Menatap Masa Depan Bali dari Alas Mertajati

Dilatarbelakangi atas keprihatinan melihat kondisi Bali terkini di tengah pandemi Covid-19 melanda, serta adanya eksploitasi kawasan Alas Mertajati yang ada di sekitar Danau Tamblingan, Desa Munduk, Kab. Buleleng, Bali, pada hari Sabtu (5/12/2020) pukul 10.00-12.00 WIB melalui Zoom Meeting Room berlangsung webinar dengan judul “Menatap Masa Depan Bali dari Alas Mertajati”. Tampil memberikan pidato pembukaan IGN Agung Diatmika, Ketua Pengda Kagama Bali, serta sebagai keynote speaker adalah Ganjar Pranowo, Ketua Umum Kagama. Bertindak sebagai pembawa acara adalah Dean Ananda, dan Dr. Made Gde Subha Karma Kersen yang memoderatori acara. Webinar menghadirkan 2 narasumber yaitu AAGN Ari Dwipayana, Sekjen PP Kagama dan Putu Ardana, pelestari Alas Mertajati, serta Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, SU, guru besar di Universitas Udayana Bali sebagai penanggap diskusi.

IGN Agung Diatmika

Tampil memberikan opening speech, IGN Agung Diatmika mengatakan diskusi bertujuan untuk mencari pemikiran-pemikiran alternatif dalam melihat masa depan Bali pasca pandemi Covid-19. Pemikiran itu nantinya akan disampaikan kepada pemerintah untuk disinergikan dengan rencana pembangunan ke depan.

Ganjar Pranowo

Sementara itu Ganjar Pranowo, Ketua Umum Kagama. menegaskan arah pembangunan yang makin peduli lingkungan sudah menjadi tuntutan global, meski bukan hal yang mudah untuk diwujudkan. Namun ia yakin, Bali akan menemukan jalan untuk bisa memadukan hal tersebut menjadi hal yang harmonis dan bisa menjadi model bagi daerah-daerah lain.

Narasumber pertama, Putu Ardana yang akrab disapa Kawenk, mengatakan eksploitasi di wilayah Alas Mertajati dinilai mengancam kelestarian Bali dengan budaya agrarisnya. Keberlangsungan sistem pengelolaan pengairan sawah atau biasa disebut subak, bisa terancam bila krisis air terjadi karena mengeringnya danau.

Putu Ardana

Masyarakat adat Dalem Tamblingan melihat terjadinya degradasi eksistensi Alas Mertajati. Sungai-sungai di luar kawasan sudah mulai mengering. Selama sekitar 2 tahun mereka berjuang dan memohon kepada pemerintah agar Alas Mertajati dikembalikan statusnya menjadi hutan adat kembali. Tujuannya agar kelestarian hutan akan terjaga karena keberadaan hutan akan disakralkan dan dijauhkan dari eksploitasi.

Alas Mertajati yang luasnya sekitar 1400 hektar itu sudah disakralkan oleh masyarakat sejak abad ke-14. Sejak saat itu masyarakat yang sebelumnya tinggal di daerah Alas Mertajati memutuskan pindah dan memilih tinggal di Catur Desa yakni Desa Munduk, Gobleg, Gesing, dan Umajero.

Sejak kemerdekaan, Alas Mertajati diklaim oleh negara sehingga masyarakat tidak mempunyai legal standing untuk melakukan pengawasan. Jika terjadi kegiatan atau tindakan yang menganggu keberadaan danau atau hutan, tidak ada yang bisa dilakukan oleh masyarakat adat selain membuat laporan yang belum tentu ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.

Kawenk menambahkan, kondisi lain yang memperparah Alas Mertajati adalah sikap yang dilakukan pemerintah yang menjadikan kawasan itu menjadi taman wisata alam. Sikap tersebut sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat adat Tamblingan yang selalu memuliakan air dan harmoni dengan alam.

Dalam memperjuangkan Alas Mertajati sebagai hutan adat, banyak melibatkan partisipan muda dalam melakukan pemetaan-pemetaan, seperti pemetaan sosial budaya, dan potensi ekonomi. Karena lemahnya posisi mereka, sempat muncul adanya pemukiman liar di dalam hutan. Pada 2015, desa adat bertindak untuk memindahkan para penghuninya sehingga sempat menimbulkan polemik, termasuk tuduhan adanya pelanggaran HAM. Kawenk berharap dengan adanya momentum pandemi, pemerintah dapat melakukan evaluasi sehingga konservasi alam menjadi prioritas utama dan bukannya fokus pada sektor pariwisata.

Prof. I Wayan Windia

Apa yang dinyatakan oleh Kawenk tersebut, didukung sepenuhnya oleh penanggap diskusi, Prof. I Wayan Windia,  yang juga menekankan pentingnya menjaga kelestarian Alas Mertajati. Kawasan tersebut adalah bagian konservasi air yang sangat penting artinya. Jika Alas Mertajati yang terletak di atas sudah kering dan habis airnya kelak, Bali akan mengalami krisis parah. Budayanya akan menghilang, begitu pula ekonominya.

Prof. Windia mengutip sebuah penelitian, bahwa Subak sendiri diramalkan akan hilang pada tahun 2030 kelak karena alih fungsi lahan yang begitu cepat mencapai 2800 ha per tahunnya. Jadi, jika air sudah tidak ada lagi, maka subak hanya akan dikenang namanya saja.

AAGN Ari Dwipayana

Sementara itu narasumber berikutnya, AAGN Ari Dwipayana menyebutkan pandemi Covid-19 menyebabkan ekonomi Bali mengalami kontraksi luar biasa. Kebijakan pembatasan perjalanan domestik maupun internasional menyebabkan perekonomian Bali yang sangat mengandalkan pariwisata mengalami pukulan hebat.

Ari menambahkan, situasi stagnan dan terjadinya pelambatan secara global akibat pandemi Covid-19, memberi kesempatan bagi semua pihak untuk mengubah rutinitas. Dalam upaya memulihkan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19, Bali perlu mengoreksi sejumlah kelemahannya, terutama, krisis pariwisata monokultur dan krisis ekologi. Serta menyeimbangkan tiga sektor ekonominya, yakni, pariwisata, pertanian, dan ekonomi kreatif.

Namun Ari berharap dengan adanya pandemi justru bisa menjadi momentum bagi Bali untuk mulat sarira (introspeksi diri) dalam menata dan menyiapkan pembangunan Bali di masa depan. Bali dapat tetap mengandalkan pariwisata sebagai sumber ekonomi namun perlu menyesuaikan model pariwisatanya dan membangun sektor ekonomi lain sebagai penyeimbang sektor pariwisata. Juga pengembangan pariwisata di Bali sebaiknya memperhatikan isu kesehatan secara luas, termasuk kesehatan lingkungan. [itok]

*) Materi webinar bisa disaksikan di kanal Youtube Kagama Channel berikut ini:

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*