Cerita Canthelan dari Berbagai Daerah

Oleh: Ardiati Bima

Berbagi dengan cara dicanthelkan disambut antusias oleh warga, semua yang dicanthelkan selalu habis. Ada cerita, pengalaman batin dan pengalaman sosial yang sangat berkesan bagi teman-teman yang mengelola canthelan. Melakukan canthelan dari hari ke hari, melihat para pengambil dan donatur para pengelola berimprovisasi agar kegiatan ini benar-benar dapat sampai kepada yang membutuhkan dan semakin banyak yang berpartisipasi. Kagama care memberikan dana untuk memulai kegiatan canthelan, dengan dana awal ini memberikan kemantapan para pengelola untuk memulai membuat canthelan dan selanjutnya mereka bergerak untuk membuka ruang bagi para donatur. Berikut ini adalah cerita dari para pengelola canthelan yang diinisiasi Kagama Care.

Sukemi, Nambongan – Tlogoadi – Sleman

Keinginan untuk membuat canthelan sudah ada sejak melihat story WAnya Ardiati, tetapi ada keraguan untuk memulainya, dari nanti ada yang mengambil atau tidak, lalu dari mana bahan yang akan dicantelkan, dari warga mendukung untuk berdonasi atau tidak, lebih ribet ngurusnya atau tidak, kenapa kalau ada dana tidak dibelikan bahan saja lalu dibagi ke warga urusan beres. Diskusi dengan Ardiati membuatnya mantap untuk membuat canthelan, yang penting lakukan saja.

Canthelan di RT 03 RW 31 Dusun Nambongan, Tlogoadi, Sleman

Di hari pertama membuat canthelan langsung habis dan sore harinya sudah ada yang menitipkan tempe, hari-hari berikutnya ada tahu, tempe, sembako, sayuran dari tetangga dan teman-temannya. Sukemi memposting kegiatannya melalui WA, hal menginspirasi 2 temannya untuk melakukan hal serupa. Komunikasi dengan sesama “Penyanthel” berlangsung baik, sehingga bila ada satu lokasi kelebihan bahan bisa berbagi dengan lokasi yang lain.

Kemi juga mengamati siapa saja yang mengambil canthelannya, ada anak yatim piatu, ada Ibu-ibu yang suaminya tidak bekerja lagi, ada yang Ibu-ibu yang sudah tua dll, menurutnya semua memang layak untuk mengambil canthelan. Kegembiraan Kemi membuncah saat canthelannya habis, ada kegembiraan bisa melakukan sesuatu, menjadi kepanjangan tangan dari para donatur untuk menyampaikan bantuan kepada yang berhak. Kegiatannya diposting di WA dan FB, sambil terus menyemangati yang lain “berbagi kuwi ora marai lokak ning marai kebak” atau berbagi itu tidak membuat (harta) berkurang, tetapi akan membuatnya penuh kembali.

Surtinah & Tri Widayati, Gombang – Tirtoadi – Sleman

Surtinah memasang canthelan di depan warung sembakonya. Ia mulai mencantelkan jam 11.00, yaitu setelah pedagang sayur yang mangkal di dekat warungnya pergi, dengan maksud agar yang punya uang tetap belanja dan tidak mengambil canthelan, pedagang sayurnya tetap laku. Keuntungan memajang canthelan di depan warung adalah orang sekalian belanja di warungnya dan ada yang sekalian memberi sumbangan.

Canthelan di RT 01 RW 22 Dusun Gombang, Tirtoadi, Sleman

Canthelan yang dipasangnya 10 -15 buah selalu habis diambil oleh warga se dusunnya atau orang yang melintas di jalan depan rumahnya. Pada sore harinya Surtinah mencantelkan jus buatannya, dan sesekali ada yang menyumbang kolak untuk dicantelkan pula. Sama dengan Kemi, Surtinah juga merasa gembira melihat yang mengambil canthelan adalah orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Agar yang menerima manfaat adanya canthelan ini bisa merata, maka Surtinah juga memberikan pengertian kepada warganya agar tidak mengambil setiap hari, tetapi bergantian dengan yang lain. Ada satu hari Surtinah sakit sehingga libur tidak mencanthelkan membuatnya merasa ada yang kurang, karena tidak bisa memenuhi kebutuhan dan melihat kegembiraan dan orang-orang yang mengambil canthelannya.

Canthelan di RT 02 RW 22 Dusun Gombang, Tirtoadi, Sleman

Di dusun & RW yang sama namun beda RT Tri Widayati (Wiwit) juga tertarik untuk membuat canthelan. Agar pengambil canthelan bisa merata Surtinah dan Wiwit saling berkoordinasi dan mengamati siapa saja yang mengambil canthelan. Wiwit didukung penuh secara moril dan materiil oleh keluarganya dalam membuat canthelan ini.

Lejaryono, Bantul – Yogyakarta

Lejaryono tertarik untuk membuat canthelan, karena melihat tetangganya banyak yang kehilangan pekerjaan, para penambang gamping dan pasir sudah hampir sebulan menganggur, pedagang ratengan (masakan olahan) juga berhenti berjualan. Kriminalitas di lingkangan sekitarnya mulai meningkat seperti kehilangan ayam, burung, sepeda, tanaman cabai di sawah atau gabah yang baru dijemur.

Canthelan di Bantul yang dikelola oleh Lejaryono

Dana stimulasi dari Kagama Care memantapkan niatnya untuk memulai aksi canthelan, dengan harapan dapat memenuhi pangan tetangga dan lingkungan sekitarnya lebih jauh membuat situasi menjadi lebih kondusif. Kegiatan canthelan didukung oleh warga lainnya dengan terlibat dalam kegiatan ini dan ikut berdonasi. Pencanthelan yang semula dilakukan di pagi hari diubah menjadi siang jam 14.00, dikarenakan kalau pagi warganya masih bekerja di sawah dan sebagian menambang pasir. Menurut pengamatan Lejaryono, mereka yang mengambil memang benar-benar yang layak dibantu.

Ical Chaniago, Balikpapan

“Pak besok ada lagi Gak?”, pertanyaan seorang Bapak renta penjual pentol yang sudah beberapa minggu tidak berjualan, disambut haru oleh Ical, pengelola canthelan di Balikpapan. Rupanya Ical punya fans baru, yaitu para pengambil canthelan. Hari berikutnya kehadirannya sudah dinantikan oleh orang.

Cantelan di Kampung Literasi Gajah Mada, Tepekong Pasar Baru Balikpapan

Dalam sehari Balikpapan membuat 73 paket langsung habis. Agar yang mendapat canthelan lebih merata, maka dibuat giliran yang hari ini mengambil, besok tidak. Sambil membagikan canthelan warga juga diedukasi untuk cuci tangan dan memakai masker.

Sulastri, Samarinda

Samarinda baru mulai membuat canthelan. Untuk memudahkan yang akan mengambil Sulastri dan teman-teman mengusung tiang jemuran ke depan komplek perumahan. Persiapan membuat canthelan lebih dari 1 jam, dan canthelan habis dalam 5 menit. Isi cantelan hari pertama diharapkan dapat memenuhi kebutuhan keluarga hari itu.

Cantelan di Samarinda dimana Sulastri sebagai koordinatornya

Satu kresek berisi kangkung, bumbu lengkap, telur 2, tempe, tahu dan krupuk. Kegembiraan juga dirasakan oleh si Ibu penjual sayuran karena dagangannya dilarisi oleh Sulastri dkk.

Nur Saudah Al Arifa, Wonosobo

Bersama relawan desa Suren Gede membuat canthelan di 4 titik sekaligus. Kehadiran canthelan sudah ditunggu oleh warga. Hari pertama mencanthel langsung laris manis dan habis gak sampel 30 menit, lalu tiba-tiba ada warga yang secara langsung mengisi ulang canthelan dan langsung habis pula.

Ketika canthelan dilakukan sore haripun ada Ibu-ibu yang tetap sabar menunggu, karena memang belum punya bahan yang dimasak untuk hari itu.

Hanief, Salatiga

Canthelan di Salatiga berkolaborasi dengan SMA 1 Salatiga. Sama halnya dengan lokasi yang lain canthelan laris manis disambut oleh warga. Baru 10 menit sudah langsung habis. Salatiga menginisiasi canthelan di tiga titik.

Heni Widowati, Jakarta

Improvisasi di lapangan dalam pelaksanaan canthelan sangat mungkin dilakukan. Melihat dan mengamati siapa yang mengambil canthelan diperlukan kebijaksanaan. Jumlah canthelan yang terbatas membuat pengelola juga membatasi siapa yang boleh mengambil, hal ini bisa dilakukan karena ruang lingkup pengambil canthelan dilakukan secara tertutup untuk 3 RT saja. Kepada mereka yang memang masih bekerja atau punya penghasilan tidak diperkenankan untuk mengambil dan agar lebih banyak yang bisa memanfaatkannya, pengambil canthelan digilir 2 hari sekali.

Cintya Ayu Risanti, Bontang

Hari ke enam memasang canthelan, tepat ketika suami selesai mencanthelkan jam 8.00 pagi, ada bapak-bapak naik sepeda onthel melintas. Beliau berhenti, lalu turun dan mengejar paksu yang sudah masuk kedalam rumah. Rupanya beliau meminta ijin untuk mengambil canthelan. Dengan senang hati sipersilahkan. Nampak sekali ekspresi bahagia beliau ketika menaruh sembako dalam kresek kecil yang tidak seberapa itu di gagang sepedanya, lalu kembali melanjutkan ngonthelnya. Sesungguhnya di kota Bontang yang panas dan jalanannya naik turun, tidak banyak orang yang menggunakan onthel untuk sarana transportasi. Tapi ya tetap ada saja. Sama seperti anggapan kota bontang adalah kota yang kaya. Tapi ya tetap ada saja mereka yang tidak seberuntung lainnya. Sebelum jam 12 siang kantong-kantong canthelan yang kami pasang sudah ludes/habis.

Lalu menjelang berbuka puasa seorang kawan mengirim pesan WA, bahwa beliau tadi ikut mencanthelkan 4 kantong, dan minta tolong dicek karena takut tidak habis terambil sedang disitu tadi tiap kantong canthelan juga beliau taruh potongan ayam 1/4 bagian. Khawatir ayamnya membusuk, beliau meminta agar di cek kalau tidak habis. Tepat adzan maghrib bergegas kami mengecek canthelan di depan rumah. Oh iya ada canthelan disana, tapi tinggal 2 kantong, alhamdulillah berarti sudah terambil 2 kantong. Kami berfikir kalau malam begini orang sudah pada berbuka puasa mungkin tidak akan terambil lagi, siap-siap masukkan kulkas saja bahan ayam ditiap kantong tadi. Namun menjelang sholat tarawih suami menyempatkan untuk cek, dan ternyata sudah habis canthelan nya. Alhamdulillah kembali, rupanya ada saja di jam2 berbuka yang masih berada dijalanan sehingga menemukan canthelan kami. Semoga bermanfaat.

Cerita seru dari daerah akan menyusul, seiring bertambah banyaknya teman-teman Kagama yang berbagi melalui canthelan.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*