Ceritanya berawal dari kegundahan Lejaryono warga Dusun Mangir Tengah, Sendangsari, Pajangan, Bantul, yang melihat tetangganya banyak yang kehilangan pekerjaan. Para penambang gamping dan pasir sudah hampir sebulan menganggur, pedagang ratengan (masakan olahan) juga berhenti berjualan. Di tengah kegalauannya ia mendadak teringat salah satu temannya bernama Ardiati Bima (Faperta ’86) yang merupakan pelopor gerakan canthelan. Ia mengutarakan pikirannya kepada Ardiati bahwa ia ingin juga membikin canthelan di rumahnya namun masih ragu. Oleh Ardiati kemudian Lejaryono dihubungkan dengan Kagama Care. Akhirnya Lejaryono mendapatkan dana stimulasi dari Kagama Care yang mana hal itu semakin memantapkan niatnya untuk memulai aksi canthelan. Tentu saja dengan harapan dapat memenuhi pangan tetangga dan lingkungan sekitarnya, serta lebih jauh lagi bisa membuat situasi menjadi semakin kondusif.
Bagi warga dusun kampungnya berbagi dengan cara dicanthelkan merupakan hal yang baru. Meski demikian pada hari pertama menyanthelkan pada tanggal 10 Mei 2020, 6 tas kresek langsung ludes dalam waktu setengah jam. Agar warga lain kebagian maka langsung dicanthelkan lagi sejumlah sembako, sehingga di hari pertama terhitung 3 kali menyanthelkan.
Di hari-hari selanjutnya gantungan canthelan selalu terisi, datang dan pergi orang yang menyanthelkan dan yang mengambil, sehingga sulit terdeteksi berapa banyak jumlah canthelannya. Dalam mengelola canthelan Lejaryono dibantu oleh tetangga dan pemuda setempat. Juga setiap hari istri, anak perempuan dan keponakannya selalu membantu dengan riang hati.
Lejaryono berkisah banyak kisah unik menarik selama hampir sebulan ia melakukan aksi canthelan. Ada wanita tua bernama Mbah Sargiyem yang awalnya mengambil canthelan, di hari yang lain ketika ia menjual panenan pisangnya laku Rp. 115.000,- sebagian hasil jualannya ia belanjakan bahan untuk dicanthelkan. Ketika ia punya rejeki lebih simbah juga menambah isi canthelan.
Ada pula donatur yang sengaja mencanthelkan pada pagi buta selepas subuh. Dihinggapi rasa penasaran Lejaryono sengaja menunggu papan canthelan pada pagi buta itu, tetapi sang penyanthel tak kunjung tiba. Ketika ia tinggal sebentar ternyata canthelan sudah terisi. Ia menyebutnya “penyanthel misterius”, orang yang ingin berbagi dalam senyap. Di hari lain ada gadis remaja bernama Tiara yang sengaja memperingati ulang tahunnya dengan mencanthelkan sembako.
Canthelan di Mangir Tengah yang dikelola oleh Lejaryono kini diakses oleh warga dari 5 pedukuhan yaitu Mangir Tengah, Mangir Lor, Mangir Kidul, Jaten dan Manukan. Atas kesepakatan dengan Pengurus LKMD dan pengurus takmir masjid dusun, Mangir Kidul dan Mangir Lor juga membuat Canthelan dengan nama “Pojok Shodaqoh”. Canthelan adalah sarana untuk menjaga tetangga dan memberi perhatian kepada tetangga “Jagani tanggane, ngelingi tanggane”.
Lejaryono merasa senang bisa sedikit membantu warga di kampungnya. Namun ia juga masih menyimpan kegundahan lainnya, sampai kapan usia canthelan yang dikelolanya akan bertahan karena kita semua tidak ada yang tahu kapan pandemi corona akan berlalu. Memikirkan hal itu pria yang bekerja sebagai tenaga pengajar di SD Sendangsari tersebut mempunyai ide yang semoga tidak lama lagi bisa diwujudkan, yaitu ia akan mengadakan kumpul-kumpul bersama warga kampung untuk mengajarkan bercocok tanam sayur mayur seperti kangkung, sawi, lombok, dll.
Intinya adalah memanfaatkan lahan atau pekarangan masing-masing yang belum tergarap, dengan tujuan utamanya menuju kepada kemandirian atau kedaulatan pangan di kampungnya. Karena untuk hal kemandirian pangan bukan merupakan barang baru buat Lejaryono. Sejak tahun 2016 ia sudah mengelola “Sanggar Megadsari” sebagai tempat mengajarkan anak-anak seni karawitan & tari, dolanan & permainan anak, serta kemandirian pangan. Jujur ia mengakui idenya tersebut tidak bakalan terwujud tanpa bantuan dari warga. Juga ia sangat berharap dukungan dari Kagama Care terutama tentang penyediaan bibit yang akan ditanam.
Leave a Reply