Dalam rangka ikut memeriahkan Nitilaku 2022, Kagama Pengda DKI Jakarta menggelar webinar berjudul “Pemanfaatan Bahan Pangan Lokal untuk Ketahanan & Kedaulatan Pangan”, Minggu (04/12/2022). Webinar menghadirkan 2 narasumber, yaitu Maryono (Sekretaris Kagama DKI & Dirut PT Sang Hyang Seri) dan Anita Hesti (Sekretaris 1 Kagama DKI). Berkenan memberikan kata sambutan adalah Ketua Kagama DKI Jakarta, Anton Mart Irianto. Jalannya acara dipandu oleh Sekretaris 2 Kagama DKI, Muhammad Ridwan.
Narasumber pertama, Maryono di awal pemaparan mempertanyakan di situasi seperti saat ini apakah masih menarik untuk menjadi petani? Karena faktanya semakin hari semakin sedikit yang mau jadi petani.
Selanjutnya ia menjelaskan kebutuhan pangan dunia yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Trend global akan pangan meningkat seiring dengan agenda ketahanan pangan.
Ada 4 isue yang berkembang belakangan ini. Pertama, konsumsi beras kita relatif stabil selama bertahun-tahun padahal jumlah penduduk semakin banyak. Ada kemungkinan terjadi substitusi pangan dari beras ke jenis makanan lainnya seperti gandum.
Kedua, sumber daya kita semakin sedikit, seperti luas lahan persawahan yang semakin berkurang. Lalu ada isue kekurangan air, seiring perubahan iklim yang tidak jelas.
Ketiga, industri pangan diorganisasi secara besar-besaran. Jika di desa ada BUMDES dan korporasi-korporasi pertanian tak lain dalam rangka menaikkan pendapatan petani dan juga menaikkan ketahanan pangan.
Keempat, semua berlomba-lomba menerapkan teknologi dalam pertanian.
Yang terjadi saat ini adalah sumber daya air semakin lama akan semakin defisit, lahan subur semakin terdegradasi, iklim yang tidak menentu akan mengancam penurunan produktivitas, dan terjadi penurunan terus menerus hasil produksi.
“Faktanya BPS menyebutkan lahan pertanian kita semakin menurun,” ujar Maryono.
Biaya produksi beras di Indonesia, lebih tinggi 6 – 20% dibandingkan Thailand dan Vietnam. Hasil produksi kita termasuk rendah, rata-rata produksi dalam 5 tahun terakhir adalah 5,2 ton/ha, di bawah Vietnam (5,6) dan China (6,9).
Maryono menyebutkan penghasilan petani kita sangat rendah. Hanya memperoleh Rp. 4,9 per musim tanam, artinya per bulan hanya menerima Rp. 1,5 juta. Sehingga menjadi petani memang tidak menarik.
Melihat kondisi yang terjadi, mau tidak mau kita harus menaikkan produktivitas. Di antaranya lewat perbaikan benih, pemakaian pupuk yang berimbang, menurunkan biaya pengolahan, dan peran penyuluh ditingkatkan. Selain itu kita harus menggalakkan korporasi pertanian, BUMDES, koperasi. dll.
Di akhir pemaparan, Maryono kembali mempertanyakan apakah menjadi petani itu menarik? Jika melihat hasilnya yang relatif kecil, wajar jika tidak ada yang tertarik. Namun kalau tidak ada yang mau bertani, siapa yang akan mencukupi kebutuhan pangan kita.
“Solusinya adalah menaikkan produktivitas. Lalu harus ada kepastian dari out taker dan ketersediaan pupuk. Itu menjadi PR bagi kita semua,” pungkas Maryono.
Narasumber kedua, Anita Hesti memaparkan materinya tentang mengenali dan mencintai pangan lokal kita. Ia menjelaskan, Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman sumber pangan lokal, namun kurang pengembangan produk serta upaya promosi yang masih berimplikasi pada ketidaktahuan masyarakat akan potensi pangan unggulan nusantara di setiap masing-masing daerah.
“Inovasi tentang bagaimana mengolah bahan pangan lokal menjadi berbagai makanan maupun produk turunannya yang sesuai pasar, tentu akan membuka peluang ekonomi dan meningkatkan nilai tambah,” kata Anita.
Di negara kita sangat kaya akan jenis pangan lokal. Itu semua membutuhkan inovasi teknologi dan kreativitas para pelaku usaha agar dapat menghasilkan produk olahan pangan lokal yang memberikan nilai tambah dan berdaya saing.
Diperlukan juga upaya perluasan jangkauan pemasaran pangan lokal dengan memanfaatkan teknologi informasi dan membangun kemitraan. Pengembangan produk olahan pangan lokal harus didorong terus-menerus menuju industrialisasi dan komersialisasi dengan melibatkan sebanyak mungkin pelaku usaha berbasis UMKM.
“Masalah utama yang kita hadapi adalah terjadi kesenjangan informasi potensi pangan lokal,” ujar Anita.
Sebagai negara kepulauan yang luas, Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang tiada habisnya. Dari keindahan alam hingga kekayaan alam yang bisa diproduksi menjadi sumber energi tersendiri, salah satunya berasal dari sektor pertanian.
Sektor pertanian menjadi penopang ekonomi bangsa harus diiringi juga dengan bagaimana masing-masing yang terlibat memastikan keberlangsungan ekosistem di dalamnya. Dalam hal ini pangan dengan visinya pangan yang berdaulat.
“Untuk memastikan terjadinya kedaulatan pangan, maka setiap daerah tentunya harus memiliki keunggulan masing-masing, dalam hal ini keunikan pangan daerahnya. Agar selanjutnya roda ekonomi dapat berputar melalui transaksi yang terjadi antara pemilik produk dan konsumen,” pungkas Anita.
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: