Salah satu dari 14 desa yang menjadi percontohan Desa Inklusif Kagama dan Kemendesa PDTT adalah Desa Pucung, Kecamatan Kismantoro, Kab. Wonogiri. Desa yang berbatasan dengan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur ini terletak di lereng pegunungan, berhawa dingin, dengan pemandangan terasering yang indah.
Namun desa ini juga menyimpan banyak cerita, salah satunya tentang mitos dan stigma sebagai desa difabel. Setidaknya ada 49 difabel yang terdata dengan ragam disabilitas yang berbeda, diantaranya adalah disabilitas intelektual (grahita), disabilitas mental, disabilitas pendengaran dan wicara (bisu, tuli), dan disabilitas fisik.
Selama dua hari, tanggal 26-27 Nov 2020, Kementerian Desa PDTT yang difasilitasi Kagama menyelenggarakan bimbingan teknis (Bimtek) Desa Inklusif di desa ini. Hadir pada sesi pembukaan adalah wakil dari Kementerian Desa PDTT, Kepala Dinas PMD, anggota DPRD Wonogiri, Camat Kismantoro dan perwakilan kepala desa se-kecamatan Kismantoro. Adapun peserta dari Bimtek adalah kepala desa dan beberapa staf pemerintahan desa, perwakilan perempuan, perwakilan petani, perwakilan pemuda, perwakilan difabel, perwakilan BPD dan LPM.
Dalam sambutannya Kadis PMD Wonogiri, Antonius Purnama Adi, menyambut baik dipilihnya Desa Pucung sebagai salah satu lokasi percontohan Desa Inklusif. Ia berharap kawan-kawan Kagama terus mendampingi Desa Pucung hingga berhasil menjadi Desa Inklusif. “Mudah-mudahan keberhasilan Desa Pucung ini bisa menjadi percontohan dan direplikasi di desa-desa lain.” harap alumnus UNS ini di hadapan para peserta pelatihan dan undangan yang hadir.
Bimtek di Desa Pucung ini difasilitasi langsung oleh Ketua Satgas Desa Inklusif Nasional Ade Siti Barokah, yang juga putra daerah setempat. Bimtek dilakukan dengan interaktif, dengan menggunakan permainan-permainan, role play, dan diskusi kelompok. Dengan permainan dan role play tersebut peserta diajak berefleksi, mengapa dalam kehidupan masyarakat ada yang terus maju, aktif, berkembang, sukses, sementara ada sebagian yang lain yang terus di belakang, terpinggirkan, tidak terlihat, dan bahkan tidak terdata. Dalam diskusi kelompok peserta menyelami diri dan lingkungan sekitar, lalu mengidentifikasi kelompok mana saja yang selama ini masih termarginalkan.
Masing-masing kelompok melakukan identifikasi berdasarkan observasi, wawancara dan diskusi lalu menuliskannya dalam kertas plano. Hasilnya sangat beragam, ada 10 kelompok masyarakat yang teridentifikasi sebagai marjinal, diantaranya adalah difabel fisik, difabel intelektual dan mental, perempuan kepala keluarga (janda) miskin, lansia sebatang kara, anak putus sekolah, perempuan yang menikah siri, perempuan yang menikah dini, pelaku kesenian “terbang” dan petani Dusun Gandring.
Setelah identifikasi kelompok marjinal, masing-masing kelompok mendiskusikan secara lebih mendalam apa permasalahan dan stigma yang dihadapi oleh masing-masing kelompok serta solusi apa yang dibutuhkan.
Di hari kedua, Ade mengajak peserta untuk menggali peluang-peluang yang ada di desa yang bisa digunakan untuk mengatasi hal tersebut, termasuk mengingatkan adanya peluang dari dana desa yang dapat dimanfaatkan. “Mari kita baca lagi Permendesa PDTT no 13, pasal 6d. Di situ disebutkan bahwa dana desa bisa digunakan untuk mendukung kelompok rentan dan marjinal di desa,” kata warga Kagama yang juga alumnus Erasmus University of Rotterdam ini.
Selama dua hari pelatihan, semua peserta sangat aktif dan bersemangat. Pak Gino, salah satu peserta yang memiliki satu anak difabel dan 3 adik difabel mengaku merasa sangat bersyukur. “Saya tidak menyangka diajak ikut pelatihan ini. Saya orang kecil tidak tahu apa-apa, tapi di pelatihan ini suara saya didengarkan. Semoga program ini tidak berhenti di sini”. Suaranya tersendat. Ia merasa telah dimanusiakan.
Kepala Desa Pucung, Kateno, sangat bangga dengan semangat yang ditunjukkan warganya dalam pelatihan ini. “Kami berjanji akan berupaya sebaik mungkin memenuhi harapan warga Desa Pucung, khususnya lebih menperhatikan kekompok rentan dan marjinal yang sudah terindentifikasi ini.”
Sementara itu Untari, perwakilan perempuan juga siap mengawal implementasi Desa Inklusif ini. Ia yakin Desa Inklusif akan membawa kebaikan bagi semua warga. “Program ini penting karena bisa menjangkau kelompok-kelompok yang belum sepenuhnya terjangkau.” ucapnya.
Perwakilan pemuda yang juga pendamping kelompok difabel Desa Pucung, Yoyok, mengatakan bahwa di desa ini ada keluarga yang memiliki beberapa anggota keluarga yang difabel. Selain Pak Gino, ada Pak Tekad. “Ia disabilitas wicara (bisu), dua kakaknya disabilitas grahita. Ia tulang punggung keluarga. Ia ikut membatik bersama kelompok difabel desa ini”.
Yoyok sangat berharap program Desa Inklusif ini menjadi jalan bagi Pak Tekad dan warga rentan lainnya untuk mendapatkan hak dan layanan yang lebih baik. Yoyok mengatakan selama ini sebenarnya di Pucung kelompok difabel sudah difasilitasi dengan diberi pekerjaan membuat batik ciprat yang motifnya warna-warni memikat mata. Hasil produksinya bagus dan sudah mampu mendatangkan pundi-pundi uang.
Bimtek di Desa Pucung ini juga menghadirkan Edy Supriyanto, Ketua Perkumpulan Sehati di Sukoharjo. Edy berbagi pengalamannya mendampingi desa-desa di Sukoharjo menjadi Desa Inklusif dalam 6 tahun terakhir. Salah satu desa dampingannya, Desa Jatisobo, terpilih menjadi desa percontohan dimana diselenggarakan penandatanganan prasasti Desa Inklusif oleh Menteri Desa PDTT, Ketua Kagama/Gub Jateng dan Rektor UGM, pada tanggal 19 November 2020 yang lalu.
Pada penutupan acara, Sigit Rahadi warga Kagama yang mengusulkan Pucung menjadi desa inklusif mengatakan “Saya dan anggota Kagama lainnya akan terus menjadi kawan bagi Desa Pucung. Jangan kaget kalau saya datang untuk bertanya dan menagih apakah rencana kerja yang ditulis ini sudah dijalankan.”
Semoga diberkahi Allah Swt. Aamiin
Terima kasih Bu Ade selaku ketua satgas Desa Inklusif Nasional,dan teman teman dr Kagama atas bimbingannya yg luar biasa,semoga bisa membawa desa Pucung ke arah yg lebih baik,lebih maju lagi 🙏🙏