Sabtu (14/8/2021), Adiswara Gadjah Mada (Alumni Paduan Suara Mahasiswa UGM) bekerja sama dengan PP Kagama, serta didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI menyelenggarakan seminar bertajuk “Kala Nanti Paduan Suara Indonesia” via Zoom dan disiarkan langsung melalui kanal Youtube Adiswara Gadjah Mada. Seminar tersebut merupakan rangkaian kegiatan ‘Journey to 5 Decades’ memperingati 50 Tahun PSM UGM dan HUT Kemerdekaan ke-76 RI.
Seminar menghadirkan sejumlah pembicara, yaitu AAGN Ari Dwipayana (Sekjen PP Kagama & Koordinator Stafsus Presiden RI), Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej (Guru Besar FH UGM & Wamenkumham RI), Addie M.S (Produser dan Komposer), Agustinus Bambang Jusana (Pelatih dan Penggiat Paduan Suara), Prof. Dr. phil. Hermin I.W. (Guru Besar Fisipol UGM), Candra Darusman (Musisi dan WIPO UN Diplomat 2001-2009), dan Robinson Sinaga (Direktur Fasilitasi Kekayaan Intelektual Kemenparekraf RI). Bertindak sebagai moderator adalah Dr. R.A. Antari Innaka Turingsih (Ketua Dept. Hukum Perdata FH UGM).
Mewakili PP Kagama, AAGN Ari Dwipayana memberikan sambutan sekaligus pembicara. Ari menegaskan sumbangsih alumni Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UGM yang dibaktikan untuk ibu pertiwi. Paduan suara menggambarkan keanekaragaman bangsa Indonesia yang terdiri suara tenor, bass, soprano dan lainnya. Keanekaragaman suara tersebut menghasilkan syair lagu yang indah.
Pembicara pertama, Prof. Eddy O.S. Hiariej memaparkan pandemi, seni dan kekayaan intelektual. Situasi pandemi Covid-19 adalah kenaifan empiris yang harus diterima oleh manusia. Dunia dituntut untuk beradaptasi dengan situasi pandemi. Hukum turut ikut di dalamnya melaksanakan fungsi adaptif.
“Hukum memiliki refleksi filsafati yang salah satunya melaksanakan perlindungan di seluruh aspek kehidupan termasuk karya seni dan kreaktivitas seni yang tergolong dalam kekayaan intelektual harus dilindungi peraturan yang resmi.” ungkap Prof. Eddy.
Senada dengan Prof. Eddy, komponis dan produser kenamaan, Addie M.S mengatakan pandemi mengubah format pertunjukan musik yang sedianya ditonton banyak orang secara langsung di tempat. Orkestra misalnya yang memiliki jumlah musisi kurang lebih 50 orang dan paduan suara yang setidaknya berjumlah 30 orang.
“Pandemi mengubah banyak kehidupan musisi yang sedikit mendapatkan jadwal untuk performance. Musisi banyak memikirkan urusan perut terlebih dahulu ketimbang berlatih musik yang dimilikinya. Banyak musisi juga yang banting setir membangun usaha lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup.” pungkas Addie M.S.
Pembicara ketiga, Agustinus Bambang Jusana, biasa akrab disapa Beni menceritakan hambatan yang dialami selama pandemi sebagai pelatih dan penggiat paduan suara. Selama pandemi berlangsung jumlah konser menjadi terbatas. Sebelum pandemi misalnya jumlah konser 2 kali dan kompetisi 2 kali dalam setahun dengan jadwal latihan 4 kali dalam seminggu.
“Masa pandemi mengubah format konser, kompetisi dan jumlah latihan. Konser dan kompetisi yang terbatas hanya dilaksanakan 1 kali dalam setahun dengan format virtual. Hal tersebut mempengaruhi jadwal latihan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan tim paduan suara.” kata Beni.
Selanjutnya, Prof. Hermin Indah Wahyuni memaparkan resonansi sosial budaya komunitas paduan suara. Sistem sosial diwarnai oleh kompleksitas keberagaman sub sistem yang menjadi bagiannya. Suasana krisis pandemi mengakibatkan kultur sosial menjadi kolaps.
“Komunitas paduan suara sebagai sebuah sistem komunikasi memiliki kemampuan mengekspresikan pesan sosial dan budaya yang kuat. Komunitas paduan suara mampu merajut kebersamaan dengan menembus ruang-ruang perbedaan dalam masyarakat dan merangsang spirit persatuan.” pungkas Prof. Hermin.
Mengafirmasi pendapat Prof. Hermin, pembicara berikutnya Candra Darusman menjelaskan komunitas musisi memiliki pengaruh penting dalam masyarakat. Menurut Candra, FESMI (Federasi Serikat Musisi Indonesia) hadir dengan empat fokus utama, yaitu pelayanan, pelatihan dan pemberdayaan, komunikasi dan riset, platform digital.
“Tantangan yang dihadapi FESMI adalah pemahaman yang masih minim dan ragam ekspektasi yang harus dihadapi sebuah organisasi. Pendanaan dan sumber daya manusia profesional sebagai penggerak organisasi dan program kedepan, dan trust deficit.” demikian Candra mengakhiri sesinya.
Pembicara terakhir, Robinson Sinaga, selaku Direktur Pengembangan Kekayaan Intelektual dan Industri Kreatif, Kemenparekraf/Baparekraf mengatakan bidang musik termasuk 17 sub sektor ekonomi kreatif yang menjadi fokus pengembangan Kemenparekraf. Hak cipta dari karya musik berlaku di 171 negara, tercatat, dan hak diperoleh secara otomatis.
“Hak cipta termasuk didalam kekayaan intelektual. Hak cipta (copyrights) diberikan kepada karya seperti buku, terjemahan, pamflet, program komputer, lagu, musik, fotografi, sinematografi, seni rupa, seni batik, seni pahat, arsitektur, drama, koreografi, tari, wayang, ceramah, kuliah, alat peraga untuk pendidikan.” pungkas Robinson. [arma]
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Adiswara Gadjah Mada:
Leave a Reply