Dalam rangka menyambut ASEAN Dengue Day, Pusat Kedokteran Tropis UGM bekerja sama dengan PP Kagama, IDAI Cabang Yogyakarta, dan World Mosquito Program menggelar webinar melalui Zoom Meeting, Jumat (17/6/2022), mengangkat topik strategi terbaru pencegahan dan intervensi dengue di Indonesia. Webinar menghadirkan 4 narasumber, yaitu dr. Asik Surya, MPPM (Direktorat Pengendalian & Pencegahan Penyakit Menular Kemenkes), dr. Eggi Arguni, MSc, PhD, SpA(K) (Dokter spesialis anak RSUP Dr. Sarjito & dosen pengajar FK-KMK UGM), Warsito Tantowijoyo, PhD (Entomolog World Mosquito Program Yogyakarta), dan Dr. dr. Ida Safitri, Sp.A(K) (Dokter spesialis anak RSUP Dr. Sarjito & dosen pengajar FK-KMK UGM). Berkenan memberikan kata sambutan Dr. (HC) Ir. Budi Karya Sumadi (Menteri Perhubungan RI & Ketua Harian PP Kagama). Bertindak sebagai moderator Anis Fuad, S.Ked., DEA, dan dr. Maria Silvia Merry, MSc menjadi pembawa acara.
Narasumber pertama, dr. Asik Surya menjelaskan strategi nasional pengendalian dengue periode tahun 2021-2025. Yang pertama adalah penguatan manajemen vektor yang efektif, aman, dan berkesinambungan. Kedua, harus ada peningkatan akses dan mutu tatalaksana dengue. Ketiga, harus terjadi penguatan surveilans dengue yang komprehensif serta manajemen kejadian luar biasa yang responsif. Keempat, diupayakan peningkatan partisipasi masyarakat dan institusi yang berkesinambungan. Kelima, adanya penguatan kebijakan – manajemen program, kemitraan, dan komitmen pemerintah. Keenam, pengembangan kajian, penelitian dan inovasi sebagai dasar kebijakan, serta manajemen program berbasis bukti.
Dr. Asik menambahkan, dengue saat ini masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia. Perlu sekali adanya penguatan pelaksanaan program termasuk di masa pandemi Covid-19.
Pemerintah telah melaunching strategi nasional pengendalian dengue 2021-2025. Tinggal ditunggu saja aksi nyata dan implementasinya di lapangan. Untuk itu dibutuhkan partisipasi semua pihak dan harus diperkuat, dilakukan secara sinergis dan berkesinambungan.
Semakin diaktifkannya POKJANAL infeksi dengue (DBD), mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, sampai ke tingkat kelurahan/desa. Di mana pemberdayaan masyarakat menjadi peran utama kegiatan.
“Penguatan surveilans harus terintegrasi dalam satu data kesehatan. Perlu dilakukan inovasi, invensi, kreasi berbasis konteks lokal dan bukti-buktinya,” pungkas dr. Asik.
Narasumber kedua, dr. Eggi Arguni menjelaskan update terkini tata laksana dengue sangat penting untuk menekan angka kematian. Ia menyatakan tata laksana penanganan dengue di Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik dari tahun-tahun awal munculnya dengue. Tapi harus diakui meski angka kematian akibat dengue sudah jauh menurun, namun masalah belum terselesaikan sepenuhnya di negeri ini.
Pada tahun 2009 WHO mengeluarkan kriteria klasifikasi kasus dengue menjadi dua, yaitu dengan dan tanpa warning signs atau gejala. Gejala penting diketahui untuk mencegah perburukan dan komplikasi penyakit. Tanda bahaya yang harus diwaspadai adalah jika pasien pada saat fase demam berakhir tidak mengalami perbaikan klinis, atau bahkan mengalami perburukan.
Menurut dr. Eggi perubahan dari fase demam ke fase kritis biasanya terjadi pada akhir hari ke-3, bertepatan dengan terjadinya defervescence. Kita harus mengenali pasien dengue dengan syok atau beresiko mengalami syok.
Hal itu bisa dilihat dari warning signs klinis, yaitu nyeri abdomen hebat, muntah parah, perdarahan mukosa, letargi / kelelahan, pembesaran hepar lebih dari 2 cm, dan akumulasi cairan klinis. Lalu ada juga warning signs hasil uji lab, yaitu terjadi leukopenia, penurunan cepat jumlah trombosit, dan peningkatan hematokrit.
Di akhir pemaparan dr. Eggi mewanti-wanti untuk memperhatikan hari demam dan gejala klinis untuk membantu menentukan fase. “Perhatikan warning signs untuk mendeteksi lebih awal pasien yang ada kemungkinan akan menjadi syok atau berat!” pungkasnya.
Narasumber ketiga, Warsito Tantowijoyo memamaparkan Wolbachia sebagai alternatif pengendali dengue. Wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat di sekitar 60% serangga di dunia. Namun tidak terdapat di dalam tubuh nyamuk aedes aegypti penyebab demam berdarah. Wolbachia dapat direkayasa dimasukkan ke tubuh ae. aegypti, dan mampu melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk sehingga tidak akan menular kepada manusia.
Warsito mengatakan teknologi Wolbachia tidak akan menggantikan teknologi yang sudah ada, namun hanya sebagai pelengkap. Pengendalian populasi nyamuk selama ini sudah dilakukan dengan berbagai cara, seperti pemberantasan sarang nyamuk dengan metode 3M, fogging, larvasida, memelihara ikan di kolam, dll. Lalu orang sudah berusaha menghindari gigitan nyamuk, dengan cara memasang kelambu, mengoleskan lotion anti nyamuk, dan menanam tanaman pengusir nyamuk.
Berbagai macam cara tersebut sudah dilakukan. Namun nyamuk tetap ada, karena memang mustahil memberantas nyamuk sampai tuntas. Untuk itulah teknologi Wolbachia sangat diperlukan kehadirannya. Sehingga meski nyamuk menggigit manusia akan tetapi ia tidak bisa menularkan virus dengue karena sudah dilemahkan oleh Wolbachia. Jika masih lolos juga, masih ada penegakan diagnosis dan penanganan klinis untuk mencegah tingkat kematian yang disebabkan oleh dengue.
“Jadi tujuannya semua cara itu dilakukan adalah untuk menurunkan tingkat penularan dengue, dan yang paling penting adalah untuk menurunkan tingkat kematian,” pungkas Warsito.
Narasumber terakhir, dr. Ida Safitri memaparkan pencegahan infeksi dengue dengan vaksin. Ia mengatakan vaksin dengue pertama yang terdaftar di WHO adalah jenis CYD-TDV dengan merk Dengvaxia. Vaksin tersebut sudah memiliki ijin penggunaan sejak Desember 2015 di 20 negara yang tersebar di Asia, Amerika Latin dan Australia. Uji klinis telah dilakukan di 10 negara endemis dengue melibatkan 30.000 subyek usia 2-16 tahun, menunjukkan efikasi vaksin yang lebih tinggi dan penurunan angka rawat inap akibat dengue pada kelompok usia > 9 tahun.
Tahun 2018 WHO SAGE mengeluarkan beberapa rekomendasi, di antaranya negara endemis dengue dapat mempertimbangkan penggunaan vaksin CYD-TDV hanya jika dapat meminimalisasi risiko yang muncul pada kelompok individu seronegatif. Untuk negara yang menjadikan program sebagai salah satu program pengendalian dengue, program skrining pra-vaksinasi direkomendasikan untuk dilakukan. Tes skrining harus memiliki spesifikasi yang tinggi untuk memnghindari bahaya vaksinasi pada orang yang seronegatif dan memastikan hanya orang yang seropositif yang divaksinasi.
Kelompok usia yang menjadi target vaksinasi tergantung pada intensitas penularan dengue di negara tertentu. Kelompok usia lebih muda dapat diberikan di negara dengan penularan tinggi, dan usia lebih tua di negara dengan penularan rendah. Kelompk usia optimal yang menjadi target pemberian vaksin adalah usia sebelum angka insidensi tertinggi penyakit dengue tingkat berat terjadi.
Vaksin CYD-TDV direkomendasikan untuk diberikan dalam 3 dosis dengan interval 6 bulan antar dosis, dan apabila dosis terlewat, tidak perlu pengulangan dosis dari awal. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan alat tes dengan sensitivitas dan spesifikasi yang lebih tinggi untuk skrining pra-vaksinasi, jadwal imunisasi yang lebih sederhana, dan perlu tidaknya pemberian booster.
Di Indonesia, telah dilakukan uji klinis Dengvaxia yang telah menunjukkan efikasi pada kelompol usia 9-16 tahun secara keseluruhan sebesar 65,5% dan 81,9% pada individu dengan seropositif atau sudah pernah terinfeksi dengue sebelumnya. Hal itu mampu menurunkan angka rawat inap sebesar 80,8% dan mencegah kasus dengue berat sebesar 93,2%.
Dalam hal ini BPOM telah menyetujui izin edar vaksin Dengvaxia untuk digunakan pada individu usia 9016 tahun. Vaksin diberikan secara injeksi subkutan sebanyak 3 dosis dengan interval jadwal pemberian 0, 6, 12 bulan. Penggunaanya pada usia di bawha 9 tahun tidak direkomendasikan karen efikasi dan tingkat keamanannya rendah. Sedangkan penggunaan untuk usia di atas 16 tahun belum dapat dipastikan dan masih membutuhkan studi lebih lanjut.
Pada akhir pemaparan, dr. Ida menjelaskan tantangan dan prospek ke depannya. Di antaranya, kompleksitas patologi dengue, termasuk pemahaman mengenai imunitas yang harus dicakup, dan pendanaan yang tidak sedikit untuk melakukan uji klinis. Lalu, imunogenitas yang diinduksi oleh vaksin harus sedemikian rupa sehingga tingkat antibodi penetral yang dihasilkan cukup tinggi untuk memberikan perlindungan lengkap terhadap keempat serotipe.
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: