Oleh: Sitawati Ken Utami
Mendapat kesempatan berkegiatan bersama anak muda di ranah budaya sangat menyenangkan, khususnya ketika saya dan kawan-kawan sedang dalam upaya melakukan sosialisasi pemakaian kebaya dan kain. Secara umum, tidak mudah dengan serta merta anak-anak muda mau diajak berkain kebaya. Trend dari tahun ke tahun yang terjadi, anak muda suka berkiblat ke negara luar. Dulu tahun 70-90 an, anak muda suka meniru cara berpakaian dari Barat antara Amerika dan Eropa. Sekarang ini tahun 2000 an lebih banyak mereka menyukai fashion Asia antara Arab, Jepang dan Korea. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Yang namanya fashion memang dinamis dan saling mempengaruhi lintas budaya.
Sebagai aktivis pecinta kain dan kebaya, saya tentu ingin anak muda tetap mengenal busana lokal dan bahkan tradisional dengan memakai sesering mungkin di berbagai kesempatan. Harus diakui, saat ini pemakaian kain dan kebaya di kalangan anak muda masih belum semarak. Keinginan berbusana daerah masih ada di acara-acara resmi seperti pernikahan dan event khusus seperti peringatan Hari Kartini.
Dalam berbagai acara gerakan kain kebaya, pertanyaan yang selalu muncul : bagaimana kain kebaya bisa disukai oleh kaum muda? Tentu ini PR besar! Darimana awal mula membuat anak muda suka memakai kain dan kebaya? Jawabannya tentu saja dimulai oleh para pelaku cinta kain kebaya itu sendiri. Dengan cara mengajak keluarga entah anak, keponakan, cucu, dan kerabat terdekat lainnya. Apakah hal itu cukup ? Tentu saja tidak! Terlalu jauh perjalanan untuk menggapai anak muda secara masif.
Hampir pada semua gerakan berkain dan kebaya saat ini, selalu melibatkan anak muda, entah dalam acara budaya dengan memperagakan busana daerah ataupun berkain kebaya modern. Anak muda mulai terlihat antusias terlibat dan tertarik menghadiri acara talk show yang disertai dengan turorial berkain dan berkebaya di kampus. Saya menangkap ada keingintahuan terhadap keberagaman jenis kain dan kebaya. Dalam perbincangan dengan anak muda tentang batik, masih ada minat pada keindahan warnanya semata. Oleh karenanya sharing tentang ciri khas batik dan perbedaaanya dari suatu daerah dengan daerah lain menjadi topik yang menarik. Perbedaan antara batik “pedalaman” Yogya – Solo dan batik pesisiran laut Jawa, batik luar Jawa, ragam tenun mulai dari Sumatra hingga ke Nusa Tenggara Timur serta beraneka model kebaya cukup memberi wawasan tentang betapa kayanya Indonesia.
Kenapa anak muda perlu didorong untuk mencintai kain kebaya? Karena keduanya merupakan warisan budaya tak benda (WBTB) yang diwariskan dari generasi ke generasi dan memberikan rasa identitas berkelanjutan untuk menghargai perbedaan budaya dan kreativitas manusia. Dalam konvensi UNESCO 2003, warisan budaya tak benda adalah berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan, instrumen, obyek, artefak, dan ruang-ruang budaya yang terkait. Dalam hal ini kain dan kebaya masuk kedalam kategori kemahiran dan kerajinan tradisional.
Artinya pelestarian kain dan kebaya tentu saja ada di tangan generasi muda yang saat ini berusia 18-30 tahun. Dengan kesadaran penuh, mereka perlu dimotivasi untuk menggunakan kain dan kebaya di berbagai kegiatan. Tantangannya, perlu ada desain kain dan kebaya yang sesuai dipakai untuk keseharian anak muda baik yang masih kuliah ataupun bekerja. Kebaya dapat dibuat dari bahan katun atau kaos yang nyaman dipakai dalam perjalanan dan kegiatan kampus atau kantor. Pemakaian kain juga lebih kreatif dan simpel sesuai jiwa muda pemakai. Warna kebaya juga dapat dibuat lebih cerah dengan model yang sederhana tanpa bordir dan payet. Asesoris sebagai pelengkap padu pada kain kebaya juga bisa dipilih untuk suasana santai memakai sepatu casual, tas ransel dan juga ditambah dengan topi atau kerudung yang dipakai sehari-hari.
Sedangkan untuk remaja yang masih menuntul ilmu di tingkat sekolah menengah, sebagian besar waktunya dihabiskan di sekolah dengan memakai seragam, maka kebijakan dan peraturan dari pihak sekolah atau pemerintah daerah memegang peran penting. Untuk daerah-daerah tertentu, memang sudah diberlakukan kebijakan pemakaian busana di hari-hari khusus, meliputi seluruh pegawai pemerintah dan siswa sekolah.
Mengutip penuturan Edi Sedyawati dalam pengantar Seminar Warisan Budaya Takbenda tahun 2002 di laman Kementrian Pendidikan dan kebudayaan, bahwasanya “Warisan Budaya Takbenda atau intangible cultural heritage bersifat tak dapat dipegang (intangible/abstrak), seperti konsep dan teknologi; dan sifatnya dapat berlalu dan hilang dalam waktu seiring perkembangan zaman seperti misalnya bahasa, musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku terstruktur lain”.
Dengan demikian pelestarian kain dan kebaya dengan mendorong anak muda mencintai dan memakai kain kebaya akan menjaga supaya tidak hilang ditelan zaman dan diwariskan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Bukan sekedar pendaftaran atau pencatatan, melainkan internalisasi kain dan kebaya ke dalam rasa cinta warisan leluhur. Semoga.