KLB Keracunan Pangan Program MBG: Alarm Bahaya dari Dapur Sekolah

KLB Keracunan Pangan Program MBG: Alarm Bahaya dari Dapur Sekolah*

Bayu Satria Wiratama

Yogyakarta — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah untuk meningkatkan gizi anak sekolah kini menghadapi tantangan serius. Kajian epidemiologis terbaru dari BEPH FKKMK UGM mengungkap bahwa sejumlah Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia berakar dari kelemahan sistem pengelolaan makanan MBG.

Lonjakan Kasus dan Sebaran Nasional

Data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat 72 KLB keracunan pangan sepanjang 2022, meningkat 44% dibanding tahun sebelumnya. Kementerian Kesehatan melaporkan 4.792 kasus hingga Oktober 2023. Puncaknya terjadi pada September 2025, di mana Kabupaten Bandung Barat mencatat 1.333 korban dari total 7.119 kasus nasional.

Salah satu pemicu utama adalah konsumsi jajanan impor seperti La Tiao, namun kajian mendalam menunjukkan bahwa sistem MBG juga menyimpan potensi bahaya yang tak kalah besar.

Investigasi HACCP: Menelusuri Titik Kritis

Kajian menggunakan pendekatan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) mengidentifikasi tujuh titik kritis dalam rantai produksi dan distribusi makanan MBG:

  1. Penerimaan Bahan Baku
    Beberapa SPPG (Sentra Produksi Pangan Gizi) tetap menggunakan bahan baku yang sudah mulai rusak, membuka peluang tumbuhnya bakteri patogen.
  2. Pencucian Bahan Baku
    Air sumur dengan kandungan E. coli dan coliform tinggi masih digunakan, menciptakan risiko kontaminasi menyeluruh.
  3. Penyimpanan
    Tidak semua bahan disimpan di freezer. Beberapa hanya disimpan di suhu ruang ber-AC, dengan jeda waktu ke pengolahan yang lama.
  4. Proses Pemasakan
    Titik paling kritis. Jeda waktu antara memasak dan penyajian mencapai 4–6 jam, melebihi standar maksimal 2 jam. Gas yang hampir habis menyebabkan api kecil, berisiko makanan tidak matang sempurna. Tidak ada quality control untuk memastikan kematangan.
  5. Distribusi
    Mayoritas SPPG tidak melakukan quality control akhir. Mobil pengantar makanan tidak dilengkapi pendingin atau pencatat suhu. Makanan rusak tetap dikonsumsi karena sekolah khawatir waktu makan terlewat.
  6. Konsumsi
    Satu sekolah mencampur porsi satuan menjadi prasmanan tanpa pemanasan ulang. Ini meningkatkan risiko kontaminasi silang dan kerusakan makanan.
  7. Pencucian Alat Makan
    Satu-satunya titik yang dinilai aman. Semua SPPG telah melakukan pencucian alat makan dengan benar.

Skala Produksi yang Rentan

Satu SPPG melayani 2.500–4.000 porsi untuk 13–32 sekolah. Dengan tenaga kerja 20–50 orang, sebagian besar belum memiliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS). Beban kerja tinggi dan minimnya pelatihan memperbesar risiko.

Rekomendasi Perbaikan

Kajian merekomendasikan:

  • Wajib SLHS untuk semua SPPG.
  • Standarisasi fasilitas dan kapasitas penyimpanan.
  • Pengurangan beban kerja SPPG.
  • Quality control di setiap tahap.
  • Pelatihan HACCP untuk staf SPPG.
  • Pelibatan aktif sekolah dalam pengawasan pangan.

Penutup

KLB keracunan pangan dalam program MBG menjadi peringatan keras bahwa niat baik tidak cukup tanpa eksekusi yang aman dan terstandar. Pemerintah, sekolah, dan masyarakat perlu bersinergi memastikan setiap piring yang disajikan kepada anak-anak bukan hanya bergizi, tapi juga aman.


*) Materi ini dipaparkan pada webinar bertajuk “Keracunan Pangan dalam Program MBG: Pembelajaran dan Upaya Perbaikan untuk Pencegahan di Yogyakarta
**) Materi webinar selengkapnya bisa dilihat di Youtube Kagama Channel: