Dari Merapi ke Lewotobi: Ilmu, Empati, dan Strategi Mitigasi Bencana Gunung Api

Dari Merapi ke Lewotobi: Ilmu, Empati, dan Strategi Mitigasi Bencana Gunung Api

Yogyakarta — Letusan Gunung Merapi tahun 2010 yang menewaskan lebih dari 350 jiwa dan mengungsikan ratusan ribu orang menjadi tonggak penting dalam sejarah penanggulangan bencana gunung api di Indonesia. Kini, pengalaman itu menjadi pelajaran berharga dalam menghadapi aktivitas vulkanik Gunung Lewotobi Laki-Laki di Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagaimana dibahas dalam webinar Kagama PRIMA#4 yang digelar oleh Pengurus Pusat KAGAMA bersama para mitra lintas sektor.

Webinar yang berlangsung selama lebih dari tiga jam ini menghadirkan pakar geologi, relawan kemanusiaan, akademisi, dan pejabat daerah. Mereka berbagi pengetahuan, refleksi pengalaman, dan strategi adaptasi dalam menghadapi ancaman vulkanik yang terus berkembang.

Paradigma Baru: Dari Reaktif ke Proaktif

Dalam sambutannya, Ketua Kagama DIY, Gatot Saptadi, menekankan pentingnya perubahan paradigma penanganan bencana. “Dulu kita hanya familiar dengan penanganan pasca-bencana. Kini, pendekatan mitigasi, kesiapsiagaan, dan pengurangan risiko menjadi keharusan,” ujarnya. Ia juga menyoroti pentingnya pemetaan kawasan rawan bencana dan pemahaman terhadap sistem peringatan dini yang dikeluarkan oleh otoritas geologi.

Merapi: Teknologi dan Ketangguhan Sosial

Dr. Agus Budi Santoso dari BPPTKG memaparkan secara rinci kronologi letusan Merapi 2010, termasuk penggunaan teknologi pemantauan seperti seismik, deformasi tanah, gas sampling, dan drone. “Peringatan dini yang baik belum cukup. Masyarakat harus mampu merespons setiap peringatan,” tegasnya. Ia juga menyoroti pentingnya pelatihan masyarakat dan sistem komunikasi real-time untuk mengurangi risiko korban jiwa.

Lewotobi: Tantangan Kepulauan dan Budaya Lokal

Frederik Kiuk, Sekretaris Dinas PUPR NTT, mengungkap tantangan unik penanganan bencana di wilayah kepulauan. “Evakuasi di NTT tidak semudah di Jawa. Infrastruktur terbatas, logistik sulit, dan regulasi pengadaan bantuan masih perlu diperbarui,” ujarnya. Ia juga menyoroti pentingnya pelibatan relawan muda dan alumni UGM yang tersebar di berbagai instansi di NTT.

Valentino Luis, relawan Lewotobi, memberikan kesaksian langsung dari lapangan. “Letusan besar 9 November 2024 terjadi tengah malam, tanpa peringatan. Banyak warga mengungsi secara spontan, dan distribusi bantuan pun terpecah antara pengungsi massal dan mandiri,” tuturnya. Ia menekankan perlunya sistem komunikasi terpadu dan pemetaan titik evakuasi yang jelas.

MDMC Muhammadiyah: Pendidikan dan Pemulihan Sosial

Budi Setiawan dari MDMC Muhammadiyah menyoroti pentingnya pendidikan darurat pasca-erupsi. “Seminggu setelah bencana, sekolah harus jalan lagi. Kami mendirikan sekolah darurat di tenda, di bawah pohon, agar anak-anak tetap belajar,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya pemulihan ekonomi melalui program olahan singkong dan pembangunan hunian layak.

Ilmu dan Empati: Kunci Mitigasi Berkeadilan

Prof. Dr. Agung Harijoko dari UGM menegaskan bahwa mitigasi bukan sekadar teknis, tetapi juga soal kemanusiaan. “Gunung api punya dua sisi: sumber daya dan ancaman. Kita harus memahami perilakunya melalui penelitian geologi dan komunikasi yang koheren,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa komunikasi yang simpang siur dapat membahayakan masyarakat.

Etika dan Tanggung Jawab Pemerintah

Diskusi juga menyentuh isu etika kebijakan: bagaimana pemerintah harus bertindak ketika warga menolak evakuasi. “Pemerintah punya tanggung jawab konstitusional untuk keselamatan rakyat. Jika perlu, pendekatan persuasif dan tokoh masyarakat harus digunakan,” ujar Budi Setiawan. Agus Budi menambahkan, “Kepercayaan publik terhadap pemerintah adalah kunci. Tanpa itu, peringatan dini tak akan efektif.”

Kolaborasi Lintas Sektor

Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat dan Pelestarinan Lingkungan PP KAGAMA, Sulastama Raharja, membuka webinar dengan refleksi mendalam. “Bencana gunung api bukan sekadar gejala alam, tapi ujian kemanusiaan. Dari Merapi ke Lewotobi, dari ilmu ke aksi, dari kampus ke komunitas—kita semua punya peran dan tanggung jawab,” ujarnya.

Webinar ini menjadi bukti bahwa strategi mitigasi bencana gunung api di Indonesia harus bersifat holistik: menggabungkan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya lokal, komunikasi publik, dan empati sosial. Di negeri dengan 127 gunung api aktif, kesiapsiagaan bukan pilihan, melainkan keniscayaan.