Kagama Literasi 1: Respon dan Antisipasi yang Tepat sebagai Kunci Mengatasi Krisis Pangan

Minggu (18/4/2021) pukul 15:00 – 17:00 WIB, PP Kagama menggelar webinar Kagama Literasi #1 dengan membedah buku “Krisis Pangan” karya wartawan senior Kompas, Andreas Maryoto. Webinar berlangsung melalui aplikasi Zoom Meetings dan disiarkan langsung pada kanal Youtube Kagama Channel, menghadirkan 2 pembicara yaitu Heri Priyatmoko, MA (Dosen Universitas Sanata Dharma) dan Dr. Jamhari, S.P., M.P (Dekan Fakultas Pertanian UGM). Anwar Sanusi, Wakil Ketua Umum II PP Kagama, berkenan memberikan pidato pembukaan, serta sang penulis buku, Andreas Maryoto tampil memberikan kata pengantar. Acara dipandu oleh Agam Fatchurrohman sebagai moderator dan Ardiati Bima sebagai MC.

Anwar Sanusi, Wakil Ketua Umum II PP Kagama

Anwar Sanusi yang tampil di awal acara, mengatakan krisis pangan sudah terjadi sejak masa lampau. Persoalan pangan cenderung berulang di setiap masa. Masa depan dunia bergantung kesanggupan merespon krisis pangan dengan baik. Ia menilai pemerintah sudah merespons persoalan secara serius, antara lain dengan menggulirkan program terobosan dan inovasi kebijakan pangan. Di antaranya program satu juta hektar lahan gambut, intensifikasi, dan ekstensifikasi pertanian. Namun, banyak program itu tidak bisa berjalan optimal karena prakondisi tidak mendukung.

Andreas Maryoto, penulis buku “Krisis Pangan”

Sementara itu, Andreas Maryoto menyebutkan muncul kegelisahan tentang bagaimana sektor pertanian dikelola akhir-akhor ini, perubahan-perubahan, dan konversi lahan. Sementara itu, belum banyak inovasi yang dilakukan di tengah konversi lahan yang semakin cepat. Ia memberi contoh wilayah Karawang yang dahulu dikenal sebagai lumbung pangan, saat ini sudah berubah menjadi kawasan perumahan, hotel, dan memicu kekumuhan baru. Perubahan peruntukan lahan terus mengarah ke timur Jawa. Ancaman konversi lahan pertanian juga terjadi di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.

Heri Priyatmoko

Narasumber pertama, Heri Priyatmoko memaparkan materinya dengan judul “Sejarah Krisis Pangan di Indonesia”. Heri memulai dari semiotika yang dihadirkan buku Krisis Pangan yakni ilustrasi rantang yang bermakna kompleks dalam sosial budaya masyarakat Indonesia. Mengutip yang disampaikan Jakob Oetama, buku adalah mahkota bagi wartawan dan pada titik tersebut sang penulis buku, Andreas Maryoto, sudah meraihnya.

“Buku tersebut memperlihatkan langkah-langkah penulis yang mengumpulkan berbagai sumber yang dalam sejarah disebut heuristik. Keberpihakan dan kepakaran penulis terlihat dari konten buku yang mengajak pembaca berkontemplasi terhadap kondisi pangan Indonesia.” ungkap Heri.

Krisis pangan pernah terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada masa lalu. Tercatat dalam sejarah, Aceh pernah mengalami krisis pangan terutama beras pada abad XVI dan XVII. Tipologi lahan yang bercorak rawa dan kemarau yang berkepanjangan memperparah kondisi pangan saat itu. Untuk mengatasi hal tersebut, Raja Aceh, Sultan Iskandar Muda melakukan impor tenaga kerja atau budak dari India untuk menggarap lahan pertanian di Aceh dan melakukan kontrol terhadap distribusi serta mematok harga yang normal untuk dapat dijangkau masyarakat Aceh.

Beralih di Pulau Jawa tepatnya di Banten terjadi kelangkaan beras yang diakibatkan distribusi beras dari mataram yang banyak beralih ke Batavia sehingga pasokan beras di Banten menipis dan membuat harga beras melonjak puluhan kali lipat. Untuk mengatasi hal tersebut, Raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa melakukan impor beras dari Siam (Thailand) dan pada masa paceklik muncul praktik spiritual di masyarakat yakni ritual memanggil hujan.

Menurut Heri, Krisis pangan di wilayah Mataram juga tak kalah menyedihkan. Pada sekitar tahun 1677-1703 di masa pemerintahan Amangkurat II terjadi krisis pangan hebat di mana harga beras meroket tajam dan banyaknya gagal panen yang membuat masyarakat Mataram mengonsumsi ubi dan gadung. Melihat peristiwa tersebut, Amangkurat II memerintahkan Pangeran Puger untuk menyelidiki krisis pangan dan Pangeran Puger menemukan permasalahan distribusi yang tidak merata. Kemudian melalui kasus tersebut, Amangkurat II menetapkan harga beras agar terjangkau oleh masyarakat Mataram.

“Di masa penjajahan Belanda, krisis pangan muncul akibat kebijakan tanam paksa yang dibebankan untuk menanam komoditas tanaman ekspor seperti kopi, teh, dan tebu. Kemudian, menyebabkan involusi pertanian dan di wilayah vorstenlanden, salah satunya Mangkunegaraan menyiasatinya dengan sistem glebagan, yaitu semester pertama menanam komoditas ekspor, dan semester kedua menanam padi. Dan pada masa penjajahan Jepang, beras menjadi langka karena Jepang menarik beras dari petani dan menerapkan romusha, Lahan pertanian yang ditinggalkan terbengkalai dan membuat beras langka. Masyarakat terpaksa mengonsumsi ubi, biji nangka, dan berbagai serangga sebagai makanan.” ujar Heri menambahkan.

Alumnus alumni S2 Sejarah UGM tersebut mengakhiri paparannya dengan menyebut krisis pangan memunculkan diversifikasi pangan dan kuliner, yaitu mulai dikonsumsinya umbi-umbian dan hadirnya tengkleng, sajian kuliner olahan tulang dan organ hewan yang muncul akibat kelangkaan pangan. Munculnya mitos Dewi Sri dengan ritual sakral merayakan panen, dilarang membuang nasi dan merawat kesadaran ekologis, dan melahirkan budaya memuliakan petani.

Dr. Jamhari Hadipranata, Dekan Fakultas Pertanian UGM

Narasumber kedua, Dr. Jamhari, memaparkan potensi krisis pangan di Indonesia. Dimulai dari fenomena global: supply demand divergen, yaitu perbandingan jumlah penduduk dan ketersediaan bahan pangan. Hal tersebut melahirkan tantangan bagi pembangun neraca pangan dunia tahun 2025 yang memprediksi akan kehilangan kurang lebih 70 juta ton bahan pangan dengan jumlah penduduk dunia yang berjumlah 8 milyar jiwa.

Menurut Jamhari, demand side pangan di Indonesia sudah mulai menunjukkan penurunan terutama pada akses pangan, kualitas pangan rumah tangga, dan tingkat ketahanan pangan. Hal tersebut dipengaruhi terus bertambahnya jumlah populasi penduduk Indonesia namun lahan pertanian yang semakin berkurang.

Supply side pangan di Indonesia yang mengecil akibat banyaknya masalah pertanian seperti konversi lahan pertanian menjadi pemukiman, peminatan yang rendah pada bidang pertanian dan berkurangnya jumlah petani dan lemahnya pada produksi dan distribusi serta hilirisasi produk pertanian sehingga mengakibatkan impor bahan pangan dari luar negeri untuk mencukupi kebutahan dalam negeri.” ucap Dr. Jamhari.

Jamhari menjelaskan involusi pertanian di Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1960-an, saat Clifford Geertz mengemukakan teori bahwa jumlah petani Indonesia akan semakin mengecil dan jumlah lahan pertanian semakin sempit. Perlu dilakukan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan involusi pertanian yakni dengan mendorong lahirnya generasi muda untuk menjadi petani dan menerapkan pertanian modern dengan teknologi maju untuk menghasilkan produk pertanian yang unggul.

“Kelembagaan petani didorong untuk terlibat aktif membentuk koperasi sebagai solusi untuk modal dan dana darurat masa pra dan paska panen. Kemudian, membuat peran aktif petani untuk ikut bergabung dalam asosiasi dan memasarkan produknya kepada korporasi dengan harga yang bersaing. Selanjutnya, petani didorong untuk memberdayakan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Antisipasi krisis pangan juga perlu menerapkan teknologi pengendalian hama untuk memaksimalkan hasil pertanian, menggunakan teknologi untuk mendorong produktivitas petani, mengaplikasikan teknologi pengurangan losses serta mulai sadar akan penggunaan teknologi ke depannya dalam menunjang aktivitas pertanian.” demikian pungkas Dr. Jamhari. [arma]

*) Materi webinar selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: