
Hiperpersonalisasi AI: Antara Peluang dan Risiko Privasi
Diskusi Kagama AI Soroti Regulasi, Etika, dan Masa Depan Perlindungan Data Pribadi
Jakarta, KAGAMA.ID — Teknologi kecerdasan artifisial (AI) kini melangkah lebih jauh dari sekadar otomatisasi. Ia memasuki fase hiperpersonalisasi, sebuah pendekatan yang memungkinkan layanan digital mengenali perilaku, preferensi, bahkan kondisi fisik pengguna secara real time. Dari smartwatch yang memantau kualitas tidur hingga platform e-commerce yang menyesuaikan harga berdasarkan cuaca, AI menjanjikan pengalaman yang “unik” bagi setiap individu. Namun, di balik peluang itu, terselip risiko besar: privasi data pribadi.

Dalam Kagama AI Talk edisi ketiga, jurnalis senior Kompas, Andreas Maryoto, mengingatkan bahwa personalisasi berbasis AI bukan lagi sekadar strategi pemasaran. “Hari ini, data kita bukan hanya riwayat belanja. Jam tidur, detak jantung, lokasi, bahkan pola perilaku harian terekam dan dianalisis,” ujarnya. Teknologi ini, menurut Andreas, mengubah cara bisnis memahami konsumen, tetapi juga berpotensi “mengurung” pengguna dalam sangkar algoritma yang membatasi pilihan.
Regulasi Tertinggal, Risiko Mengintai
Indonesia sebenarnya telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang mewajibkan kepatuhan sejak Oktober 2024. Namun, hingga kini, peraturan pelaksana dan badan pengawas belum terbentuk. “Kita sulit memastikan bagaimana data pribadi yang digunakan untuk pengembangan AI dilindungi,” kata Wahyudi Djafar, pakar hukum digital yang memandu diskusi.
Sementara itu, negara lain melaju cepat. Uni Eropa sudah memiliki EU GDPR dan regulasi AI yang ketat. Korea Selatan bahkan mengesahkan AI Basic Law yang akan berlaku 2026. Indonesia? Masih merancang peta jalan AI nasional yang ditargetkan terbit 2026.

Etika dan Tata Kelola Jadi Sorotan
Hiperpersonalisasi bukan hanya soal bisnis. Ia merambah sektor publik, kesehatan, bahkan politik. Andreas menyinggung potensi political microtargeting berbasis AI yang bisa mengubah lanskap kampanye. “Bayangkan jika data perilaku kita dipakai untuk menggiring opini politik. Ini bukan sekadar privasi, tapi ancaman demokrasi,” tegasnya.
Di sektor kesehatan, peluang AI untuk mendukung farmakovigilans dan layanan medis personal memang besar. Namun, Andreas mengingatkan: “Keputusan akhir harus tetap di tangan manusia. Data bisa membantu, tapi jangan serahkan sepenuhnya pada mesin.”
Hak Menolak Keputusan Otomatis
UU PDP memberi hak kepada individu untuk menolak keputusan otomatis yang berdampak hukum. Masalahnya, literasi publik masih rendah. “Orang harus paham bahwa rekomendasi AI bukan sekadar saran. Ia bisa memengaruhi hidup kita,” ujar Wahyudi. Transparansi, pelabelan konten berbasis AI, dan pengawasan profesional menjadi kunci.

Antara SDGs dan Korupsi
Menariknya, teknologi ini berpotensi mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dengan data granular, pemerintah bisa merancang layanan publik yang lebih tepat sasaran. Namun, Andreas mengingatkan: “Teknologi sehebat apa pun akan lumpuh jika tata kelola buruk dan korupsi merajalela.”
Catatan Akhir
Diskusi Kagama AI menegaskan satu hal: AI harus menjadi kompas, bukan sangkar. Regulasi, etika, dan literasi publik harus berjalan seiring dengan inovasi. Tanpa itu, hiperpersonalisasi bisa berubah dari alat kemajuan menjadi jebakan yang mengancam kebebasan dan keamanan individu.