Tantangan & Solusi Startup di Bidang Ketenagakerjaan

Oleh: Masykur Isnan, SH *)

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 memiliki tujuan utama yaitu untuk mempermudah para pengusaha untuk merintis usahanya demi memperluas lapangan pekerjaan di Indonesia, sehingga dapat menyerap tenaga kerja di Indonesia. Dengan adanya peraturan perundang-undangan ini menyebabkan masifnya kemunculan start-up company (perusahaan rintisan). Namun, apa itu start-up company?

Menurut Investopedia, start-up company atau perusahaan rintisan adalah perusahaan yang didirikan oleh satu atau banyak orang untuk menciptakan sebuah produk atau jasa unik yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Singkatnya start-up company adalah perusahaan yang baru berdiri dan berada pada fase pengembangan produk atau jasa. Lebih mengerucut lagi, start-up company biasanya diidentikkan dengan perusahaan baru yang menggunakan media online dan teknologi untuk memasarkan produk atau jasanya kepada pasar. Ciri digital ini menjadi hal yang khas bagi start-up company dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Start-up company mengenal 3 skala usaha, yaitu unicorn, decacorn, dan hectacorn. Start-up company dengan skala usaha unicorn bercirikan memiliki nilai valuasi sebesar 1 miliar USD atau setara dengan 140 triliun rupiah. Untuk start-up company dengan skala usaha decacorn memiliki nilai valuasi sebesar 10 miliar USD, sedangkan start-up company berskala hectacorn bercirikan memiliki nilai valuasi 100 miliar USD. Skala usaha ini menentukan besar kecilnya suatu start-up company. Di Indonesia sendiri memiliki sistem pembagian 4 skala usaha, yaitu mikro, kecil, menengah, dan mikro.

Terdapat perbedaan yang mencolok antara start-up company dengan perusahaan konvensional pada umumnya. Jika dilihat dari fokus tujuannya, start-up company akan berfokus pada pengembangan usaha, sehingga tidak jarang beberapa start-up company akan menggunakan sistem “bakar uang” di awal pendiriannya. Sedangkan perusahaan konvensional pada umumnya lebih bertujuan menciptakan profit ketimbang memikirkan pengembangan usaha. Perbedaan juga dapat dilihat dari segi pengambilan kebijakan. Pada start-up company, founder dan manajerian akan banyak mengambil peran, sedangkan investor hanya dilibatkan pada kebijakan strategis. Sedangkan perusahaan konvensional pada umumnya akan banyak melibatkan investor dalam pengambilan kebijakan. Bahkan tidak jarang yang memasukan investor sebagai penggerak roda organisasi di perusahaan.

Antara start-up company dengan perusahaan konvensional memiliki kesamaan secara legalitas, yaitu sama-sama berbadan hukum. Sehingga keduanya tetap harus tunduk dengan kebijakan-kebijakan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan ketenagakerjaan Indonesia. Terdapat beberapa administrasi yang wajib dipenuhi oleh start-up company untuk dapat sustain dan beradaptasi di Indonesia. Adapun beberapa administrasi ketenagakerjaan yang wajib dipenuhi oleh start-up company di Indonesia adalah sebagai berikut:

Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (WLKP)

Administrasi pertama yang wajib dipenuhi oleh start-up company ketika mendirikan usahanya adalah melaksanakan wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan (WLKP). Dasar pelaksanaan WLKP adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan. Kewajiban suatu perusahaan dalam menjalankan WLKP muncul setelah 30 hari pendirian perusahaan. Hal ini disebutkan di dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan yang berbunyi:

“Pengusaha atau pengurus wajib melaporkan secara tertulis kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mendirikan, menjalankan kembali atau memindahkan perusahaan

Adapun hal-hal yang dilaporkan di dalam WLKP adalah sebagai berikut:

  1. Keadaan Tenaga Kerja;
  2. Hubungan Kerja;
  3. Syarat Kerja;
  4. Pengupahan;
  5. Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Demi memudahkan pelapor untuk melaksanakan ketentuan WLKP maka pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia telah membentuk platform WLKP di website wajiblapor.kemnaker.go.id. Adapun tata cara pelaporan WLKP melalui media online telah diatur di dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan dalam Jaringan. Sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan WLKP adalah sanksi pidana berupa penjara dan denda, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan, yang berbunyi:

“Pengusaha atau pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 13 diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- .(satu juta rupiah)”

Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB)

Start-up company tentu memiliki sumber daya manusia sebagai penggerak roda operasional dan bisnis perusahaan. Dalam hal sebuah start-up telah mempekerjakan pekerja 10 atau lebih tenaga kerja di perusahaannya, wajib membentuk peraturan perusahaan. Kewajiban ini disebutkan di dalam Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi:

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk”

Adapun hal-hal yang harus diatur di dalam peraturan perusahaan telah disebutkan di dalam Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:

  1. hak dan kewajiban pengusaha;
  2. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
  3. syarat kerja;
  4. tata tertib perusahaan; dan
  5. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama sebagai pedoman dalam membuat peraturan perusahaan. Apabila di dalam start-up company memiliki serikat pekerja, maka antara serikat pekerja dengan pihak manajemen dapat membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang substansinya dirundingkan bersama, sehingga dapat menciptakan syarat kerja yang lebih menyejakterakan pekerja. Dalam hal start-up company yang telah memiliki 10 atau lebih orang pekerja namun belum membuat peraturan perusahaan, maka dikenakan sanksi sebagaimana disebutkan Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu sanksi pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)

Keselamatan dan kesehatan kerja adalah aspek penting dalam mewujudkan kesejahteraan pekerja dan kenyamanan bekerja di tempat kerja. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perusahaan harus membentuk sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3). Tujuan SMK3 adalah untuk menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.

Kewajiban melaksanakan SMK3 ditujukan jika start-up telah memiliki sekurang-kurangnya 100 orang pekerja, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yang berbunyi:

“Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3.”

Adapun dalam melaksanakan kewajiban SMK3, start-up company wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yaitu:

  • Menetapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dan menjamin komitmen terhadap penerapan Sistem Manajemen K3;
  • Merencanakan pemenuhan kebijakan, tujuan dan sasaran penerapan keselamatan dan kesehatan kerja;
  • Menerapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja secara efektif dengan mengembangkan kemampuan dan mekanisme pendukung yang diperlukan untuk mencapai kebijakan, tujuan dan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja;
  • Mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja keselamatan dan kesehatan kerja serta melakukan tindakan perbaikan dan pencegahan;
  • Meninjau secara teratur dan meningkatkan pelaksanaan Sistem Manajemen K3 secara berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja.

Meskipun terdapat kewajiban perusahaan dalam melaksanakan SMK3, tetapi belum ada sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang tidak melaksanakan SMK3. Hal ini tentunya menjadi perhatian khusus bagi pemerhati K3 di Indonesia. Seolah kewajiban pelaksanaan SMK3 menjadi ketentuan “banci” yang tidak memiliki tekanan dan hukuman bagi pelanggarnya.

Administrasi Hubungan Kerja

Administrasi terakhir yang harus dimiliki oleh start-up company adalah administrasi hubungan kerja. Beberapa diantaranya meliputi perjanjian kerja dan pendaftaran perjanjian kerja ke dinas tenaga kerja setempat, surat menyurat pemutusan hubungan kerja, atau administrasi saat penyelesaian perselisihan hubungan industrial khususnya pada tingkat perundingan bipartit. Start-up company tentunya harus memiliki seorang spesialis yang memahami segala administrasi hubungan industrial. Sebab, pemenuhan akan administrasi hubungan industrial akan berdampak langsung pada bisnis dan operasional. Seorang spesialis hubungan industrial biasa disebut dengan seorang industrial relations (IR). Seorang IR harus memahami perbedaan antara perjanjian kerja waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, fasilitas kesejahteraan perusahaan, mekanisme pemutusan hubungan kerja, syarat kerja, dasar-dasar regulasi pengupahan, dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Adapun beberapa dasar seorang IR dalam memahami administrasi hubungan industrial adalah sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
  3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
  4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
  5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
  6. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023; dan
  7. Peraturan turunan dari masing-masing undang-undang.

Untuk memudahkan pengelolaan tenaga kerja di perusahaan, start-up company juga wajib mampu untuk membedakan hubungan kerja dengan hubungan kemitraan. Tidak jarang beberapa start-up company mengabaikan hal ini. Ketidakpahaman perusahaan dalam membedakan hubungan kerja dengan hubungan kemitraan membuat ketidakpastian bagi para pekerjanya. Dampak yang paling signifikan adalah meningkatnya risiko perselisihan hubungan industrial di perusahaan yang akan mengganggu proses bisnis dan usaha perusahaan. Untuk mencegahnya start-up company harus mampu menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan melalui sarana hubungan industrial. Adapun sarana hubungan industrial yang dimaksud telah disebutkan di dalam Pasal 103 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:

  1. serikat pekerja/serikat buruh;
  2. organisasi pengusaha;
  3. lembaga kerja sama bipartit;
  4. lembaga kerja sama tripartit;
  5. peraturan perusahaan;
  6. perjanjian kerja bersama;
  7. peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
  8. lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial

Pemenuhan kewajiban ketentuan ketenagakerjaan tentunya akan menambah beban start-up company dalam mengembangkan perusahaan. Namun, untuk dapat bertahan dan menjadi perusahaan yang agile maka start-up company harus mampu menjadi perusahaan yang adaptif, khususnya dengan norma-norma ketenagakerjaan di Indonesia. Pemenuhan kewajiban tersebut tidak harus dilakukan secara menyeluruh, melainkan dapat dilakukan satu persatu. Dengan dipenuhinya ketentuan ketenagakerjaan, maka akan menciptakan iklim ketenangan berusahaan dan kenyemanan bekerja di perusahaan serta menciptakan hubungan kerja yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan.

———————————————————

*) Penulis adalah Alumnus FH UGM Yogyakarta 2007, yang saat ini berprofesi sebagai Advokat Spesialis Hukum Ketenagakerjaan/Hubungan Industrial, Industrial Relation Expert di pelbagai industri (otomotif, perbankan, dll), dosen tamu di beberapa universitas/politeknik, penulis/kolomis, pembicara dan trainer di pelbagai workshop/training, founder IR Talk