Oleh: Sitawati Ken Utami
Selama ini saya tahu ulos sering dipakai oleh masyarakat etnis Batak pada berbagai acara penting. Tapi perempuan Batak memakai kebaya tidak menjadi perhatian saya. Setelah beberapa tahun bergelut dengan dunia kebaya, ternyata banyak kawan-kawan dari etnis Batak yang suka dan sering memakai kebaya. Dalam benak saya, kebaya dipakai perempuan Batak selalu dipadukan dengan ulos. Lalu, untuk penanda ciri khas perempuan Batak, kepalanya dihiasi dengan sortali, semacam ikat kepala dengan hiasan berwarna emas. Ternyata tidak selalu begitu. Banyak variasi padanan kain atau wastra yang dipakai oleh perempuan Batak.
Seorang kawan yang tinggal di Medan, Arnita Hutapea namanya, menuturkan bahwa kebaya sudah dipakai oleh leluhurnya sejak dulu. Ia menceritakan bahwa neneknya sudah memakai kebaya terlihat dari foto-foto lama yang tersimpan di album foto keluarga. Pada foto hitam putih yang dikirmkan kepada saya, pada tahun 1961 opung borunya (nenek) memakai kebaya bermodel Kartini dengan kain batik yang diwiron di tengah. Pada foto tersebut, Opung Orem br. Manalu berfoto bersama suaminya, opung Doli Philemon Banjarnahor, yang merupakan kakek Arnita, dan tulang atau pamannya yang bernama Agus RImba Hamonangan Banjarnahor.
Kata Arnita yang merupakan istri seorang pendeta, perempuan Batak setiap hari Minggu pergi ke gereja selalu memakai kebaya. Artinya, kebaya dipakai seminggu sekali! Betapa banyaknya koleksi kebaya supaya tidak terkesan itu-itu saja kebaya yang dipakai. Model kebayanya ada yang Kartini, ada pula kutubaru. Di era tahun 2000-an, pemakaian kebaya untuk acara di gereja dipadukan dengan sarung tenun dan dilengkapi dengan selendang. Jenis-jenis sarung yang dipakai bervariasi, ada sarung tenun dari Toba, Tarutung, Balige dan sebagainya. Kualitas sarungnya bukanlah sarung biasa melainkan sarung berkualitas bagus yang harganya sampai jutaan.
Tenun Tarutung atau ulos merupakan tenun yang dibuat oleh perempuan di rumah-rumah dengan alat tenun tradisional sebagai hasil karya dengan kualitas halus. Warna yang dominan yakni merah putih dan hitam dengan sentuhan warna emas dan perak. Tenun atau ulos didapatkan di daerah Toba yang dibuat dengan alat tenun bukan mesin. Warnanya bervariasi ke warna sekunder seperti hijau, ungu dan oranya. Sedangkan tenun Balige juga khas satu stel dengan selendang yang indah untuk berpesta. Sebagai ibukota provinsi, Medan menjadi “etalase” penjualan tenun dari berbagai daerah Sumatra Utara yang meliputi 33 kabupaten dan kota.
Acara-acara khusus di gereja juga merupakan momentum para perempuan memakai kebaya dan kain atau wastra dari Sumatra Utara. Di gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Sudirman Medan, terpampang foto ibu-ibu memakai kebaya warna pink lengkap dengan kain batik yang satu stel dengan selendangnya. Foto itu dibuat pada tahun 1970.
Tidak terlihat ibu-ibu tersebut memakai ulos dan sortali sebagaimana gambaranku terhadap busana daerah di sana. Ternyata, ulos yang beranek ragam dan sortali hanya dipakai pada saat acara adat yang khusus seperti misalnya upacara pernikahan, pesta pembangunan gereja, upacara saat keluarga meninggal hingga dimakamkan. Ulos merupakan kain sakral yang selalu digunakan pada saat saat penting kehidupan manusia, seperti: kelahiran, menuju remaja atau akil baliq, menikah serta akhir hayatnya.
Pada saat acara-acara penting tersebut, pemakaian kebaya tidak sembarangan. Kebaya berbahan brokat Perancis yang harganya cukup melangit. Rasanya nggak afdol kalau bahannya biasa saja di acara istimewa. Di pasaran, harga bahan brokat Perancis asli bisa mencapai 1 hingga 2 jutaan. Sedangkan semi Perancis berkisar harga 300 ribuan. Setelah dijahit tentu akan menjadi kebaya yang mewah dan kemilau.
Penampilan kebanyakan perempuan Batak di acara khusus pun akan menyesuaikan dengan tatanan rambut disasak tinggi yang tetap awet untuk acara adat berjam-jam. Disamping itu juga asesoris berupa anting, kalung, dan gelang tidak ketinggalan menambah kemegahan penampilan. Sebuah totalitas yang dipersiapkan dengan matang. Salah satu kawan saya yang saat ini menjadi ketua Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI) Sumatra Utara , Syafitra Elizabeth Tambunan, selalu merepresentasikan penampilan perempuan Batak di berbagai acara hingga ke acara yang berskala nasional di ibukota Jakarta.
Keberagaman busana perempuan di berbagai daerah dengan kekhasannya masing-masing merupakan kekayaan khasanah budaya Indonesia. Semoga tetap lestari.