Kagama Goes Green Webinar 3: Badak di Indonesia Meniti Jalan Kepunahan atau Selamat?

Oleh: Febri Anggriawan Widodo

Menyambut perayaan World Rhino Day 2020 pada hari Minggu (27/9/2020) jam 14.00 – 17.00 WIB berlangsung Kagama Goes Green Webinar Seri 3 yang diselenggarakan oleh PP Kagama dengan judul “Badak di Indonesia Meniti Jalan Kepunahan atau Selamat?” diikuti oleh sekitar 400 peserta. Webinar menampilkan 3 narasumber yaitu drh. Indra Exploitasia, M.Si (Direktur KKH Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Rudi Putra (Ketua Dewan Pembina Yayasan Forum Konservasi Leuser) dan Dwi Nugroho Adhiasto, S.Si, M.A (Matalabiogama, Wildlife Trade Specialist WCS-Indonesia). Hadir pula AAGN Ari Dwipayana (Sekjen PP Kagama) memberikan opening speech, dan Ir. Wahjudi Wardojo, M.Sc (Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sebagai keynote speaker, serta Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc (Guru besar Fakultas Kehutanan UGM) sebagai penanggap. Acara dimoderatori oleh Nawa Murtiyanto, S.IP., MPA (Koord. Dept. LH dan PB PP Kagama), dan dipandu oleh Wiwit Wijayanti (Tim Humas PP Kagama).

Ari Dwipayana yang tampil di awal acara mengatakan meski di masa pandemi, hal-hal yang terkait dengan ekosistem dan keanekaragaman hayati tetap menjadi perhatian kita. Pada dua webinar sebelumnya Kagama Goes Green sudah membahas harimau dan orangutan, dan kali ini membicarakan nasib badak yang keberadaannya sangat kritis. Jika kita tidak melakukan langkah-langkah yang extra ordinary, maka dikhawatirkan badak sumatera dan jawa akan benar-benar punah di negeri ini.

AAGN Ari Dwipayana, Sekjen PP Kagama

Diperlukan kepedulian kita bersama sebagai warga Kagama, bukan hanya mengandalkan pemerintah dalam hal ini KLHK. Apa yang akan kita bicarakan dan lakukan dalam webinar kali ini setidaknya bisa mengidentifikasi apa saja yang bisa dikerjakan dan siapa saja yang akan melakukan. Karena ancaman terhadap terhadap keberadaan badak bukan hanya masalah perburuan liar, namun juga habitatnya yang semakin menyempit karena berbagai faktor. Ke depannya kita akan membuat langkah bersama atau collective actions antara pemerintah, masyarakat sipil, kaum akademisi, juga kita sebagai Kagama, sehingga kita bisa bahu-membahu melakukan konservasi terhadap badak untuk tetap menjaga keberadaan badak di bumi nusantara.

Ari menambahkan penangkaran dan melepasliarkan badak kembali ke habitat penting untuk menyelamatkan spesies badak. Ia berharap webinar kali ini dapat menjadi extraordinary section buat policy atau position paper untuk mendorong pemerintah melakukan penyelamatan badak di Indonesia.

Ir. Wahjudi Wardojo, M.Sc., Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Wahjudi Wardojo, selaku keynote speaker, mengatakan konservasi penting dilakukan karena pengelolaan yang rasional sangat penting untuk kita lakukan agar dapat dimanfaatkan bukan hanya generasi sekarang saja. Konservasi tidak hanya berbicara proteksi semata. Pada dasarnya kita harus memilah mana yang harus kita konservasi dan mana yang tidak. Semua agama memuat isu konservasi dimana tiada makhluk hidup di dunia ini yang tidak memiliki manfaat. Ini mengajak kita untuk melakukan valuing nature.

Pengetahuan kita tentang alam sangat sedikit berimplikasi pada pemaknaan alam yang rendah sehingga terjadi kerusakan alam. Indonesia adalah negara super power untuk keanekaragaman hayati nomor 2 terrestrial dan nomor 1 marine. Untuk keanekaragaman hayati laut, Indonesia memiliki 75% spesies laut di seluruh bumi. Keanekaragaman hayati adalah sistem penyangga kehidupan yang esensial, namun pembangunan dan kepentingan ekonomi mengalahkan keanekaragaman hayati. Padahal dengan perkembangan teknologi, seharusnya bisa mendukung pembangunan dengan keanekaragaman hayati. Ketidakberhasilan konservasi, salah satunya disebabkan ketidakpahaman pada peran spesies terhadap kehidupan manusia.

Indonesia memiliki 2 dari 5 spesies badak di dunia. Selain peran alami badak misalnya sebagai pengendali vegetasi dan penyebar biji, terdapat peran lain namun masih banyak yang belum kita ketahui sehingga jangan sampai peran ini belum terungkap ketika badak sudah punah. Populasi badak sumatera saat ini lebih mengkhawatirkan karena populasinya tersebar sedangkan badak jawa ada kecenderungan mengalami kenaikan karena adanya kelahiran baru. Kita mencoba melindungi badak melalui partnership dan berbagi peran dengan para pihak seperti dari pemerintah pusat dan daerah, akademisi/universitas, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat dengan menerapkan prinsip 3M yaitu mutual respect, mutual trust and mutual benefit.

drh. Indra Exploitasia, M.Si., Direktur KKH Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Indra Exploitasia, sebagai narasumber pertama menyatakan kegiatan konservasi badak di Indonesia melalui pembinaan populasi dan habitat, perlindungan dan pengamanan, semi-wild insitu captive breeding (ex-situ link to insitu). Untuk menjamin keragaman genetik termasuk menghindari inbreeding pemerintah telah menjalin kerjasama dengan pemerintah Malaysia dalam proyek bayi tabung untuk menyelamatkan spesies badak Sumatera, penyelamatan terhadap badak “doomed”, penyadartahuan, pengelolaan termasuk sistem data yang terintegrasi (trajectory).

Ancaman kelestarian badak sumatera di pulau Sumatera yaitu berkurangnya luas hutan habitat badak, fragmentasi habitat dan gangguan aktivitas manusia, sedangkan di pulau Kalimantan akibat tingginya aktivitas manusia. Lalu pada badak jawa yang semuanya berada di Ujung Kulon ancamannya adalah populasi kecil berada di satu habitat, serta habitat rentan terhadap bencana alam dan penyakit.

Konservasi badak memerlukan dukungan berbagai pihak karena tantangan minimnya potensi natural reproduction sehingga memerlukan dukungan, salah satunya teknologi bayi tabung. Saat ini pemerintah Indonesia sudah memiliki laboratorium namun masih belum berhasil untuk pembiakan buatan.

Rudi Putra, Ketua Dewan Pembina Yayasan Forum Konservasi Leuser

Narasumber kedua, Rudi Putra menjelaskan badak sumatera merupakan spesies badak terkecil di dunia dengan maksimal berat 1 ton. Populasinya menurun daru tahun ke tahun. Pada tahun 1990 tercatat sekitar 400 individu dan tahun 2020 diperkirakan hanya tinggal 80 individu saja. Kesempatan menyelamatkan badak Sumatera yang saat ini hanya ada di Indonesia karena di Malaysia sudah mengalami kepunahan.

Di Sumatera ada di tiga tempat saja di Leuser dengan sekitar 4 kantong, Bukit Barisan Selatan populasinya kritis kurang dari 5 individu dan Way Kambas dengan perkiraan populasi di bawah 15 individu di Sumatera dan di Kalimantan sementara terdeteksi di Kalimantan Timur. Permasalahan utama adalah deforestasi di Sumatera dan Kalimantan, perburuan menggunakan perangkap/jerat sebagai catatan di Leuser disita lebih dari 5000 jerat, pembangunan jalan/akses yang memudahkan orang untuk mengakses habitat badak.

Ancaman terbesar bagi konservasi badak di Leuser adalah ancaman pembangunan jalan yang berpotensi merusak habitat karena memberikan akses ke manusia, selain itu juga pembangunan bendungan besar di Leuser. Oleh karenanya, rencana kebijakan pembangunan jalan dan bendungan tersebut perlu ditinjau ulang.

Dwi Nugroho Adhiasto, S.Si, M.A., Matalabiogama, Wildlife Trade Specialist WCS-Indonesia

Narasumber terakhir Dwi Nugroho Adhiasto mengatakan perburuan dan peredaran cula badak merupakan salah satu ancaman populasi badak saat ini. Terdapat beberapa motif perburuan dan peredaran ilegal satwa liar; untuk kesenangan, pemenuhan kebutuhan protein, subsistence/bertahan hidup, kepentingan komersial dan pengobatan; satwa liar dianggap sebagai hama; karena konflik satwa dan manusia; menunjukkan status/gengsi; bagian dari budaya/adat; dan ‘pencucian’ stok bagian satwa liar yang berharga ke pasar gelap.

Upaya penegakan hukum Indonesia tergolong tinggi dibanding negara lain di Asia Tenggara. Sejak tahun 2016, setiap tahun lebih dari 200 operasi penangkapan dengan lebih dari 250 tersangka dilakukan oleh semua otoritas yang berwenang di bidang satwa liar. Operasi penangkapan sejak tahun 2003 telah menyita lebih 213.000 satwa liar hidup dan bagiannya yang diburu dan diperdagangkan secara ilegal. Ada kecenderungan penurunan jumlah jerat yang ditemukan tim patroli di habitat badak, namun pertanyaannya apakah karena ada upaya pencegahan berupa patroli pembersihan jerat yang efektif atau karena memang jerat tidak dipasang oleh pemburu lagi karena mereka tahu bahwa tidak ada badak lagi yang dijerat?  

Proses penegakan hukumnya, untuk organisasi yang terafiliasi dengan keluarga atau etnis harus dicari siapa pemimpin utama nya. Ketika pemimpin utama telah ditangkap maka bisa meruntuhkan bisnis ilegal nya. Untuk kelompok kelompok pemburu sampai penampung lokal yang tidak terafiliasi oleh keluarga atau etnis, maka penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu, dari pemburu sampai dengan penampung lokal. Untuk memastikan upaya penegakan hukum berjalan dengan efektif, perlu diidentifikasi motif para pelaku dalam melakukan perburuan atau peredaran ilegal ini. Motif ini bisa dipakai untuk menentukan apakah pelaku termasuk sebagai pelaku kriminal atau pelaku yang memanfaatkan satwa liar untuk kebutuhan subsisten, atau tradisi/adat. Untuk perburuan dan peredaran cula badak, para pelaku adalah kelompok kriminal, sehingga upaya penegakan hukum harus melalui operasi penangkapan.

Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut, M.Sc., Guru besar Fakultas Kehutanan UGM

Pada sesi terakhir tampil Prof. Satyawan Pudyatmoko menjelaskan konservasi badak di Indonesia untuk badak jawa walaupun populasi kecil dan hanya ada di TN Ujung Kulon dengan kondisi ekosistem cukup baik. Juga terdapat kelahiran badak. Namun Ujung Kulon rentan terhadap bencana alam karena letaknya yang dekat dengan Gunung Krakatau, serta juga rentan terserang penyebaran penyakit dari binatang ternak.

Badak jawa juga memiliki beberapa subspecies dan subspecies terakhir di Vietnam telah punah tahun 2010. Hal ini menempatkan hanya Indonesia yang memiliki badak jawa. Kita tidak boleh terlambat. Di Vietnam mengalami keterlambatan menekan ancaman seperti perburuan. Pengalaman di Vietnam tidak mengambil keputusan yang cepat dalam melestarikan badak. Pembelajaran badak jawa di Vietnam punah adalah akibat perburuan dan ketidakjelasan otoritas dalam mengambil keputusan penyelamatan.

Untuk badak sumatera terdapat problem sains dan problem manajemen. Berdasarkan publikasi terupdate, terdapat problem catastrophic decline untuk populasi yang penyebabnya tidak jelas sehingga manajemen terarah juga kurang jelas. Banyak problem konservasi badak. Luas habitat sudah sangat berkurang. Populasi 30 tahun lalu perkiraan populasi badak sumatera lebih dari 800 ekor, namun saat ini populasinya kurang dari 100 individu. Problem tersebut baik di in-situ maupun ek-situ atau semi-wild.

Kita harus memahami mengapa reproduction rate badak sangat rendah. Secara alami kemampuan makhluk hidup untuk meningkatkan fitness, namun badak sebaliknya. Di tingkat nasional dan daerah perlu memiliki visi yang sama untuk menyelamatkan badak dan satwa lainnya dengan pembangunan-pembangunan seperti jalan, dam, dsb yang ramah terhadap satwa liar serta para pihak harus membantu mencari solusi dan alternatif.

*) Materi webinar bisa dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=TuwX8iSdOgk

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*