PP Kagama Sinergi Museum Wayang Kekayon Menggelar Webinar Membahas Wayang sebagai Pusaka Dunia dalam Rangka Memperingati Hari Wayang Sedunia 2020

Sabtu (7/11/2020) jam 19.00 – 21.30 WIB telah terselenggara dengan sukses webinar sinergi PP KAGAMA – Museum Wayang Kekayon dalam rangka memperingati Hari Wayang Sedunia 2020. Ganjar Pranowo, Ketua Umum Kagama dan Belinda A. Margono, Koordinator Departemen Pengembangan Seni dan Budaya PP Kagama, berkenan memberikan kata sambutan. Tampil sebagai pembawa acara yaitu Dr. Iva Ariani dan sebagai moderator adalah RM. Donny Surya Megananda. Webinar menghadirkan 4 narasumber yaitu Rudy Wiratama, M.A., Dr. Sindung Tjahjadi M.Hum., Tahta Harimurti Proboatmojo, dan Drs. Namastra Probosunu, M.Si.

Belinda A. Margono, Koordinator Departemen Pengembangan Seni dan Budaya PP Kagama

Belinda Margono dalam kata sambutannya mengatakan webinar yang membahas wayang sebagai pusaka dunia ini adalah bukti kepedulian Kagama terhadap seni dan budaya. Karena wayang adalah budaya asli Indonesia peninggalan leluhur yang mengakar kuat dan telan berperan dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu.

Belinda manambahkan webinar yang bekerja sama dengan Museum Wayang Kekayon Yogyakarta kali ini, adalah merupakan komitmen Kagama untuk terus membangun jejaring dengan berbagai pihak untuk mendukung seni dan budaya. Harus kita ingat sebagai bangsa yang berbudaya kita wajib menjaga warisan budaya nenek moyang kita, salah satunya adalah wayang.

Tepat 17 tahun yang lalu, 7 November 2003, budaya wayang khususnya wayang kulit diakui oleh UNESCO sebagai warisan lisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Hal itu menjadi sebuah peristiwa sangat penting yang menjadi momentum cikal bakal Hari Wayang Sedunia. Belinda selaku Koordinator Departemen Pengembangan Seni dan Budaya PP Kagama, berharap webinar yang diadakan oleh Kagama yang membahas budaya dapat meningkatkan kepedulian dan keterlibatan masyarakat dalam mendukung pelestarian budaya Indonesia. Ke depannya akan lebih banyak lagi Kagama mengadakan webinar membahas kebudayaan-kebudayaan yang teramat kaya di negeri ini.

Ganjar Pranowo, Ketua Umum Kagama

Ganjar Pranowo mengatakan sudah saatnya wayang dikembangkan. Bukan hanya diuri-uri dan dimainkan, namun terus dikembangkan dengan modifikasi-modifikasi yang kreatif, sehingga generasi penerus tertarik mempelajari dan memainkannya. Selama ini sudah ada yang menjadikannya berbentuk robot, lalu juga sudah ada yang memasukannya ke dalam karakter game e-sport. Memang ada juga yang kontra atau tidak setuju, namun menurut Ganjar biarkan saja.

Pandemi memang membuat keadaan makin sulit. Ganjar melihat sendiri bagaimana para pemain wayang orang yang harus mencari makan sebisanya agar tetap survive. Ganjar lalu memberi solusi berupa mehnampilkan pertunjukan wayang berdurasi pendek, yang mana akhirnya cukup berhasil merubah keadaan. Hal itulah yang membuat Ganjar menemukan ide membuat Panggung Kahanan, dipentaskan 2 hari sekali di lapangan basket rumah dinasnya pada bulan puasa Mei 2020 yang lalu. Dampaknya sungguh luar biasa, yang selanjutnya dibikinlah Panggung Kahanan di beberapa kabupaten.

Kemudian muncullah dalang wanita muda dari Purworejo yang meminta bantuan Ganjar. Dengan semangat penuh gegap gempita Ganjar langsung menyatakan kesanggupannya, karena melihat potensi hebat yang dimiliki si dalang yang berani menantang situasi dan tidak kehabisan kreasi. Semoga teman-teman yang mengikuti webinar juga akan penuh kreasi-kreasi dan banyak terobosan, sehingga dunia wayang akan semakin berkembang dan semakin bisa dinikmati.

Rudy Wiratama

Rudy Wiratama, narasumber pertama membahas hebatnya wayang Indonesia hingga menjadi pusaka dunia. Pada tanggal 7 November 2003 wayang Indonesia mendapatkan penghargaan dari UNESCO sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. Pada November 2018, barulah Presiden RI Joko Widodo mengeluarkan Keppres No. 30/2018 tentang penetapan Hari Wayang Nasional yang jatuh pada 7 November setiap tahunnya. Hal tersebut merupakan suatu hal yang membanggakan namun juga menjadi sebuah keprihatinan, karena masih ada pendapat bahwa wayang tidak menarik dan ketinggalan zaman, bahkan oleh bangsa Indonesia sendiri yang memilikinya

Sejarah wayang tentu tak dapat dilepaskan dari adanya kepercayaan leluhur tentang ruh kakek moyang, cahaya, kegelapan dan bayang-bayang. Beberapa sarjana Barat bersilang pendapat tentang asal muasalnya: dari Cina (BM Goslings), dari India (J.J. Ras) atau dari Indonesia asli (J.L.A. Brandes).

Untuk sumber lokal bisa kita dapatkan di dalam prasasti Mantyasih I (907) telah ada kata-kata hanabanwal atau aringgit. Lalu pada prasasti Wukajana (sekitar abad X-XI) ada kata-kata macarita bhima kumara mangigal kicaka; juga mawayang bwat hyang macarita bhimma ya kumara. Dan dalam Kakawin Arjunawiwaha (1035 M) tertulis hananonton ringgit dan walulang inukir molah angucap.

Adapun dari sumber asing termaktub dalam berita-berita Timur Tengah, pada masa Abbasiyah pertunjukan wayang kulit telah dikenal di sana; ada dugaan kalau masuk dari Asia Tenggara lewat perdagangan; naskah “wayang” di sana yang masih terdokumentasikan adalah karya Muhammad Ibnu Daniyal (sekitar tahun 1200-an). Kemudian dari berita Cina, Ma Huan menulis dalam Ying-yai sheng-lan (ca. 1433) bahwa ada jenis-jenis wayang di Jawa pada saat itu, termasuk wayang beber.

Kebudayaan wayang juga dikenal di negara-negara lain, seperti Malaysia, India, Thailand dan Cina. Untuk jangkauan terjauh ada wayang Mesir (khiyal adz-dzull) dan Karagoz (Turki-Yunani).

Wayang bisa berarti bayangan. Wayang krucil, klithik dan wayang wong tidak menonjolkan permainan bayangan, namun termasuk dalam wayang. Dengan demikian, definisi wayang bagi bangsa Indonesia bukan hanya bayangan fisik suatu benda, melainkan juga bayangan kehidupan.

UNESCO sudah memberikan penghargaan buat wayang Indonesia. Artinya kita harus terus merawatnya dan aktif dalam mengembangkannya, karena gelar penghargaannya bisa dicabut sewaktu-waktu jika kita cuma diam saja. Penghargaan diberikan karena ada nilai-nilai yang istimewa sebagai masterpiece hasil kecerdasan akal budi manusia. Juga karena berakar kuat yang memberikan bukti yang luas dalam tradisi budaya atau sejarah budaya masyarakat yang bersangkutan. Lalu menjadi sarana untuk menegaskan identitas budaya dari komunitas budaya yang bersangkutan, memberikan bukti keunggulan dalam penerapan keterampilan dan kualitas teknis yang ditampilkan, menegaskan nilainya sebagai kesaksian unik dari tradisi budaya yang hidup, serta berisiko mengalami degradasi atau menghilang.

Menurut Rudy, tantangan ke depan yang kita hadapi adalah dengan adanya globalisasi membuat kecenderungan masyarakat semakin pragmatis, wayang menjadi hiburan semata atau hedonistik. Lalu kemungkinan adanya keterputusan atau kelangkaan regenerasi, meliputi regenerasi pemain, perajin wayang, penonton, dan penanggap. Yang terkini, sebagai sebuah tontonan massal, apakah wayang bisa bertahan di tengah situasi pandemi? Selama pandemi pertunjukan wayang bermetamorfosis menjadi wayang virtual, wayang live streaming, siaran tunda di kanal Youtube, dll. Setelah berbulan-bulan beradaptasi dengan bentuk pertunjukan yang baru, nampaknya tiada jalan kembali ke pertunjukan sebelum adanya pandemi. Namun bagi Rudy justru itu menjadi sebuah tantangan kita bersama seluruh bangsa Indonesia menjadikan wayang tetap lestari di segala situasi.

Sindung Tjahjadi

Narasumber kedua, Sindung Tjahjadi yang merupakan staf pengajar di Fakultas Filsafat UGM, pada awal pemaparannya menjelaskan perspektif tentang “nilai” dari sudut pandang filsafat. Hal itu sebagai pengantar untuk menjelaskan bagi audiens tentang nilai-nilai yang terkandung dalam kisah pewayangan.

Wayang adalah multi dimensi. Dimensi-dimensi pewayangan meliputi rupa yang ternyata tidak sembarangan bentuknya, seni suara yang harus mumpuni bagi sang dalang, seni musik yang berbeda-beda titi nadanya, seni bercerita, seni drama, komedi, tuntunan, terapeutis, politis/ideologis, dan edukasi sosial.

Wayang berkembang dengan berbagai dinamikanya. Seperti narasi yang berkembang berbagai versi cerita, baik terkait gagrag (gaya kewilayahan) maupun terkait dengan sumber-sumber narasi. Sumbernya bisa dari teks kuno, teks India (untuk wayang purwa), teks sastra wayang (lokal, modern, komik), maupun sumber-sumber tradisi lisan, dan film (Bollywood maupun lokal).

Lalu rupa dan karakternya terdapat beberapa gagrag atau sub-gagrak yang telah punah, lestari (utamanya di Kraton Yogyakarta dan Surakarta) dan berkembang (kreasi, inovasi, ataupun perkawinan berbagai gagrag). Sindung optimis selama Kraton Yogya dan Surakarta masih eksis, kelestarian wayang akan tetap terjaga baik di kotak wayang maupun sekolah pedalangan yang ada di 2 kota tersebut.

Dinamika pergelaran juga masih terus berlangsung, yang mana terdapat beberapa bentuk pergelaran wayang yang masing-masing memiliki fungsi dan segmentasi penikmat yang berbeda. Masih berjalan pergelaran wayang yang fungsinya ritual, di samping memang lebih dominan fungsi hiburan (multi segi seni). Namun di kalangan terbatas, baik di lingkungan akademik maupun sanggar tertentu, terdapat pergelaran yang “eksperimental”, membentuk dan membangun pergelaran wayang yang berbeda dengan biasanya, baik dari segi peraga/boneka, media, iringan, dan narasi.

Wayang sebagai ikon budaya menggambarkan hampir semua segi kehidupan. Di era “postmo” dan “post truth” malah memunculkan “jagad kuwalik” atau dunia yang terbalik-balik. Selain itu juga menggambarkan problem aktual yang sedang terjadi di masyarakat, sesuai dengan kemampuan dan wawasan dalangnya. Lalu wayang juga berfungsi sebagai katarsis sosial dan sublimasi konflik, sesuai dengan filosofi Jawa yang menekankan kehidupan harmoni.

Banyak nilai yang bisa kita temukan dalam dalam pewayangan, seperti nilai kebenaran. Meskipun wilayah wayang “normatif” namun dalam pemaparan lakon, dalang juga kadang masuk secara mendalam ke wilayah pengetahuan empiris dan praktis, bahkan hingga ke wilayah metafisika.

Lalu ada juga tertanam nilai kebaikan. Wayang dalam fungsinya sebagai tuntunan, baik dalam narasi,rupa, dan ajaran moral selalu memberikan gambaran tentang nilai baik dan buruk. Disampaikan soal dilema moral, cara mengurainya, dan solusi piliham purtusan moral yang tepat melalui pergelaran maupun cerita wayang.

Berikutnya ada nilai keindahan, yaitu wujud (narasi, rupa & pergelaran) penuh susastra/kemegahan atau tonjolkan kesederhanaan. Pada pusat budaya biasanya ada standar tinggi terkait dengan wujud, sehingga pergelaran dan penonton relatif berjarak. Pada wayang rakyat pilihan wujud mengikuti “kahanan”, menampilkan keindahan dalam kebersahajaan, guyup, hidup (yang hadir hampir saling kenal semua), dan pergelaran sungguh menyatu luluh dengan lingkungan.

Di akhir pemaparan Sindung mengatakan wayang sebagaimana seni lain merupakan subyek sekaligus obyek artikulasi pemaknaan hidup manusia dengan segala warna dan iramanya. Wayang sebagai realitas obyektif akan memanggil reaksi dari manusia, namun wayang juga bagian dari eksternalisasi entitas subyektif manusia. Karenanya wayang tidak pernah beku dan membatu, justru berproses seiring dengan dinamika kehidupan manusia. Ada yang berkembang, ada yang luruh dan mati.

Penetapan wayang sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity sesungguhnya memiliki fungsi strategis ganda. Pada suatu sisi merupakan ‘peringatan’ bahwa wayang sudah termasuk “tradisi yang terancam punah”, namun pada sisi lain merupakan dukungan moral dunia untuk kelestarian dan pengembangan wayang. Dukungan moral dunia semestinya dibarengi dengan politik dan strategi kebudayaan yang tepat. Jika tidak, wayang sebagai salah satu identitas bangsa akan sungguh punah, dan hanya akan ditemukan di museum dan industri pariwisata. Sebagai “tradisi yang hidup” mungkin suatu saat nanti wayang akan “mati”.

Tahta Harimurti Proboatmojo

Tahta Harimurti Proboatmojo, narasumber ketiga yang masih tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Ilmu Budaya UGM, sangat pas bercerita tentang wayang untuk generasi milenial. Menurut Tahta, pewayangan harus diajarkan di sekolah. Permasalahan yang sangat jelas adalah minimnya pelajaran dan pengajar pewayangan di sekolah. Sangat jarang guru pelajaraan bahasa Jawa di sekolah yang menguasai cerita pewayangan, padahal cerita wayang paling banyak disampaikan saat pelajaran bahasa Jawa.

Saat Tahta duduk di bangku SMP ada kejadian pertunjukan wayang di Bantul, banyak sekali anak-anak yang menonton. Rupanya mereka mendapatkan tugas dari guru mereka untuk merangkum isi cerita wayang yang dipergelarkan malam itu. Tahta melihat ‘pemaksaan’ menonton wayang dari sang guru sangat bagus untuk mendekatkan generasi muda ke dunia pewayangan.

Saat ini jamannya pemakaian media sosial untuk kebutuhan apapun. Tahta melihat sangat penting menunjukkan eksistensi dari pewayangan Indonesia melalui berbagai medsos yang digemari generasi muda, seperti Instagram, Youtube, dll. Tahta memberikan contoh wayang digital sangat bagus untuk memperkenalkan wayang kepada kaum milenial. Selain publikasi lewat sosmed, Tahta berpikiran sebaiknya diperbanyak pertunjukan wayang di masyarakat secara fisik / offline di tempat-tempat umum, baik wayang kulit, wayang orang maupun wayang golek.

Tahta berpendapat saat ini dalam sebuah pergelaran wayang sebaiknya diberikan ‘element of surprise’. Dalang harus bisa lebih berinteraksi dengan penonton. Bisa dengan menyelipkan sedikit berita yang up to date, dapat dijadikan sebagai jokes atau bahkan sarkasme. Namun tetap harus menjadi dalang yang baik dengan tidak melanggar tatanan, tetap menjadi tuntunan, serta tetap memberi tontonan.

Menurut Tahta tidak masalah membawakan lakon yang sudah mainstream. Lakon-lakon sejuta umat semisal “Babad Alas Wanamarta” atau “Anoman Duta” perlu juga ditampilkan untuk menggaet minat generasi milenial. Karena anak-anak muda jaman sekarang dapat dibilang 90% adalah awam dalam hal pewayangan, sehingga lakon-lakon yang sudah biasa pun tetao terasa baru untuk mereka.

Terakhir Tahta menyatakan jika “pasar” yang dituju adalah kaum muda, maka pakeliran padat (durasi pendek dan hanya petilan cerita tertentu) akan lebih efektif daripada pakeliran wetah (semalam suntuk). Menurut pengalamannya anak-anak muda tertarik menonton wayang hanya pada awal-awal cerita saja, sangat jarang yang bertahan semalam suntuk.

Namastra Probosunu

Namastra Probosunu, sebagai narasumber terakhir membahas bagimana mendekatkan generasi milenial dengan wayang, seperti apa yang disampaikan oleh Tahta. Dampak globalisasi terhadap budaya memang sungguh luar biasa. Jadi ada pertentangan di sini, kaum milenial yang maju dan modern berhadapan dengan wayang yang termasuk tradisional dan cenderung kuno. Akhirnya permasalahan yang dihadapi adalah adanya krisis pelaku (pemain, dalang), krisis penonton dan krisis penanggap.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Dari lingkungan terkecil yaitu keluarga seharusnya yang memulai mengenalkan sejak dini anak-anak terhadap wayang. Semisal orang tua memberikan bacaan komik wayang, mengajak menyaksikan pergelaran wayang, dan meluangkan waktu menemani anak belajar wayang.

RM. Donny Surya Megananda, moderator webinar

Lalu dari kacamata pelaku seni (dalang), pertunjukan wayang tidak harus semalam suntuk. Bisa berupa pakeliran padat atau wayang climen (wayang kulit yang didesain dengan sangat simpel, minimalis dan sederhana) agar penonton tidak bosan. Harus kreatif dalam berolah seni pedalangan, dan membuat tata panggung yang menarik. Bisa juga dengan memberikan kesempatah kepada dalang anak-anak ikut mengawali pentas (mucuki) sebelum dalang dewasa tampil. Karena ini era milenium, sebaiknya pergelaran wayang juga diunggah di media sosial.

Kemudian dari pihak sekolah atau guru alangkah baiknya memperkenalkan wayang di lingkungan sekolah secara sederhana, mengajak murid menyaksikan festival wayang atau lomba dalang, serta memberikan apresiasi kepada peserta didik yang menggeluti seni wayang / pedalangan.

Iva Ariani, pembawa acara webinar

Yang terakhir, pihak pemerintah seharusnya mau memfasilitas sanggar seni yang mengembangkan seni budaya wayang dan memfasilitasi pementasan / festival wayang dan dalang oleh kaum milenial. Yang terjadi sekarang ini ajang untuk anak-anak SD sampai SMP sudah ada, namun untuk level anak-anak SMA atau usia remaja nampaknya sangat kurang diberikan kesempatan tampil.

*) Materi webinar bisa dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=rKMkJP7ZVpM

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*