Merancang Kurikukum yang Lebih Fleksibel

Oleh: Anindito Aditomo, Ph.D. *)

Beberapa hari yang lalu ada berita bahwa e-sport bakal masuk kurikulum. Kalau yang dimaksud adalah kurikulum nasional, maka berita itu tidak benar. Kurikulum dari Kemendikbudristek tidak memuat – dan tidak berencana memuat – e-sport sebagai materi wajib di tingkat nasional.

Tapi terlepas dari informasinya yang keliru, berita itu memantik perdebatan yang menarik tentang kurikulum. Seperti biasa, ada yang pro dan banyak yang kontra. Yang pro mengatakan bahwa kurikulum memang harus mengikuti perkembangan zaman. Juga menunjukkan sisi-sisi positif dari e-sport.

Sebaliknya, yang kontra menekankan dampak negatif e-sport. Mereka berargumen bahwa kurikulum seharusnya mengajarkan literasi digital dan membangun kemampuan untuk menjadi content creator – bukan pemain game.

Berbincang dengan siswa yang sedang menyelesaikan Asesmen Nasional

Debat tentang e-sport mencerminkan salah satu tantangan utama yang dihadapi pengembang kurikulum. Sebagian besar materi dalam kurikulum memiliki pendukung dan penolak. Ini mencerminkan perbedaan nilai (value), kebutuhan, atau kepentingan yang ada dalam masyarakat. Dan karena ruang yang ada di kurikulum selalu terbatas, akan ada materi yang terpilih dan ada yang tidak.

Jika semua materi yang dianggap penting oleh sebagian orang harus masuk kurikulum, yang menjadi korban adalah siswa. Kurikulum yang terlalu padat hanya akan mendorong guru untuk kejar tayang. Guru akan dipaksa mengandalkan ceramah, tanpa sempat mengajak siswa berdiskusi dan berpikir untuk memahami materi. Tugas yang diberikan juga akan bertumpuk-tumpuk, namun tanpa umpan balik yang bermakna.

Lantas bagaimana pengembang kurikulum di Kemendikbudristek menentukan materi mana yang masuk dalam kurikulum nasional? Yang pertama perlu diingat adalah bahwa kurikulum nasional mencerminkan standar minimal. Kurikulum nasional seharusnya menetapkan hal-hal esensial yang relevan bagi semua siswa sebagai warga negara – bukan siswa sebagai calon seniman, calon insinyur, atau calon dokter.

Karena itu sebenarnya yang dietapkan oleh Kemendikbudristek bukanlah kurikulum sekolah, melainkan kerangka dan struktur dasar kurikulum. Sekolah-lah yang berwenang mengembangkan kurikulum operasional yang menjadi panduan bagi guru untuk melakukan pembelajaran di kelas. Sekolah-lah yang bertugas membuat kurikulum menjadi relevan dengan konteks lokal dan sesuai bagi kebutuhan belajar siswa.

PR kami di Kemendikbudristek adalah merancang kerangka dan struktur dasar yang mendorong kontekstualisasi kurikulum oleh sekolah. Karena itu kerangka dan struktur dasar ini haruslah fleksibel. Harus benar-benar berfokus pada hal-hal yang paling esensial.

Dalam hal ini, kurikulum nasional menetapkan karakter dan kompetensi dasar yang idealnya dimiliki oleh semua siswa. Misalnya, kita berharap semua siswa memiliki keyakinan akan nilai-nilai keagamaan yang mewujud menjadi akhlak yang mulia. Kita ingin agar semua siswa memiliki identitas ke-Indonesiaan yang kuat. Kita juga ingin agar semua siswa menjadi pelajar sepanjang hayat yang mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.

Materi yang ditetapkan menjadi bagian dari kurikulum nasional seharusnya juga merupakan materi yang paling esensial. Materi yang kira-kira relevan bagi pengembangan karakter dan kompetensi dasar untuk siswa yang tinggal di desa dan kota, dari Sabang sampai Merauke. Karena itu Kemendikbudristek tidak berencana memasukkan e-sport sebagai materi wajib di tingkat nasional.

Tapi bukan berarti sekolah tidak boleh memasukkan e-sport dalam kurikulum sekolahnya. Jika e-sport dipandang relevan, sekolah boleh saja menjadikannya materi dalam kurikulumnya.

Yang perlu dipastikan adalah e-sport – atau materi apa pun – digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan karakter dan kompetensi dasar yang ditetapkan dalam kurikulum nasional. Sebagai ilustrasi, materi tersebut bisa menjadi tema untuk menganalisis dan mengevaluasi ragam e-sport yang ada. Ini bisa menjadi latihan untuk mengasah nalar kritis siswa.

E-sport bisa dibahas sebagai sebuah fenomena ekonomi baru – dan bagaimana hal itu bisa dimanfaatkan sebagai peluang wirausaha. Dengan begitu, materi e-sport menjadi bagian dari pengembangan literasi finansial. E-sport juga bisa menjadi pemantik mendiskusikan fenomena kecanduan internet dan bagaimana menggunakan internet secara sehat. Kegiatan seperti ini bisa menjadi bagian dari proses menumbuhkan kemandirian siswa.

Sekali lagi, fungsi kurikulum nasional adalah menjadi kerangka dan struktur dasar bagi penyusunan kurikulum sekolah. Untuk itu, kurikulum nasional seharusnya fleksibel agar memungkinkan adaptasi dan inovasi yang kontekstual di tingkat sekolah. Ini yang sedang kami upayakan di Kemendikbudristek. Tunggu tanggal mainnya ya!

*) Penulis adalah Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek RI

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*