas, maka setelah lulus juga sama. Sebagai anggota Kagama, maka beraktifitaslah di Kagama.

Membangun relasi perkawanan secara sadar, juga memerlukan pendekatan nan dewasa. Menghormati posisi masing-masing. Profesional dalam berkomunikasi, sopan, ramah, dan santun dalam berkomunikasi.

Urusan komunikasi, bagi yang lama tinggal di Jogja pasti kenal huruf Jawa. Setiap aksara Jawa yang dipangku pasti akan mati, misalnya aksara Jawa “Ma” bila dilekati tanda pangku akan menjadi “M”. Dalam konteks membangun jaringan, maka “pangkulah”. Pangku di sini, saya mengartikan, menghormati dengan santun, dengan tulus.

Saya pernah lama tinggal di Penajam Paser Utara, calon Ibu Kota baru itu. Banyak perantau orang Suku Bugis dari Sulawesi. Dari mereka saya diajari berkawan dengan pendekatan “ditandu”.

Budaya siri, biasa mereka menyebutnya. Ada ujaran yang pas untuk hal ini: Sipatuo sipatokkong dan sipamali siparappe. Dalam berinteraksi kita harus saling mengembangkan dan saling menghidupkan.

Bila tiga mantra utama tadi sudah kita implementasikan, semoga kita semua diridhoi yang maha agung, agar bisa mencapai level: dadi wong. Dalam universe simbolik Jawa, dadi wong bisa dimaknai kita telah mentas, mandiri, hingga mulyo. Kalau untuk kekinian, diselipin satu kata lagi: modern. Yang berarti adaptif terhadap modernitas.

Salam Otentik !

*) Penulis adalah Director Corporate Affairs Microsoft Indonesia

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*