Oleh: Aprinus Salam
Semakin banyak yang mengatakan (termasuk Pakar Bahasa dari UGM) bahwa ketika seseorang dalam berkomunikasi resmi bahasa Indonesia-nya bercampur dengan bahasa asing, maka nasionalismenya dipertanyakan. Orang tersebut dianggap kurang nasionalis, tidak memiliki kebanggaan dalam berbahasa Indonesia, tidak menjunjung Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Pernyataan itu mungkin berdasarkan data-data yang dilihat dari sejumlah artikel di jurnal-jurnal berbahasa Indonesia atau berbagai pertemuan resmi seperti seminar, konfrensi, kongres, dan sebagainya. Dari data-data tersebut, kemudian, diketahui bahwa dalam artikel dan komunikasi pertemuan resmi tersebut begitu banyak ditemukan kata dan istilah bahasa asing, terutama dalam bahasa Inggris.
Sebagai catatan tambahan, dalam komunikasi tidak resmi tidak ada tuntutan untuk berbahasa yang baik dan benar. Padahal, dalam praktik berbahasa sehari-hari, bahasa yang kita gunakan bercampur dengan bahasa asing, baik bahasa lokal maupun bahasa asing lain. Kalau hal tersebut juga menjadi indikator rendahnya nasionalisme warga Indonesia, aduh mak, beberapa hal kayaknya memang perlu diklarifikasi.
Saya memiliki banyak teman dan saudara, termasuk anak saya sendiri, yang kalau berbicara dan menulis sering bercampur dengan Bahasa Inggris. Akan tetapi, insyaallah, saya tidak meragukan nasionalisme mereka. Banyak tetangga dan masyarakat luas yang saya kenal, tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik, tetapi, insyaallah, saya tidak meragukan nasionalisme mereka.
Banyak juga warga Indonesia yang saya kenal secara publik berbahasa Indonesia relatif rapi dan baik. Akan tetapi, sangat sering dari dari berbagai pernyataannya kecewa menjadi bangsa Indonesia. Sangat sering mereka mengatakan dasar negeri +62. Sebagian mereka kecewa karena masih bagian menjadi negara yang ketinggalan dan norak.
Sebagian yang lain membanggakan barang-barang merek luar negeri. Sebagian yang lain masih mengagungkan superioritas Barat. Sebagian yang lain bahkan merendahkan bangsa sendiri yang dinilai bodoh dan kemproh. Sekali lagi, ketika menyampaikan itu dengan Bahasa Indonesia yang relatif baik dan benar.
Artinya, tidak ada hubungan logis yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa cara dan ekspresi berbahasa dapat dikaitkan dengan kadar nasionalisme. Bahkan, sebagai identitas pun tidak begitu relevan. Bahkan, kalau kita berkomunikasi dan mengaku bangsa Indonesia, tidak ada tuntutan sama sekali untuk menguasai sepenuhnya kaidah-kaidah Bahasa Indonesia.
Masih banyak loh saudara-saudara kita di daerah dan di berbagai pelosok tidak bisa atau tidak cakap berbahasa Indonesia. Apakah kemudian saudara-saudara kita itu tidak diakui beridentitas sebagai warga dan bangsa Indonesia. Apalagi jika kemudian saudara-saudara itu dianggap tidak memiliki nasionalisme. Kata Rhoma Irama, “terlalu”.
Bahasa adalah media dan sarana komunikasi, bukan sebagai alat untuk mengukur kadar nasionalisme. Bahwa jika kita berkomunikasi perlu berbahasa Indonesia agar saling memahami memang benar. Akan tetapi, hal itu tidak pernah cukup. Sejauh ini, saya sering berkomunikasi dengan saudara-saudara di pelosok, dengan bahasa campur-campur, bahkan campur-baur, terbukti tidak ada masalah dan bisa saling memahami.
Dengan demikian, kemampuan atau ekspresi berbahasa dan nasionalisme adalah dua hal yang berbeda dan tidak perlu bahkan tidak bisa dikaitkan. Nasionalisme adalah semangat, gairah, suatu karakter yang terkait dengan bagaimana kita mencintai dan bangga menjadi warga dan bangsa Indonesia.
Nasionalisme adalah bagaimana kita memperjuangkan dan kerja keras untuk mengharumkan bangsa dan negara Indonesia. Untuk semangat, gairah, karakter, dan perjuangan membela nama baik Indonesia tersebut, bisa diungkapkan dan dinyatakan dengan berbagai ekspresi dan karya, yang nyaris tidak berhubungan dengan bahasa yang baik dan benar, apalagi dikaitkan dengan penguasaan bahasa Indonesia baku.
Penilaian dan anggapan bahwa banyak saudara kita tidak berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, juga karena sebagian memakai bahasa asing, dan dinilai tidak nasioalis, merupakan pernyataan yang tidak ilmiah dan tidak benar.
Di samping itu, kapasitas bahasa Indonesia juga bukan bahasa yang telah berkembang maksimal. Dengan jumlah kosa kata 127.000-an, dibanding bahasa Inggris yang memiliki lebih dari 1.000.000 kosa kata, maka banyak hal tidak terakomodasi oleh dan dengan bahasa Indonesia.
Alternatifnya, ketika memakai bahasa Indonesia untuk menyampaikan sesuatu secara maksimal (sesuai kebutuhan dan konteksnya), sebagian perlu meminjam bahasa Inggris, bahkan sebagian yang lain memakai bahasa-bahasa lokal (bahasa Ibu).
Bahasa Inggris dikenal sebagai bahasa yang paling banyak menyerap bahasa asing, dan dengan cepat diklaim sebagai bahasa Inggris. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu ragu menyerap kosa kata sebanyak-banyaknya, untuk segera diindonesiakan dan diklaim sebagai bahasa Indonesia.
Dengan pertambahan bahasa di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sekitar 1000-an kata per tahun, tentu perkembangan dan kapasitas Bahasa Indonesia sedikit lambat dan sebagian masih terpaksa memakai bahasa yang dianggap “bahasa asing” karena mungkin belum ada dalam KBBI.
Dengan demikian, kelak tidak perlu ada tuduhan atau anggapan bahwa mereka yang bahasa Indonesia campur baur, atau bahkan tidak berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, dinilai kurang nasionalis. Mari kita tetap berekspresi secara bebas dan merdeka, dalam bahasa apapun, dan terutama tentu dalam Bahasa Indonesia.
Mari kita tetap menjaga semangat nasionalisme kita dengan gairah dan kerja keras mengharumkan nama baik Indonesia. Bismillah.