Pada perhelatan Nitilaku tahun ini untuk pertama kalinya diperkenalkan sebuah acara penghargaan berjudul “Alumni Mengabdi Award”, yang penyerahannya dilakukan pada acara Malam Alumni di Gedung Grha Sabha Pramana, Sabtu (17/12/2022). Ada lima alumni yang pengabdiannya kepada masyarakat sangat menginspirasi yang terpilih memperoleh penghargaan. Satu di antaranya adalah Farha Abdul Kadir Assegaf, mahasiswi Program Sosiologi S2 Pascasarjana UGM, angkatan 1995.
Perempuan yang akrab disapa Ciciek itu mendapatkan Sandwich Scholar di Australian National University, lalu menjadi dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta, 1999-2004. Sejak kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, ia telah menekuni isu-isu anak-anak, perempuan, dan perdamaian.
Ketulusan dan kesungguhannya dalam kegiatan sosial membuat dirinya dipercaya pemerintah, perusahaan swasta, maupun lembaga internasional untuk memonitor, melaksanakan, maupun memberikan sentuhan berbagai kegiatan perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan. Ciciek terlibat rekonsiliasi antara mantan teroris bom Bali, kedutaan Australia, dan hotel Marriot dengan para korbannya. Pada 2005, namanya masuk dalam 1000 Peace Women Across the Globe, untuk dinominasikan sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian.
Pada 2009, Ciciek bersama suaminya, Suporaharjo (mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM, Angkatan 1982) memutuskan pulang kampung untuk menemani ibu mertua yang sudah tua. Di Desa Ledokombo, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember, Jawa Timur itu, aktivisme sosial pasangan Ciciek-Supo ditantang oleh kondisi desa yang mengenaskan. Saat itu, Ledokombo adalah desa miskin yang dihuni oleh anak-anak, dan orang-orang lanjut usia, karena bapak ibu mereka bekerja di luar negeri jadi buruh migran.
Hanya beberapa pekan tinggal di desa, Ciciek-Supo menyadari, bahwa selama ini ada yang terlupakan dalam kerja perlindungan anak-anak dan pemberdayaan masyarakat desa, yakni keresahan anak-anak dan orang-orang lanjut usia. Mereka adalah korban perjuangan orang tua mengadu nasib di luar negeri. Mereka ditinggalkan di desa tanpa perhatian.
Ciciek meyakini, desa adalah ‘kaki dunia’ wilayah paling bawah tetapi tempat kembali paling nyaman. “Meski dalam perjalanan modernisasi, desa sering dipinggirkan dan tak jarang dirampas isinya, tetapi desa adalah sebaik-baiknya tempat berpulang setelah luka dan kalah perang di kota,” kata Ciciek.
Setelah mendengarkan keresahan dan mencatat kebutuhan anak-anak buruh migran, Ciciek kemudian menyiapkan tempat bermain. Tanoker namanya, yang berarti kepompong dalam bahasa Madura. Anak-anak memilih egrang sebagai media bermain dan belajar. Dari egrang berkembang berbagai macam kegiatan anak-anak Ledokombo. Menurut Ciciek, seluruh proses kegiatan bermain itu harus didasari oleh kegembiraan.
“Dalam mendampingi proses belajar jangan sampai menimbulkan rasa sakit atau melukai anak-anak,” tegasnya.
Oleh karenanya, dalam berbagai festival anak-anak, Tanoker lebih memilih inovasi tarian atau kostum egrang daripada menggunakan adu cepat. Ini dilakukan supaya tak ada rasa sakit yang tertinggal di hati para peserta atau meminimalkan gesekan antar peserta. Lambat laun melalui berbagai kegiatan, masyarakat Ledokombo mulai melihat sesuatu yang berbeda setelah berproses bersama.
Tanoker bukan lagi sebagai tempat bermain, tetapi berubah jadi wahana untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi desa. Orang-orang lanjut usia pun mendapat perhatian dan ikut gembira melihat aksi cucu-cucunya.
Kini Ledokombo telah berkembang menjadi desa wisata. Festival egrang memang menjadi daya tarik utama, namun kegiatan-kegiatan warga desa lain, juga tak kalah menarik, seperti menjalani kehidupan desa, mengolah hasil bumi, mengunjungi tujuh titik desa toleran, bermain dalam kolam lumpur, dan lain-lain.
Masyarakat Desa Ledokombo kini percaya diri untuk mengembangkan diri. Ciciek-Supo melalui Tanoker telah menghidupkan kembali kekuatan desa dalam melindungi anak-anak dan menjaga orang tua lanjut usia.