Oleh: Belinda Arunarwati Margono
FOLU (Forestry and Other Land-Use) Net Sink 2030 atau sering disebut IFNet 2030 adalah salah satu kebijakan pemerintah cq Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang arahnya pada optimalisasi peran sektor kehutanan dan perubahan lahan lainnya pada penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional. Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari keluarnya Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon atau NEK.
Sektor kehutanan dan perubahan lahan lainnya (FOLU), adalah satu-satunya sektor yang selain menjadi sumber emisi juga sekaligus menjadi penyerap GRK. Untuk itu beragam kegiatan/aksi mitigasi yang ditekankan pada pengurangan emisi dan atau penyimpan/penguatan serapan karbon melalui pendekatan carbon net sink dari FOLU pada tahun 2030, diharapkan dapat menjadi solusi bagi Indonesia. Arti net sink 2030 adalah bahwa sektor FOLU diarahkan untuk mencapai target penurunan emisi karbon sebesar minus 140-juta ton CO2e pada tahun 2030.
Dengan peran sektor FOLU yang sudah mencapai Net Sink pada 2030, sektor lain yang tidak dapat melakukan serapan, dapat terbantu sehingga secara nasional komitmen Indonesia di dunia internasional, dapat lebih mudah dicapai. Dasar hukum IFNet adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SK.168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim. SK ini selanjutnya dilengkapi dengan dokumen Rencana Operasional (ReNops) IFNet 2030.
Dalam rangka menyampaikan informasi pada para pihak tentang ReNops IFNet 2030, KLHK menggelar Sosialiasi Rencana Operasional Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 bersama Forum Pimpinan Lembaga Perguruan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA). Kalangan akademisi, dalam hal ini, menjadi salah satu partner penting, mengingat bahwa konsep dan implementasi IFNet 2030 juga berbasis science.
Sosialisasi dilakukan secara seri, meliputi Regional I Sumatera; Regional II Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah; Regional III Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara; Regional IV Maluku serta Papua; Regional V Sulawesi; dan Regional VI Kalimantan. Sosialisasi Regional III di Yogyakarta dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT, juga Universitas Gadjah Mada (UGM) terutama fakultas kehutanan dan fakultas pertanian, serta dengan stakeholder terkait lainnya di tingkat regional terkait.
Acara sosialisasi dimulai dengan penanaman tiga pohon Nagasari (Mesua ferrea) yang dilakukan oleh Gubernur DI Yogyakarta, Rektor UGM dan Plt. Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman, MSc. Pohon nagasari dipercaya sebagai pohon yang membawa keselamatan, pengobatan, kewibawaan dan perlindungan. Pemilihan jenis nagasari ini disesuaikan dengan desain landscape UGM. Penanaman ke-3 pohon dilakukan di sebelah utara Gedung Pusat disamping barat Fakultas Kehutanan.
Setelah penanaman, rombongan selanjutnya disambut para penari dari Unit Kesenian Mahasiswa (UKM) Swagayugama, yang mengiringi rombongan melintasi Balairung menuju ruang acara di Balai Senat Universitas Gadjah Mada dengan “Gending Gati” khas Yogyakarta. Setelah tarian pembukaan gagrak Yogyakarta “Sekar Pudyastuti”, acara dibuka oleh Plt. Direktur Jenderal PKTL, disaksikan oleh Gubernur DI Yogyakarta yang diwakili oleh Kepala Dinas LHK DI Yogyakarta, dan dihadiri oleh Rektor UGM yang diwakili oleh Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan UGM.
Dalam sambutannya, Gubernur DI Yogyakarta dan Rektor UGM menyampaikan pentingnya peran serta semua pihak mulai dari pemerintah, kalangan akademisi sampai dengan masyarakat di tingkat tapak untuk berkolaborasi dan bersinergis dalam aksi-aksi mitigasi perubahan iklim. Adapun mengingat sifat kondisi wilayah dan budaya masyarakatnya, maka di regional Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara, peran hutan kemasyarakatan dengan mengangkat kearifan local sangat berperan penting dalam kesuksesan aksi-aksi mitigasi perubahan iklim. Untuk itu dalam implementasi lebih jauh, peran para pengelola tapak hingga masyarakat perlu lebih diangkat.
Acara sosialisasi regional kemudian dilanjutkan pemaparan Plt. Dirjen PKTL selaku Ketua Harian I tentang gambaran garis besar kebijakan Indonesia FOLU Net Sink 2030. Dilanjutkan dengan sesi pemaparan oleh Wakil Bidang I Pengelolaan Hutan Lestari; Bidang II Peningkatan Cadangan Karbon; Bidang III Konservasi; Bidang IV Pengelolaan Ekosistem Gambut; dan Bidang V Instrumen dan Informasi. Selanjutnya dilengkapi tanggapan oleh Akademisi FOReTIKA, yaitu Sigit Sunarta, S.Hut, M.Sc. (Fakultas Kehutanan UGM); Dr. Ir. Jaka Widada M.Sc (Fakultas Pertanian UGM); Prof. Ir. Didik Suprayogo M.Sc, PhD (Fakultas Pertanian Prodi Kehutanan Universitas Brawijaya); Dr. Andi Chairil Ichan, S.Hut, M.Si (Fakultas Pertanian Prodi Kehutanan Universitas Mataram); dan Yusratul Aini, S.Hut, M.Si (Fakultas Pertanian Prodi Kehutanan Universitas Nusa Cendana Kupang). Rangkaian acara ini dipandu moderator Ir. R.A. Belinda Arunarwati Margono, M.Sc., PhD, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Selaku Wakil Sekretaris I Tim IFnet 2030.
FOReTIKA berkomitmen penuh untuk mendukung keberhasilan pencapaian FOLU Net Sink 2030 dengan menjaga kelestarian pengelolaan hutan, menggunakan teknologi kehutanan yang tepat, mencegah kebakaran hutan, optimalisasi pengelolaan perhutanan sosial, penguatan pemberdayaan masyarakat dan integrasi big data untuk pengambilan keputusan. Serta dicatat urgensi relevansi Tridarma perguruan tinggi untuk untuk mendukung IFNet 2030.
Acara sosiasialisasi menarik banyak pihak. Total jumlah peserta yang hadir offline kurang lebih 110 orang, sesuai dengan kapasitas Balai Senat UGM; dan hadir secara online sebanyak kurang lebih 1000 orang pada Zoom dan lebih dari 1500 orang di live streaming Youtube. Acara Sosialisasi ditutup dengan pembacaan rangkuman hasil serta catatan-catatan penting lainnya yang harus ditindaklanjuti.
Dicatat juga bahwa Pemerintah Daerah khususnya di DIY sangat concern dengan urusan aksi mitigasi perubahan iklim di tingkat tapak. Dicontohkan dengan pengembangan perhutanan sosial yang menjadi salah satu program pencapaian IFNET 2030 dalam bentuk pengembangan hutan tematik berbasis masyarakat (misalnya dengan nangka (Artocarpus heterophyllus) yang merupakan bahan baku gudeg-makanan khas Yogya), juga pengembangan green space yang dimotori oleh Pemerintah Daerah. Contoh lainnya adalah pengelolaan Kalibiru oleh masyarakat untuk pengembangan ekowisata, pengembangan perdes di Jati Mondok tentang larangan penembakan burung guna mendorong ekowisata khusus bird watching.
Sebagai penutup, sosialisasi IFNET 2030 regional Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara mencatat beberapa hal penting sbb: (1) mitigasi perubahan iklim perlu melibatkan semua pihak sampai dengan di tingkat tapak; (2) koordinasi para pihak untuk bekerja secara sinergis adalah kunci; (3) ketercapaian FOLU net sink bergantung pada kekhasan dan karakteristik region/tapak; (4) Pengisian gap-gap pengetahuan, informasi, inovasi dan teknologi, serta semua sumber daya perlu diselaraskan satu sama lain; (5) peran aktif sektor pertanian untuk mengurangi beban sektor FOLU, salah satunya melalui climate smart agriculture, dipandang sangat strategis; (6) Adanya kriteria dan indikator yang site-spesific sangat penting untuk mengawal keberhasilan implementasi; dan (7) urgensi penguatan komunikasi public, law enforcement, evaluasi kebijakan dan standarisasi, serta pengembangan MRV dengan sistim registrasi nasional (SRN).