Talkshow KAFEGAMA Leader’s Insight Hadirkan Tiga Begawan Ekonom Indonesia

Oleh: Humas KAFEGAMA

Jakarta — Sabtu (24/8), bertempat di Sasono Adiguno Taman Mini Indonesia Indah (TMII) digelar pelantikan kepengurusan KAFEGAMA masa bakti 2024-2027. Seusai pelantikan, acara dilanjutkan dengan talkshow yang bertajuk “KAFEGAMA Leader’s Insight”, menghadirkan tiga begawan ekonomi nasional, yaitu Wakil Presiden Republik Indonesia ke-11, Prof. Boediono (KAFEGAMA 62), Gubernur Bank Indonesia 1993-1998, Prof. J. Soedradjad Djiwandono (KAFEGAMA 63), dan Gubernur Bank Indonesia saat ini, Perry Warjiyo (KAFEGAMA 77), untuk menyampaikan pemikiran dan pengalamannya masing-masing. Bertindak sebagai moderator yaitu Ketua Umum PP KAFEGAMA periode 2024-2027, Friderica Widyasari Dewi (KAFEGAMA 94).

Pemaparan pertama disampaikan oleh Prof. Boediono, yang berbagi cerita tentang dua peristiwa penting yang bernuansa kebijakan ekonomi. Peristiwa pertama pada tahun 1970 dan 1980, sedangkan peristiwa kedua tahun 2008-2009, yang dapat memberi pelajaran berharga bagi kita, untuk menghadapi masalah-masalah yang timbul sekarang dan di masa mendatang.

Ia menceritakan pada tahun 1970-an s/d 1980-an harga ekspor utama Indonesia, pada waktu itu minyak bumi dan gas, naik turun tak terduga seperti roller coaster. Antara 1972 dan 1978 harga minyak bumi Indonesia melipat hampir 6 kali, kemudian antara tahun 1979 dan 1980 naik lagi lebih dua kali lipatnya. Tapi setelah itu kebalikannya terjad, yaitu harga menukik tajam pada tahun 1986. Baru setelah itu, perlahan-lahan mengalami kestabilan harga.

Menurutnya, secara umum Indonesia mendapatkan berkah dari pelonjakan harga ekspor utamanya tersebut. Yang menggembirakan adalah bahwa rente ekonomi dari kenaikan harga yang luar biasa itu termanfaatkan dengan baik. Apresiasi setinggi-tingginya patut diberikan kepada tim ekonomi yang bekerja di bawah koordinasi dan kepemimpinan Prof. Widjojo Nitisastro yang telah berhasil mengamankan hampir seluruh windfall profits itu masuk ke APBN, dan kemudian menggunakannya untuk membiayai proyek dan program yang sudah dipersiapkan matang di dalam Repelita.

Tidak banyak rezeki nomplok itu yang tercecer diluar kocek negara, dan pemanfaatannya secara ad
hoc
atau asal-asalan juga dapat dihindari dan hasilnya nyata. Dalam periode itu ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata di atas 7 persen per tahun, kemiskinan menurun, indikator-indikator sosial lain membaik dan di awal 1980-an untuk pertama kali setelah kemerdekaan swasembada beras dicapai.

“Tidak heran apabila di awal tahun 1990-an Bank Dunia membuat studi membandingkan pengalaman negara-negara yang mengalami oil boom dan Indonesia mendapatkan acungan jempol. Pelajaran bagi kita bagaimana seyogyanya mengelola boom ekspor untuk pembangunan,” ujarnya.

Prof. Boediono meneruskan, peristiwa ekonomi kedua yang dimaksudnya yaitu terjadinya global financial crisis tahun 2008-2009. Pada September 2008 sebuah lembaga keuangan raksasa di Amerika Serikat, Lehman Brothers, bangkrut dan memicu gangguan pada arus likuiditas global (global liquidity crush). Semua negara terkena imbasnya, termasuk negara kita. Di Indonesia, dana global yang semula berputar, ramai-ramai ditarik pulang kandang, akibatnya IHSG anljok, dan kurs dolar naik.

Dalam situasi krisis tidak ada pilihan yang tidak pahit, Mereka yang diberi tugas dan tanggungjawab oleh negara untuk menanganinya harus mengambil suatu keputusan. Perkembangan selanjutnya merupakan rekaman sejarah. Yang terjadi adalah efek domino dapat dihindari, kegiatan perbankan bertahap kembali normal, ekonomi Indonesia bangkit dari krisis. Menurut catatan Asian Development Bank, bahkan lebih cepat daripada negara-negara lain di Asia.

“Saya ingin menutup cerita saya dengan mengutip ungkapan dalam sebuah buku yang berbunyi begini ‘sejarah memberikan pelajaran bagi mereka yang mau belajar darinya’. Dan dari situ tumbuh kearifan,” pungkasnya.

Narasumber berikutnya, Prof. J. Soedradjad Djiwandono membagikan perspektif dan pengalamannya mengenai menjadi leader yang baik, dan memiliki keyakinan bahwa seorang leader itu dibentuk, meskipun ada istilah seseorang terlahir menjadi seorang pemimpin. “Saya berkeyakinan bahwa seandainya pun ada unsur born to be a leader, namun kecil sekali presentasenya. Seorang leader pasti melalui proses untuk dididik, mengalami pendidikan, dan mendidik diri sendiri yang ini paling penting untuk terus menerus mawas diri,” ucapnya.

Prof. Soedradjad yang hobi main tenis, menyampaikan filosofis yang bisa diambil dari tenis dengan leadership. Menurutnya, dalam permainan tenis, kita dididik kalau berdiri kita selalu siap siaga melakukan gerakan yang diperlukan, dan apabila harus melakukan penyesuaian ya lakukan saja. Tapi memang semua mengandung risiko, dan kita harus berani menanggung risiko terhadap suatu keputusan yang diambil.

Selain itu, ia juga menekankan pentingnya kejujuran dan anti korupsi bagi seorang leader. Dalam setiap jabatan semua ada konsekuensinya. Kemudian jangan menganggap diri sendiri leader, yang memilih kita menjadi leader itu orang lain.

“Sejak kuliah kita dididik untuk menjadi jujur terhadap diri sendiri dan ingin mencari kebenaran dalam menuntut ilmu kita,” imbuhnya.

Prof. Soedradjad kemudian membagikan pengalamannya pada saat menghadapi krisis keuangan tahun 1997-1998, yang mana pada saat itu ia menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Praktis ketika itu ia banyak tidur di kantor, pulang sekitar 2-3 jam dan kembali lagi ke kantor.

Enam minggu sebelum masa jabatannya selesai, ia dipanggil Presiden untuk kemudian diganti. Namun karena ia sudah mempersiapkan diri, dan karena merasa jujur, ia tidak takut serta tetap melaksanakan tugas. Keputusannya dengan Dewan Direksi Bank Indonesia tetap dijalankan oleh pemerintah.

Sebagai penutup, ia menyampaikan bahwa dalam melakukan sesuatu harus datang dari hati dan sesuai passion agar suasananya selalu menyenangkan. “Saya masih menulis dengan disiplin sampai dengan saat ini. Saya menulis 2 kolom untuk Independent Observer yang terbitnya sekali seminggu pada hari Kamis. Memang hobi menulis seperti hobi saya mengajar, it’s coming from your passion, Kalau kita memang tidak cinta, kerjaan pasti terasa membosankan, tapi kalau kita menyenangi, maka hal itu akan menjadi menyenangkan,” pungkasnya.

Tampil terakhir, Perry Warjiyo menyatakan seorang pemimpin yang sukses itu dibentuk, belajar, dididik, dan dibimbing. Sebagai anak ke-6 dari 9 bersaudara dan berasal dari seorang petani, tentu saja ia tidak pernah membayangkan bakal menjadi Gubernur Bank Indonesia.

“Saat kecil saya dinasihati oleh orang tua saya dan saya ingat betul kalimatnya yaitu carilah ilmu setinggi-tingginya, maka hidupmu akan bercahaya dan dekatlah dengan rakyat hidupmu akan bahagia, saat itu saya tidak mengetahui apa artinya kalimat itu sampai saya temukan saat kuliah di FEB UGM,” ujarnya.

Perry lalu menjelaskan saat kuliah ia menemukan 4 dasar sukses leadership, yaitu mencari ilmu, berjuang, mengabdi, dan dekat dengan rakyat. Saat kuliah dididik untuk belajar ilmu apa saja, dan dalam menekuni studi merasakan artinya perjuangan. Ketika sudah menjadi alumni, maka harus tumbuh jiwa mengabdi, dan dekat dengan rakyat.

Selanjutnya Perry menyampaikan pengalaman kedekatannya dengan senior-senior seperti Prof. Boediono dan Prof. Soedradjad, bahkan menganggapnya “bapak” dalama perjalanan karirnya. Ia direkrut oleh Prof. Soedradjad, dan mengabdi di BI dari tahun 1993 sampai 1996 sebagai Chief of Staff. Ia yang menuliskan semua makalah dan pidato Prof. Soedradjad, dan editornya adalah Prof. Boediono.

“Kita harus terus belajar mencari ilmu yang bermanfaat, belajar dan mengajar agar ilmu tersebut bisa membuat hidup kita lebih bercahaya. Kemudian kita jangan mudah menyerah dan selalu terus berjuang,” tuturnya.

Ia merasa bersyukur dipertemukan dengan Prof. Boediono dan Prof. Soedradjad yang sudah mendidiknya mengatasi krisis keuangan. Saat di IMF dalam mengatasi krisis 2007-2008 ia kontak dan konsultasi dengan mereka berdua. Sampai sekarang untuk mengatasi situasi-situasi ekonomi tertentu, seperti pada saat pandemi, kedua senior tersebut mengingatkan untuk jangan pernah tertekan politik dalam setiap pengambilan keputusan.

DI akhir paparannya Perry menyampaikan role model yang baik agar tetap dekat dengan rakyat, karena itu bisa menuntun kita untuk sukses menjadi pemimpin selanjutnya. “Maka dari itu para pemimpin lulusan dari UGM apapun levelnya dimana-mana selalu memikirkan UMKM, dan bagaimana ekonomi kerakyatan. Hal itu sesuai dengan tagline KAGAMA yaitu guyub rukun migunani,” tutupnya.