
Menggugat Sunyi Sesar Baribis Kendeng: Seruan Mitigasi Gempa dari Jantung Jawa Timur
Oleh Redaksi Kagama.id
Surabaya — Di tengah riuhnya pembangunan dan padatnya pemukiman di Jawa Timur, sebuah ancaman senyap terus mengintai: Sesar Baribis Kendeng. Webinar bertajuk “Sesar Baribis Kendeng di Jawa Timur: Pemetaan Risiko Gempa, Strategi Mitigasi dan Adaptasi” yang digelar Kagama Prima, forum alumni Universitas Gadjah Mada, menjadi panggung penting bagi para ahli, pemangku kebijakan, dan tokoh masyarakat untuk menyuarakan urgensi mitigasi bencana gempa bumi di wilayah ini.

Acara yang berlangsung pada akhir September 2025 ini dibuka dengan penuh khidmat, menyanyikan lagu kebangsaan dan doa lintas iman, mencerminkan semangat persatuan dalam menghadapi ancaman bersama. Dalam sambutannya, Sekjen Pengda Kagama Jawa Timur, Kurniawan Wibowo, menegaskan bahwa “Jawa Timur bukan hanya tanah kelahiran budaya dan peradaban, tetapi juga tanah yang harus kita jaga dari potensi bencana. Kagama hadir bukan sekadar sebagai alumni, tetapi sebagai penjaga nilai dan pelindung masyarakat.”

Perwakilan PP Kagama, Sulastama Raharja, turut menyampaikan refleksi filosofis yang menyentuh: “Mitigasi bukan sekadar teknis, ia adalah wujud cinta kita pada kehidupan, pada warisan leluhur, dan pada generasi yang akan datang. Kita tidak menolak takdir, tetapi memperkuat ikhtiar.”
Sesar yang Terlupakan, Risiko yang Menguat
Dr. Amin Widodo, geofisikawan dari ITS Surabaya, memaparkan bahwa Sesar Baribis Kendeng membentang sepanjang 800 km dari Jabodetabek hingga ujung timur Jawa, melintasi kawasan padat penduduk. “Gempa bukanlah kutukan, ia adalah proses alam. Yang menjadikannya bencana adalah ketidaksiapan manusia,” tegasnya.

Ia mengungkap bahwa persepsi masyarakat Indonesia terhadap bencana masih didominasi oleh pandangan fatalistik. “Hampir separuh masyarakat menganggap bencana sebagai kehendak Tuhan yang tak bisa dihindari. Padahal, mitigasi adalah bagian dari ikhtiar,” ujarnya.
Data historis menunjukkan gempa telah mengguncang Jawa Timur sejak abad ke-19, termasuk di Mojokerto (1836), Jombang (1837), dan Bangli (1840). Namun, banyak bangunan, terutama sekolah, masih rentan terhadap guncangan. Risiko amplifikasi tanah dan likuifaksi di kawasan seperti Surabaya memperparah potensi kerusakan.
Strategi Pemerintah: Dari Desa Tangguh hingga Taman Edukasi
Dadang Irwandi, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Jawa Timur, memaparkan bahwa dari 8.500 desa/kelurahan di provinsi ini, 5.254 tergolong rawan bencana. “Kami telah membentuk 1.900 Desa Tangguh Bencana dan melatih 300 guru untuk program Satuan Pendidikan Aman Bencana. Target kami adalah menjangkau 15.000 guru,” jelasnya.

Inovasi edukatif seperti Taman Edukasi Bencana dengan simulator gempa dan permainan VR telah menarik ribuan pelajar setiap bulan. “Kami ingin membentuk budaya sadar bencana sejak dini,” tambah Dadang.
Nahdlatul Ulama: Ikhtiar Kolektif dari Akar Rumput
K.H. Nur Muhammad Shihudin dari LPBI NU Jawa Timur menekankan peran strategis NU yang memiliki basis massa hingga 70% populasi Jawa Timur. “Pesantren bukan hanya pusat ilmu, tapi juga benteng ketahanan masyarakat,” ujarnya.

Program Rumah Siaga NU dan SMPAB (Sekolah/Madrasah/Pesantren Aman Bencana) menjadi ujung tombak edukasi dan kesiapsiagaan berbasis komunitas. “Kami mengajarkan bahwa tawakal harus berjalan beriringan dengan amal dan ikhtiar,” tegasnya.
Seruan Bersama: Dari Akademisi, Pemerintah, hingga Komunitas
Webinar ditutup dengan seruan kolaboratif lintas sektor. Para pembicara sepakat bahwa mitigasi gempa bukanlah pilihan, melainkan keharusan. “Disaster is not destiny,” ujar Dr. Amin. “Dengan pengetahuan, kesiapsiagaan, dan kolaborasi, kita bisa mengubah ancaman menjadi peluang untuk memperkuat solidaritas dan ketahanan.”
Semangat “bencana sebagai sahabat” digaungkan sebagai filosofi baru: bahwa dengan adaptasi dan mitigasi, dampak destruktif bisa ditekan, dan masyarakat bisa tumbuh lebih tangguh.