Oleh: Humas Kagama Beksan Jabodetabek
Kagama Beksan Jabodetabek (KBJ) akan menggelar Parade Tari dan Budaya Nusantara “Cakrawala” di Gedung Pewayangan Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah, Sabtu (12/8). KBJ menggandeng sejumlah mitra untuk mendukung pagelarannya, yaitu Adiswara Gadjah Mada (Alumni Paduan Suara UGM), Ikatan Alumni ITB, Wayang Orang Bharata, Sucitta Art, Sanggar Tari Pandawa (EsPe Studio), Grha Wastra Mutu Manikam, Sanggar Pilar Budaya, dan Yayasan Rumah Piatu Muslimin.
Koordinator KBJ, Belinda Arunarwati Margono, mengatakan pentas “Cakrawala” tak lepas dari pemulihan pasca pandemi di semua lini, termasuk aktivitas berkesenian dan berbudaya. Dalam hal ini KBJ sebagai salah satu komunitas seni di bawah PP Kagama, terpanggil untuk menjalankan peran sebagai penggerak di masyarakat, terutama dalam berkesenian dan berbudaya Nusantara.
Dalam kaitannya dengan tema “ke-Nusantara-an” tersebut, KBJ menyelenggarakan pentas “Cakrawala”. Selain mendukung aksi Kagama dalam mengartikulasikan aspirasi dan ragam seni budaya Indonesia agar pulih pasca pukulan berat pandemi, juga untuk mengajak berbagai pihak dan beragam usia, untuk kembali membuka “cakrawala pandangan” pada seni dan budaya Nusantara.
Belinda melanjutkan, mengenal dan memahami Nusantara tercinta haruslah secara menyeluruh. Paling tidak mencakup tiga unsur utama, yaitu alam, sejarah dan budaya. Indonesia adalah sebuah negara kepulauan, dengan letak geografis yang sangat unik berada di antara dua benua dan dua samudra. Sebagai negara kepulauan, Indonesia tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai negara maritim.
“Di sinilah peran anak bangsa untuk mengenal sejarah perjalanan bangsanya, juga ragam budayanya, menjadi sebuah kebutuhan. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal budaya dan jati dirinya,” tegas Belinda.
Kehidupan modern telah banyak mengaburkan urusan sejarah dan budaya, bahkan untuk mengenal alam sekitarnya, terutama untuk generasi muda bahkan remaja, terlebih di kota-kota besar, di mana manusianya sudah terjebak pada rutinitas dan keseharian yang monoton. Dalam situasi ini kesenjangan generasi atau generation gap yang identik dengan perbedaan pandangan dan opini antargenerasi dalam teknologi, politik dan atau nilai kehidupan sosial di masyarakat, termasuk seni dan budaya, menjadi sebuah tantangan yang dihadapi sebuah bangsa dalam menjaga warisan alam, sejarah dan budayanya.
Di sinilah “Cakrawala” hadir, sebagai sebuah tontonan yang ditujukan untuk menggambarkan bagaimana insan Indonesia lintas generasi menyikapi keberlangsungan ragam seni budaya Nusantara warisan berharga leluhur bangsa, di tengah dilematika dan dinamika perkembangan zaman. Gap lintas generasi dalam memaknai cara pandang terhadap alam, sejarah, dan budaya bangsa Indonesia ini digambarkan dalam wujud cerita 5 tokoh berbeda generasi, yaitu Om Krisna, Oma Philomena, Diara, Juno, dan Abinaya.
Petualangan para tokoh tersebut dibuka di suatu masa di tanah Betawi, dilanjutkan dengan perjalanan mengenal kejayaan bangsa pelaut di negeri Angin Mamiri, Sulawesi dan kerajaan Maritim Sriwijaya, Sumatera Selatan. Petualangan juga digambarkan melewati cerita kejayaan para prajurit wanita di tanah para Dewata kemudian melalui perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan, baik oleh para pria maupun wanita, terutama di daerah pesisir dan di pedesaan.
Lebih lanjut petualangan memasuki tahap kekaguman pada kondisi alam lingkungan dan hutan Indonesia yang luar biasa, di tanah Papua dan Kalimantan. Petualangan tersebut membuka wawasan dan cara pandang para tokohnya, sekaligus menghadirkan realita pergulatan pemikiran lintas generasi dalam menyikapi keindahan alam dan keberagaman dalam memaknai seni budaya Nusantara, dan untuk itulah maka pagelaran diberi judul “Cakrawala”.
“Tari Kinang Kilaras, Tari Kipas, Tari Gending Sriwijaya, Tari Legong Condong, Tari Glipang, Tari Tifa, Tarian Aku Papua dan Kanjet Bangentawai adalah 8 rangkaian tarian yang disajikan dalam parade tari & budaya yang menggambarkan perjalanan kelima tokoh dalam menyusuri cakrawala Nusantara,” jelas Belinda.
Ia menambahkan, selama ini KBJ sudah terbiasa menjalin hubungan baik dengan pihak-pihak lain. Sejak awal berdirinya, 6 Juli 2019, KBJ sudah membangun ikatan erat dengan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, khususnya untuk menari atau hambekso (menari tradisional/klasik). Namun demikian, mengingat domisilinya di ibukota dengan segala keberagamannya, KBJ bertekad mengutamakan fleksibilitas dengan mengakomodasi berbagai budaya Nusantara.
Pada usianya yang keempat, KBJ telah melakukan beberapa aksi panggung, antara lain pementasan di Sarinah Thamrin, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dan TMII. Juga aksi rekaman regular untuk Youtube dan beberapa aksi tarian massal secara live seperti memandu tarian pada acara CFD Kebaya goes to UNESCO dan berbagai aktivitas street performance, baik di Jakarta maupun di Yogyakarta. Dan “Cakrawala” menjadi performance pertama KBJ dalam pagelaran yang mandiri.
Parade tari & budaya Nusantara “Cakrawala” adalah salah satu bentuk nyata kecintaan para anggota KBJ dan mitra-mitranya dalam memberikan sumbangsih nyata pada kelangsungan seni dan budaya Nusantara. Di tengah kesibukan para anggota KBJ yang berkarya di ibukota dengan beragam profesi, kesempatan untuk menyajikan sebuah karya seni untuk Nusantara, tetap merupakan sebuah kehormatan.
“Dan semoga menjadi oase segar bagi para penikmat seni dan budaya Nusantara. Selamat menikmati dan menjadi saksi budaya Indonesia tumbuh subur di bumi Nusantara. Sampai jumpa di TMII, Sabtu 12 Agustus,” pungkas Belinda.