Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc., memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada PP Kagama atas prakarsanya menggelar webinar seri Presidensi G20 bertema “Pelindungan Lingkungan dan Iklim melalui Peningkatan Aksi di Sektor Berbasis Lahan”, Minggu (13/3/2022). Ia berharap kesempatan yang diberikan kepadanya sebagai keynote speaker dapat memberikan informasi yang komprehensif sekaligus edukasi kepada publik mengenai sektor berbasis lahan sekaligus perannya dalam perlindungan lingkungan dan iklim.
Siti Nurbaya menyatakan pandemi Covid-19 telah menyita seluruh aktivitas dan perhatian masyarakat global. Sementara secara bersamaan dunia juga dihadapkan dengan permasalahan perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan kehidupan di muka bumi. Dalam waktu yang panjang, peningkatan suhu global telah dan akan terus berpengaruh pada kondisi iklim dunia, terutama dengan peningkatan frekuensi fenomena El Nino dan La Nina, yang dampaknya semakin terasa dalam kehidupan kita saat ini.
Bencana yang ditimbulkan antara lain adalah ancaman mencairnya es kutub, naiknya permukaan air laut, banjir dimana-mana, kekeringan di satu sisi, kelangkaan air, suhu ekstrim, kebakaran pada areal yang luas, badai dahsyat, hingga cekaman/stress tanaman dan penurunan keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh ketidakmampuan spesies tertentu untuk beradaptasi dalam iklim yang ekstrim.
“Yang perlu kita sadari adalah bahwa posisi geografis Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap peningkatan frekuensi El Nino dan La Nina ini, yang berarti juga memberikan ancaman serius bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Terlebih di saat negara kita sedang giat-giatnya menjalankan proses transformasi kehidupan sosio-ekonomi berkeadilan menuju negara maju di tahun 2045 mendatang; keluar dari middle-income trap dan meminimalkan kesenjangan sosial,” ucap Menteri LHK.
Di samping itu sebagai negara agraris dan kepulauan, Indonesia makin tidak diuntungkan dalam urusan dampak perubahan iklim ini. Sebagai contoh dampaknya dalam pertanian: produktivitas hasil pertanian menurun sebagai akibat pengaruh berkepanjangan terkait perubahan iklim, misalnya perubahan pola musim hujan, curah hujan, tanda-tanda musim tanam, dsb. Perubahan ini menyebabkan daya adaptabilitas tanaman juga semakin menurun dan mengakibatkan produktivitas tanaman menurun. Contoh lainnya adalah ancaman pada sektor kehutanan dan lahan, di mana timbul musim kering yang sangat kering, yang membuatnya rentan terhadap kejadian kebakaran.
Peningkatan suhu global disebabkan peningkatan gas rumah kaca di atmosfer, dibarengi penurunan daya absorpsi gas rumah kaca yang terkait dengan menyusutnya hutan sekaligus ekosistem alami yang mampu mengabsorbsi karbondioksida. Dengan kondisi tersebut, kita disadarkan kembali bahwa fungsi hutan sangatlah penting dalam perlindungan lingkungan dan iklim. Kita semakin meyakini bahwa keberadaan hutan berperan sangat penting dalam mempengaruhi iklim mikro maupun iklim makro (global) guna meminimalisir efek gas rumah kaca. Terlebih, masyarakat masa kini juga telah mensyaratkan hidup sehat, bersih dan iklim yang sejuk untuk kehidupannya. Ini bisa kita lihat salah satunya dengan meningkatnya kebiasaan bersepeda (biking dan bike to work) untuk kesehatan dan udara bersih, gaya hidup back to nature, kecenderungan penggunaan makanan organik dan bahkan kebutuhan “healing” bagi generasi millenial yang mensyaratkan untuk berada dekat dengan alam, menghirup udara bersih dan berafiliasi dengan sumber daya alam yang sehat dan segar.
Memperhatikan itu semua, makin jelas bahwa permasalahan perubahan iklim sekaligus perlindungan lingkungan, perlu mendapat perhatian khusus semua pihak, lintas generasi, lintas disiplin maupun lintas sektor, untuk secara kolektif ikut memikirkan inovasi dan solusi di seluruh bidang kehidupan. Peranan teknologi dan inovasi dipandang menjadi salah satu kunci penting dalam solusi masalah ini. Beberapa yang sangat penting diantaranya mencakup: (i) bagaimana mempersiapkan transformasi energi menuju Energi Baru Terbarukan (EBT)?; (ii) bagaimana mempersiapkan transformasi teknologi di bidang pertanian (Agriculture), khususnya dalam penggunaan lahan yang efektif dan efisien?; dan (iii) bagaimana mendorong bidang-bidang pengembangan lain yang memerlukan inovasi dan kreatifitas anak bangsa melalui diantaranya usaha ekonomi kreatif, dapat mengurangi ketergantungan pada sektor berbasis lahan.
Indonesia telah melakukan ratifikasi Paris Agreement melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Untuk menjamin tercapainya tujuan Paris Agreement dalam menahan kenaikan suhu global di bawah 2 bahkan 1,5 derajat Celcius tersebut, Keputusan 1/CP.21 Pasal 4 Ayat 19 UNFCCC, memandatkan negara yang melakukan ratifikasi Paris Agreement untuk menyusun rencana jangka panjang rendah emisi karbon (Long Term Strategy, atau LTS). Pada COP 26 Glasgow, Indonesia berkomitmen secara terus-menerus melakukan akselerasi dalam peningkatan target yang lebih besar dengan dukungan kerjasama teknis internasional. Komitmen Indonesia tercantum di dalam dokumen Updated Nationally Determined Contribution (NDC) dan Long-Term Strategies for Low Carbon and Climate Resilience (LTSLCCR) 2050. Target Penurunan emisi Indonesia dalam Updated NDC maupun LTS-LCCR meliputi: FoLU (Forest and Other Land Use) serta Agriculture (pertanian) untuk urusan sektor lahan, dan Energi, Limbah serta Industri (untuk sektor non-lahan).
Sektor FoLU, ditargetkan dapat menurunkan hampir 60% dari total target penurunan emisi nasional. Khusus untuk FoLU, dalam rangka mengakselerasi penurunan emisi nasional, Indonesia menginisiasi “Indonesia FoLU Net-Sink 2030”, sebuah pendekatan dan strategi di mana pada tahun 2030, tingkat serapan sektor FoLU sudah berimbang atau lebih tinggi dari pada tingkat emisinya. Selanjutnya, setelah 2030 Sektor FoLU ditargetkan sudah dapat menyerap GRK bersamaan dengan kegiatan penurunan emisi GRK dari aktivitas transisi energi atau dekarbonisasi serta kegiatan eksplorasi sektor lainnya, tidak terkecuali sektor pertanian, untuk mencapai netral karbon/net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Hal yang perlu dicatat dan tidak dapat dipungkiri adalah, bahwa sektor FoLU memiliki keterkaitan sangat erat dengan sektor pertanian khususnya untuk urusan penyediaan dan pemanfaatan lahan. Agenda FoLU Net-Sink 2030 memiliki dasar hukum Perpres 98 Tahun 2021 dan lebih rinci telah ditetapkan pada Februari yang lalu, yaitu Rencana Operasional FoLU Net-Sink 2030 dengan Kepmen 168 tahun 2022.
Perlu digaris bawahi bahwa sektor lahan (terutama FoLU) sesungguhnya memiliki potensi yang sangat tinggi, tidak hanya mampu mengurangi emisi namun juga menyerap karbon yang ada di atmosfer, tentu apabila dikelola dengan hati-hati dan tepat. Sejak masih di Sekolah Dasar kita belajar tentang fotosintesis dan peran pohon dalam menyerap CO2 dan menghasilkan O2. Kita dapat memanfaatkan sumber daya alam, terutama hutan untuk tujuan kemakmuran. “Hutan” dalam definisi UU 41/1999 merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut Penutupan Hutan atau forest cover merupakan vegetasi, keberadaan Hutan di permukaan bumi yang dapat dideteksi/diindera oleh manusia. Cara melakukan penginderaan yang umum adalah melalui penginderaan jauh dengan citra satelit, dengan teknologi remote sensing yang mensyaratkan metode interpretasi citra dan field check. Luas areal ber penutupan hutan di Indonesia kurang lebih 95 juta Ha atau sekitar 51% dari total luas daratan 187 juta Ha (Rekalkulasi SDH, KLHK 2020). Luas berhutan sebesar ini tentu merupakan reservoir carbon sekaligus modal utama dalam perlindungan lingkungan hidup dan iklim.
Di luar Penutupan Hutan ada istilah yang dikenal dengan Kawasan Hutan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (PP 23/2021). Jadi Kawasan Hutan adalah status dari suatu areal yang diperankan sebagai hutan. Kawasan hutan yang dibagi dalam fungsi hutan konservasi (HK), hutan lindung (HL), hutan produksi yang meliputi hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi biasa atau tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Kawasan Hutan bisa ber penutupan hutan ataupun tidak. Demikian juga sebaliknya, Penutupan Hutan atau forest cover atau vegetasi hutan, bisa ada di dalam Kawasan Hutan, maupun diluar Kawasan Hutan, atau yang hutan sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui, namun membutuhkan waktu yang cukup lama untuk recovery, yang kita kenal dengan suksesi alami, kita harus sangat hati-hati dalam pemanfaatannya guna tujuan perlindungan lingkungan hidup dan iklim. KLHK sedang terus menerus mempelajari hal ini untuk bersama-sama dengan dunia akademik kita bisa mengembalikan karakter alam hutan tropika Indonesia; dan setidaknya memperbaiki habitat metapopulasi yang dalam beberapa puluh tahun mengalami fragmentasi akibat perizinan konsesi dan okupasi manusia.
Sedangkan terkait Agriculture, kita sadar bahwa karakteristik wilayah tropis sangat tepat untuk pengelolaan urusan sektor lahan secara optimal, tepatnya budidaya tanaman yang dapat memanfaatkan energi sinar matahari secara optimal beserta penyerapan CO2 dalam proses fotosintesis sekaligus menghasilkan karbohidrat (untuk ketahanan pangan) dan udara bersih bagi kehidupan (untuk ketahanan iklim). Dalam sistem sumber daya alam kita kenal dengan rantai pangan atau food chain, siklus energi serta siklus air. Kita belajar sejak di Sekolah Dasar tentang hal-hal tersebut dalam Ilmu Dasar IPA. Untuk kebutuhan mendatang, menjaga dan meningkatkan produktivitas pangan melalui ekstensifikasi lahan pertanian menjadi kurang tepat. Karena itu akan membutuhkan proses terjadinya perubahan bentang alam, dan berakibat tekanan yang besar terhadap sektor FoLU, dan ini mengancam kebutuhan perlindungan lingkungan dan iklim. Optimalisasi lahan yang tidak produktif atau kritis dapat menjadi pilihan yang tepat dengan pola agroforestry. Untuk ini, ke depan sangat dibutuhkan inovasi intensifikasi lahan ataupun optimalisasi kearifan lokal untuk menjaga sekaligus meningkatkan produktivitas pangan nasional, tanpa mengurangi peran perlindungan lingkungan dan iklim.
Sampai saat ini sektor kehutanan (FoLU) dan kebakaran gambut masih tercatat sebagai sumber emisi nasional terbesar. Berdasarkan data dari Laporan Inventarisasi GRK dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) Tahun 2020 (KLHK, 2021), sektor kehutanan dan lahan termasuk kebakaran gambut (FoLU) masih menjadi sumber emisi terbesar nasional, yaitu sebesar 924.853 GgCO2e atau 50% dari emisi total nasional (1.866.552 GgCO2e). Emisi dari sektor kehutanan sendiri (tanpa kebakaran gambut) adalah 468.425 GgCO2e atau 25%. Tingginya emisi dari sektor kehutanan dan lahan (FoLU) ini merupakan kontribusi perubahan dari vegetasi tinggi (misal semak belukar) ke vegetasi rendah (rumput) dan non-vegetasi (tanah terbuka), juga deforestasi (dari berhutan menjadi tidak berhutan). Namun perlu dipahami bahwa perubahan dimaksud, termasuk deforestasi yang dihitung dibawah sektor FoLU adalah sebagai akibat dari pemenuhan kebutuhan lahan oleh sektor lainnya, misalnya untuk pengembangan wilayah, ketahanan pangan dan ketahanan energi yang tidak bisa dihindari.
Di negara berkembang dengan kepadatan penduduk yang tinggi seperti Indonesia, kebutuhan lahan untuk pembangunan berpotensi untuk menekan keberadaan hutan yang berujung pada terjadinya deforestasi. Pertanyaannya adalah: bagaimana mengelola sumber daya alam dan memenuhi kebutuhan pembangunan dengan tetap meminimalkan angka deforestasi serendah-rendahnya dalam upaya menuju kelestarian? Konteks “LTS-LCCR” yang didalamnya terdapat FoLU Net Sink, menganut konsep menuju netral karbon/net-zero emission, dimana dalam melaksanakan proses pembangunannya menganut prinsip 17 tujuan dalam SDGs (Sustainable Development Goals). Konsep ini sangat berbeda dengan konsep zero deforestation yang banyak dianut bagi Negara dalam kondisi Net-zero Population Growth (ZPG), dimana dalam sejarah lampaunya telah melakukan deforestasi yang tinggi di saat population growth sedang tinggi-tingginya, namun pada masanya tidak memberi input kebijakan yang menukik dalam menurunkan deforestasi secara drastis. Di sinilah beda antara zero deforestation dan net zero deforestation, dimana setelah hutan negara-negara non population growth tersebut habis hutan nya, lalu pindah sebagai drivers deforestasi di Indonesia, baik yang dilakukan langsung oleh perusahaan-perusahaan mereka maupun oleh rantai pasokan industri mereka. Konsep netral karbon atau netzero emission sudah dimulai oleh Indonesia dengan berperan aktif melalui “leading by example” untuk pengendalian perubahan iklim. Leading by example itu ditunjukkan dengan Langkah-langkah korektif selama 5-7 tahun ini. Seperti dalam pengendalian dan tata kelola gambut, pengendalian secara permanen atas perizinan konsesi hutan bila itu terkait dengan hutan tutupan vegetasi tebal atau primer, rehabilitasi dan konservasi mangrove yang sudah diawali dalam 1-2 tahun ini serta penataan kawasan habitat species wildlife yang selama ini terfragmentasi akibat perizinan konsesi puluhan-belasan tahun lalu. Perhutanan sosial juga merupakan contoh leading by example Indonesia. Pengendalian perizinan sawit serta penataan Kawasan hutan dengan PP 23 Tahun 2021 juga merupakan Langkah leading by example yang masih terus berlangsung. Termasuk penataan kawasan hutan Jawa dan tata kelolanya dengan diantaranya peran BUMN Perhutani.
Berdasarkan peraturan sebelum PP 104 tahun 2015 tentang “Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan untuk kebutuhan pembangunan sektor non kehutanan”, sektor lain dapat mengajukan pelepasan kawasan hutan di areal Kawasan Hutan Produksi yang Dapat diKonversi (HPK) yang berpenutupan baik berhutan ataupun tidak berhutan. Kebutuhan sektor non-kehutanan tersebut diantaranya untuk pertanian, perkebunan, industri, transmigrasi, permukiman dan kegiatan lainnya. Pelepasan kawasan hutan ini diproses berdasarkan pengajuan dari sektor non-kehutanan di mana perizinan kegiatannya adalah sesuai dengan regulasi pada sektor tersebut. Contohnya Izin Usaha Perkebunan diterbitkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya. Kementerian LHK tidak memberikan izin usaha perkebunan, namun apabila terdapat lokasi yang perlu diproses pengajuan pelepasan kawasan hutannya, maka harus mendapat persetujuan pelepasan kawasan hutan dari KLHK. Proses pelepasan kawasan hutan dilakukan dengan sangat prudent dan didasarkan oleh Kajian Tim Terpadu yang beranggotakan diantaranya dari Lembaga Penelitian yang memegang Scientific Authority. Pelepasan kawasan hutan juga harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagai instrumen safeguard untuk memastikan bahwa secara lingkungan tidak berdampak pada lingkungan biotik dan abiotik.
Pasca PP 104 tahun 2015 ketentuan pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi hanya dapat dilakukan pada HPK yang tidak produktif atau tidak berhutan. Perbaikan aturan yang dicontohkan dengan PP 104 tahun 2015 ini merupakan salah satu bentuk corrective action dan corrective policy oleh pemerintah yang saat ini nyata dilakukan. Hal ini juga dilanjutkan dengan adanya Undang Undang Cipta Kerja (UUCK) No 11 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang memperkuat upaya menekan deforestasi. Dimana pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, hanya dilakukan pada HPK yang tidak produktif atau tidak berhutan. Upaya integrative policy approach juga dilakukan pasca UUCK 11/2020, dimana pengaturan pertanahan pada areal berhutan dan mempunyai nilai konservasi tinggi di APL atau non-kawasan hutan, juga telah diatur dalam PP No 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah. Pada aturan tersebut disebutkan kewajiban untuk mengelola, memelihara, dan mengawasi serta mempertahankan fungsi kawasan konservasi bernilai tinggi (High Conservation Value), dalam hal Areal Konservasi Tinggi berada pada areal Hak Guna Usaha (HGU). Dengan peraturan yang telah koheren ini maka instrument perlindungan hutan dalam mencegah deforestasi di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan yang berada di areal HGU, telah tersedia.
Lebih lanjut dalam upaya perlindungan hutan, pemerintah kembali menguatkan dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Penghentian pemberian izin baru diterapkan pada hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi (HK), hutan lindung (HL), hutan produksi yang meliputi hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi biasa atau tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), serta areal penggunaan lain (APL). Dalam hal ini perlindungan hutan dari aspek pengendalian deforestasi pada areal yang perlu dilakukan pelepasan menjadi semakin kuat. Dimana areal yang masuk dalam Penghentian Pemberian Izin dapat dipertahankan dan menjadi salah satu area peningkatan cadangan karbon, sekaligus menjadi faktor serapan emisi karbon yang pada akhirnya dapat memitigasi perubahan iklim, dan memungkinkan untuk dicover dalam wilayah Reduce Emission from Deforestation and Degradation Plus (REDD+) Result Best Payment (RBP).
Sebagai pemilik salah satu hutan tropis terbesar di dunia setelah Brazil dan Kongo, Indonesia berperan aktif dalam agenda perubahan iklim. Bagi Indonesia, mengoptimalkan “leading by example” untuk pengendalian perubahan iklim serta meletakkan pondasi pembangunan lingkungan berprinsip sustainability, telah menjadi tuntutan masyarakat/publik dalam upaya pembangunan sosio ekonomi untuk kebutuhan masa kini, tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang dengan memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Kita sudah 6-7 tahun bekerja keras melakukan berbagai corrective actions dan sudah membuahkan hasil, dan ini perlu kita sistematika untuk lebih baik lagi. Pertama, kita sudah menurunkan angka deforestasi sampai titik terendah dalam sejarah (deforestasi Indonesia tahun 2019 ditekan sampai + 115 ribu ha) (KLHK, 2020), sekaligus menekan karhutla serendah mungkin dalam dekade ini (KLHK, 2021). Kedua, mempertahankan dan meningkatkan kapasitas hutan dalam penyerapan karbon melalui moratorium atau sekarang penghentian (permanent moratorium) hutan alam primer dan gambut seluas lebih dari 66 juta Ha (KLHK, 2021). Ketiga, restorasi dan perbaikan tata air gambut 3,4 juta Ha beserta penataan regulasinya. Keempat, peningkatan rehabilitasi hutan sebagai tujuan pengayaan dalam peningkatan kapasitas serapan GRK dan terus menerus lebih diintensifkan melalui dukungan masyarakat dan swasta dengan melalui pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) untuk melakukan rehabilitasi DAS, skema Corporate Social Responsibility (CSR) dan lain sebagainya. Kelima, pengelolaan hutan lestari melalui pengendalian hutan tanaman 14 juta Ha dengan teknik Reduce Impact Logging (RIL) dan pengembangan SILIN atau Silvikultur Intensif, serta memperkuat pengelolaan perhutanan sosial melalui praktik agroforestry seluas 4,7 juta Ha sampai dengan tahun 2021. Keenam, menjaga areal High Conservation Value Forest (HCVF) tinggi di wilayah perkebunan sawit dan wilayah konsesi kehutanan seluas 4,1 juta Ha. Dan ketujuh, penegakan hukum (Law Enforcement) melalui pengawasan yang semakin ketat dan regulasi yang semakin kuat, serta kedelapan, langkah-langkah menuju penguatan data dan informasi sumber daya hutan bersifat keruangan, yang berkualitas dan terintegrasi sebagai bahan dalam proses pengambilan keputusan.
Sudah banyak hal yang dilakukan oleh Sektor FoLU. Namun dalam kontek sektor berbasis lahan, semua corrective actions dimaksud hasilnya tidak optimal apabila belum mendapatkan dukungan dari Sektor pertanian. Terutama untuk intensifikasi lahan, dukungan teknologi pertanian terkait budidaya tanaman di wilayah ekosistem gambut, dukungan teknologi penyiapan lahan tanpa pembakaran lahan serta dukungan teknologi praktik budidaya perikanan di wilayah ekosistem mangrove serta dukungan sektor lain yang berkontribusi nyata dalam penurunan emisi GRK. Intensifikasi lahan dari sektor pertanian secara komprehensif dapat mengurangi tekanan terhadap sektor FoLU untuk mencapai target penurunan emisi sebagaimana yang disampaikan dalam NDC dan ditegaskan dalam TLS-LCCR serta di desain untuk diwujudkan dalam Indonesia FoLU Net Sink 2030.
Perubahan iklim merupakan masalah bersama, memerlukan peranan aktif berbagai sektor secara simultan untuk menuju net-zero emission/karbon netral. Kita mengajak seluruh komponen bangsa mengambil peranan dalam tujuan bersama ini. Sebagai wujud aksi nyata dalam mitigasi dan adaptasi untuk berketahanan iklim, untuk kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang, dengan tetap memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, untuk perlindungan lingkungan dan iklim.
Kita membutuhkan upaya bersama, simultan dan sistematis. Terima kasih sekali lagi atas Prakarsa KAGAMA untuk agenda ini, terkait Presidensi G-20 tematik Environment, Climate and Sustainability, terkait agenda FoLU net sink 2030, serta dorongan dan karena kita berada di arena alumni dan ruang akademik, saya melihat pentingnya diskusi-diskusi kampus yang semakin memberikan koridor ilmu terkait pengelolaan sumberdaya alam lingkungan Indonesia.
“Selamat berdiskusi dan kami harapkan membuahkan hasil yang sangat berharga bagi KLHK dan tentu bagi Indonesia. Demikian, terima kasih, semoga Allah meridhoi semua usaha kita,” demikian pungkas Siti Nurbaya.
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: