Tiga orang alumni Fakultas Filsafat UGM pada awal tahun 2021 menginisiasi kegiatan yang dikenal dengan konsep art farming, yaitu menyinergikan bercocok tanam dan berkesenian di sebuah lahan pertanian. Para anggota yang terlibat melakukan aktivitas melukis dan berkesenian lainnya, sembari mengurusi beberapa macam sayuran dan buah-buahan yang ditanam. Hasil panenan ada yang dikonsumsi sendiri untuk kebutuhan sehari-hari. Sisanya dijual dan uang hasil penjualan dipergunakan untuk membiayai kegiatan berkesenian itu sendiri.
Ceritanya berawal ketika Dhohir Farizi (Filsafat ’97) sekitar 3 tahun yang lalu menyewa tanah kas desa di dusun Sumberan, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman seluas 2 hektar lebih. Tanah yang disewa tersebut dibiarkan saja agak beberapa lama. Kemudian dari pada sia-sia tidak tergarap, pada akhir tahun 2020 Dhohir memasrahkan pengelolaannya kepada Hamzah Hamcrut, temannya yang sama-sama alumnus filsafat angkatan 1989. Oleh Hamcrut dan teman yang membantu, sebagian lahan ditanami pepaya Kalifornia dan cabai rawit.
Meski dulu kuliahnya di Fakultas Filsafat, namun Hamcrut mempunyai bakat melukis dan mempunyai komunitas yang anggotanya kawan-kawan sesama perupa. Mereka sering bertemu untuk rembugan hal-hal yang terkait dengan kegiatan berkesenian. Kadang tercetus juga rasan-rasan mereka tidak punya tempat yang representatif untuk berkarya bersama-sama.
Lalu, pada awal Februari 2021 Hamcrut dkk mempunyai ide membuat kegiatan painting on the spot. Hamcrut mengusulkan bagaimana kalau acaranya diadakan di lahan kebunnya saja. Semuanya pada setuju dan acara akhirnya berlangsung di sana.
Pasca kegiatan tersebut, anggota komunitas sering berkumpul di lahan pertanian Hamcrut. Dari obrolan demi obrolan tiba-tiba terbersit ide brilian bagaimana kalau mereka berkegiatan melukis di situ sembari bercocok tanam. Apa yang sudah diawali oleh Hamcrut ternyata menarik minat anggota komunitas lainnya. Maka ramai-ramailah mereka ikut menanam anggur, terong, jipang, labu botol, bawang merah, okra, dll.
Gudang yang biasanya untuk menampung hasil panenan dirombak menjadi sanggar lukis. Dari situlah kemudian tercetus nama Studio Goedang Keboen Damai (SGKD). Ada 7 perupa yang terlibat dalam proses pembentukan SGKD. Mereka adalah Hamzah Hamcrut, Bambang Raharjo, Irwan Guntarto, Sigit Ananta, Asis Fahrur Rohman, Taufik Oblong, dan Sriyadi Srinthil yang juga merupakan alumnus filsafat angkatan 1987.
Ketika nama komunitas sudah dikibarkan, maka aktivitas melukis bersama di sanggar langsung dimulai. Untuk menambah semangat, semua anggota dibelikan kanvas dan cat oleh Dhohir. Lalu, untuk memacu agar semuanya produktif, para perupa ditarget beberapa karya, dan dijanjikan seluruh karya yang lolos kurasi akan dipamerkan di galeri resmi akhir tahun ini. Tema lukisan seragam yaitu berhubungan dengan Covid-19.
Seiring perjalanan waktu, karya yang dihasilkan semakin banyak. Karena sanggar tidak terlalu luas, maka lukisan yang sudah jadi dibawa ke rumah Dhohir di dusun Taraman, Ngaglik, Sleman untuk sekalian dipamerkan. Dhohir merubah sudut rumahnya menjadi semacam galeri yang diberi nama ‘Community Center Peace Village’.
Rejeki dan keberuntungan memang kadang datang tak terduga. Siapa sangka karya-karya yang dipamerkan mendapat perhatian dari Menteri BUMN, Erick Thohir yang pada akhir bulan Agustus lalu kebetulan berkunjung ke rumah Dhohir. Sekedar info Erick berteman baik dengan istri Dhohir, Yenny Wahid.
Dan sungguh tidak diduga, Erick tertarik dengan lukisan Sriyadi Srinthil yang berjudul “World War V” dan spontan langsung membelinya dengan harga Rp 50 juta. Perasaan Srinthil tentu saja bercampur aduk antara terkejut dan bangga.
“Saya terkejut, karena sambil jalan di selasar ruang pameran, Erick Thohir menunjuk salah satu lukisan saya dan bilang, itu saya beli!” ucap Srinthil senang.
Srinthil mengatakan lukisan yang dibeli Erick tersebut dibuatnya pada awal tahun 2021 sebagai respon kegelisahan dirinya sebagai seniman melihat kondisi bangsa Indonesia menghadapi pandemi Covid-19. Pada kanvas berukuran 150 cm X 120 cm, Srinthil menggambar sebuah kapal berbentuk Pinisi dengan layar terbuat dari masker, dan bendera merah putih berkibar di puncak tiang. Kapal tersebut terlihat sedang mengarungi lautan dengan ombak besar, menerjang kumpulan ikon virus corona yang melayang di lautan dan udara.
Lukisan bergaya surealis itu dibuat Srinthil dalam waktu sekitar dua minggu di SGKD. Srinthil mengatakan uang hasil penjualan lukisan selain akan digunakan untuk kebutuhan hidup keluarganya, juga disisihkan sebagian untuk modal berkarya komunitasnya. Karena anggota komunitas SGKD sudah sepakat, mereka harus mandiri dari hasil karya yang dihasilkan.
Hamcrut, sebagai sahabat Srinthil, ikut bangga kepada prestasi teman sekaligus koleganya tersebut. Namun, tak lupa ia mengingatkan teman-teman komunitasnya, sekaligus sebagai reminder kepada dirinya sendiri, bahwasanya seorang seniman tidak bisa selalu mengandalkan karyanya. Apalagi di masa pandemi seperti ini, ketika semua merasa mencari uang begitu sulitnya. Untuk itu konsep art farming yang mereka cita-citakan tidak boleh dilupakan. Artinya berkarya tetap terus jalan namun jangan lupa menggerakkan roda ekonomi keluarga, yaitu dengan cara bertani.
“Pandemi mengajarkan kepada kami, bahwa seniman harus terus berkarya dengan memanfaatkan potensi yang ada. Kebetulan kami ada peluang mencari penghasilan dari bertani dan itu harus kami manfaatkan. Karena hasilnya bisa untuk membiayai kegiatan berkesenian itu sendiri.” pungkas Hamcrut.