PP Kagama bersama Kagama Fotografi kembali menggelar webinar lewat Zoom Meeting, dengan didukung oleh komunitas foto “GS Fotografi”, Sabtu (5/2/2022). Pada webinar seri ke-24 kali ini, narasumber utama fotografer senior Agus Leonardus berbagi cerita kisah perjalanan fotografinya selama 45 tahunan. Kata sambutan disampaikan oleh Ketua Bidang VI PP Kagama, Anak Agung Gede Putra, dan Muthe Muthiah dari Humas PP Kagama bertindak sebagai MC.
Agus Leonardus mengawali ceritanya dengan pengakuan dulu jaman duduk di bangku SMP hobynya adalah menggambar komik. Ia tidak menyangka perjalanan wisatanya ke Bali pada tahun 1975 bersama teman-teman SMAnya akan menentukan perjalanan hidupnya kelak sebagai seorang fotografer. Waktu itu dengan bermodal 1 kamera dan negatif foto yang dibeli secara patungan, mereka memotret bergantian. Tak disangka hasil jepretan Agus lebih bagus dibanding kawan-kawannya, dan banyak yang memujinya.
Mulailah Agus muda tertarik dengan dunia fotografi. Ketertarikannya semakin bertambah manakala pada ulang tahunnya yang ke-21, 11 November 1976 ia mendapat kado istimewa dari saudara-saudaranya berupa sebuah buku berjudul “Penuntun Fotografi” karya Prof. Dr. RM Soelarko. Ia selanjutnya mempelajari fotografi dari buku tersebut, dengan hanya membayang-bayangkannya karena saat itu belum punya kamera.
Akhirnya Agus berupaya keras bagaimana caranya agar bisa membeli kamera. Ia kemudian bekerja ikut orang tuanya, membantu melakukan pekerjaan stroom aki. Dari situ ia akhirnya berhasil mengumpulkan duit dan membeli kamera pertamanya Olympus OM-1 pada bulan Mei 1977. Mulai saat itulah ia belajar fotografi secara otodidak.
Selain belajar memotret, mencuci dan mencetak film dari buku karya Prof. Soelarko, Agus juga banyak membaca Majalah Foto Indonesia, sebagai majalah bulanan yang membahas fotografi satu-satunya di Indonesia waktu itu. Jika ada uang sisa, ia membeli Majalah Populair Photography dan Amateur Photography. Untuk menambah pengetahuan ia sering main ke Istana Foto, salah satu tempat berkumpul para fotografer Yogya, untuk berdiskusi atau sekedar membaca Time Life Books di sana.
Dari kamera Olympus OM-1 miliknya, Agus pelan-pelan mulai bisa mengumpulkan uang dan membeli beberapa lensa yang mendukung pekerjaannya. Salah satu foto legendarisnya yang diambil memakai Olympus OM-1 adalah foto berjudul “Watching Football Free of Charge” yang dipotretnya di Stadion Kridosono, Yogyakarta, pada tahun 1979. Bercerita tentang 3 orang tukang becak yang menonton pertandingan sepak bola dari luar Stadion Kridosono dengan cara memanjat becaknya masing-masing, agar tidak perlu membeli tiket masuk.
Pada tahun 1978, Agus bergabung dengan Himpunan Seni Foto Amatir (HISFA) Yogyakarta. Ia aktif di organisasi tersebut, dan bahkan diangkat sebagai sekretaris. Dari kegiatannya menerbitkan buletin, kemampuan menulisnya semakin terasah. Sehingga ia kemudian menjadi penulis di Majalah Foto Indonesia.
Ketika bergabung dengan klub foto, Agus jadi tahu apa itu pictorial photography. Ia menyebut hampir semua klub fotografi di Indonesia menganut aliran yang memuja keindahan visual tersebut. Contohnya mereka mencari keindahan gambar dengan mengejar sunset atau sunrise.
Kebanyakan gambar-gambar indah disukai oleh orang awam. Dan hal itu menguntungkan Agus, karena beberapa pihak menginginkan foto-foto cantiknya untuk kepentingan komersial.
Selain dari foto komersial, Agus menyebutkan penghasilannya bisa datang dari lomba foto yang rutin diikutinya, dan kebetulan ia sering memenangkannya. Lalu ia juga sering memperoleh bayaran dari tulisan atau fotonya yang dikirimkannya ke media massa. Penghasilan lainnya didapatkan dari jualan kartu ucapan selamat natal atau idul fitri yang bergambar fotonya.
Pada tahun 1985, Agus mulai merambah dunia postcard, mengikuti jejak kawannya yang telah sukses duluan. Tidak disangka ia justru mendapatkan penghasilan paling banyak dari jualan kartu pos, dan best sellernya tetap kartu pos bergambar tukang becak menonton sepak bola di Kridosono dengan memanjat becaknya.
Karena namanya semakin dikenal, pada tahun 1989 Agus direkrut oleh Majalah Tempo Biro Yogyakarta untuk menjadi fotografer. Pada tahun itu pula, ia ikut dalam proyek pembuatan buku berjudul “A Voyage Through the Archipelago” yang digagas Menteri Pariwisata saat itu, Joop Ave. Buku tersebut akan diluncurkan pada tahun 1990 untuk menyambut HUT Kemerdekaan RI yang ke-45. Sebanyak 45 fotografer ternama terlibat, 35 orang dari luar negeri dan 10 dari Indonesia, termasuk Agus.
Selain menjadi praktisi, Agus juga sempat mengajar fotografi di Akademi Desain Visi Yogyakarta (ADVY) sejak tahun 1996, dan ISI Yogyakarta. Ketika ia menjadi pengajar di Nikon School Indonesia, dan harus mengajar di beberapa kota, ia akhirnya memutuskan resign dari ADVY dan ISI, karena kesulitan mengatur waktu.
Agus mengakui lama-lama ia bosan dengan dunia salon foto atau lomba foto yang dirasanya begitu-begitu saja dan tidak ada tantangan lagi. Mulailah ia memotret sesuai kata hatinya. Hasilnya kemudian dipamerkan tahun 1995 dalam sebuah pameran tunggal di Jakarta dan Yogyakarta dengan tema Senirupa Foto “Kata Hati”.
Sepuluh tahun kemudian dalam rangka memperingati ultahnya yang ke-50, Agus kembali menggelar pameran tunggal di Yogyakarta dan Malang yang diberi judul “Waton Urip”, dengan mengambil tema yang sangat unik, yaitu becak dan tukang becak. Alasannya ia ada ikatan istimewa dengan becak. Postcard bergambar tukang becak di Kridosono merupakan jualan terlarisnya. Lalu saat ia duduk di bangku SD, setiap hari diantar jemput oleh tukang becak bernama pak Kliwon.
Pada saat pembukaan pameran di Bentara Budaya Yogyakarta, Agus mengundang 50 tukang becak sebagai tamu VIP. Yang istimewa, ia memberikan kehormatan kepada pak Kliwon untuk secara resmi membuka acara.
Berikutnya, ada 3 pameran tunggal lagi yang Agus lakukan, yaitu pada Biennale Seni Rupa Yogyakarta tahun 2009, pameran bertema pasar tradisional dengan judul “Artefak” di Malioboro Mall tahun 2012, dan pameran bertajuk “When I’m 64” di Bentara Budaya Yogyakarta” tahun 2020.
Seiring perjalanan waktu dan semakin banyaknya berinteraksi dengan jurnalis dan bermacam seniman, Agus menjadi lebih suka memotret gambar yang bercerita, bukan hanya sekedar keindahan visual. Foto yang bercerita menurutnya akan jauh lebih berkesan bagi yang melihat.
Setelah Agus membuat kurikulum untuk pendidikan fotografi, membuatnya semakin tersadar bahwa fotografi adalah bahasa visual yang sifatnya universal. Kita bisa berkomunikasi dengan orang-orang di seluruh dunia dengan bahasa fotografi. Jadi ia selalu ingin mencoba bercerita lewat media fotografi.
“Secanggih apapun kamera, ia tidak dapat mencari obyek sendiri. Teknis itu penting namun bukan yang terpenting,” demikian pesan Agus di akhir paparannya.
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: