Minggu (20/2/2022) PP KAGAMA bersama K-GAMA Health kembali menggelar webinar seri Kagama Telekonseling. Pada seri ke-14 kali ini mengambil judul “Isolasi Mandiri pada Anak & Dewasa”, dengan menghadirkan 3 orang dokter sebagai narasumber. Berkenan memberikan kata sambutan adalah Ketua Bidang VII PP Kagama, Sandhya Yuddha, SH, MM, dan bertindak sebagai keynote speaker yaitu Plt Direktur Surveilans & Kekarantinaan Kesehataan Dirjen Pencegahan & Pengendalian Penyakit Kemenkes, Dr. dr. Irene, MKM. Jalannya webinar dipandu oleh dr. Theresia Handayani, M. Biomed (AAM), dan Muhammad Novrizal Abdi Sahid, S.Farm., M.Eng., PhD., Apt.
Irene selaku keynote speaker mengatakan, saat ini kasus Omicron sudah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia. Sementara kasus Delta meskipun secara umum sudah mulai menurun, namun masih terdeteksi di 17 provinsi.
Irene menambahkan, kasus dan hospitalisasi harian Omicron di Indonesia meningkat dengan cepat. Puncak kasus harian Omicron hampir melampaui Delta, namun angka kematian masih relatif rendah.
“Strategi yang kita tempuh untuk menghadapi lonjakan kasus adalah lewat deteksi awal, manajemen klinis, dan vaksinasi. Juga penting melakukan perubahan perilaku dan penguatan sistem kesehatan,” demikian pungkas Irene.
Sebelum webinar dimulai, Direktur Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK UGM, dr. Riris Andono Ahmad, MPH, PhD., melaunching kembali K-GAMA Health. Ia mengatakan aplikasi tersebut diinisiasi pada saat gelombang Delta sedang menanjak tinggi, dan teman-teman Kagama sangat membutuhkan informasinya dengan cepat. Awalnya diakomodasi lewat WA grup untuk menjawab berbagai pertanyaan dan kebutuhan psikologis sosial yang diperlukan selama isolasi.
Lalu WAG terus bertambah karena harus menampung sekian banyak alumni yang membutuhkannya. Sehingga kemudian memunculkan ide untuk mengembangkan aplikasi telemedicine, yang kemudian menjadi lebih personalized dan lebih mudah diakses.
Berikutnya semakin banyak volunteer tenaga kesehatan yang bergabung, seperti dokter, ahli gizi, ahli farmasi, dan psikolog. Psikolog sangat dibutuhkan karena yang membutuhkan layanan psikososial sangat tinggi waktu itu.
Riris menyatakan aplikasi yang diciptakan terbukti sangat membantu, dan diakses oleh banyak pihak, bukan hanya warga Kagama saja namun juga masyarakat luas. Aplikasi sangat penting, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah Yogyakarta.
“Terima kasih banyak kepada semua tenaga kesehatan yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menolong masyarakat yang membutuhkan layanan selama isolasi mandiri. Kami berharap aplikasi ini dapat membantu kita semua untuk melewati pandemi yang sedang kita alami,” ucap Riris.
Narasumber pertama, dr. Devie Kristiani, Sp.A(K), MSc., menyampaikan materinya membahas isoman pada anak. Ia mengatakan mereka yang terkena Covid-19, angka rawat inapnya jauh lebih rendah bagi yang sudah divaksinasi, pada segala usia termasuk anak-anak.
Seorang anak harus menjalani isoman di rumah apabila ada kontak erat dengan penderita Covid-19, dan terkonfirmasi Covid-19 tanpa gejala, ringan, dan tanpa komorbid. Yang dimaksud kontak erat adalah pertama jika seseorang berdekatan dengan kasus Covid-19 atau yang memiliki gejala dalam jarak 1 meter selama 15 menit atau lebih. Yang kedua, seseoarang bersentuhan fisik langsung dengan kasus Covid-19 atau yang memiliki gejala, seperti bersalaman, berpegangan tangan, berpelukan, digendong, dll.
Dokter anak di RS Bethesda tersebut menambahkan, apabila anak terlibat kontak erat yang harus dilakukan adalah segera dilakukan isoman untuk mencegah meluasnya penularan. Lalu, segera lapor ke Puskesmas terdekat. Puskesmas yang akan memberikan alur pemeriksaan swab antigen / PCR. Bila hasil swab negatif, lanjutkan isoman.
Yang harus dipersiapkan selama isoman adalah ruang isolasi yang diatur sedemikian rupa agar meminimalkan penularan namun tetap sehat untuk anak, alat kesehatan dan obat, seperti termometer, oksimetri, obat, vitamin dll, serta pengasuh yang memenuhi syarat tertentu.
“Imuninasi rutin pada anak harus tetap dilakukan, meski dalam kondisi pandemi.Penyakit-penyakit di luar Covid, seperti difteria dan tetanus tetap mengancam keselamatan anak-anak kita apabila tidak terlindungi oleh vaksin, karena tingkat kematiannya lebih tinggi,” pungkas dr. Devie.
Narasumber kedua, dr. Dian Marta Sari, Sp.KFR(K)., MKes., menyampaikan materinya tentang isoman pada orang dewasa. Ia mengatakan jika terkena Omicron tidak perlu panik dan jangan buru-buru ke RS. Dipantau dulu gejalanya ringan atau berat, apa malah tanpa gejala.
Mereka yang melakukan isoman adalah orang yang terkonfirmasi positif tapi tidak bergejala atau gejala ringan. Yang harus diwaspadai apabila ada indikasi demam, batuk, sesak napas, dan napas cepat.
“Yang perlu dilakukan selama isoman adalah selalu memantau saturasi oksigen. Bila tidak memiliki alat cek satutasi, pantau dengan Breath Count Test. Alat yang harus disiapkan adalah oximeter, termometer, serta vitamin dan obat sesuai resep dokter. Jangan lupa mencatat perkembangan harian,” demikian dr. Dian mengakhiri paparannya.
Narasumber terakhir, dr. Riris Andono Ahmad, MPH, PhD., menyebutkan karakteristik Omicron gejalanya lebih ringan dan angka hospitalisasi serta angka kematian yang jauh lebih rendah. Namun, tingkat penularannya sangat tinggi, dan kemampuan reinfeksinya / menghindari imunitas juga tinggi.
Dr. Riris mewanti-wanti kita tetap harus mewaspadai Omicron dan jangan menganggap remeh. Karena di Amerika dan Eropa Omicron bisa sama bahayanya dengan varian Delta. Jangan sampai akibat kelengahan kita, bisa menyebabkan dampak parah di negara kita.
“Kita tahu, varian baru bisa menembus imunitas. Jadi, mungkin herd immunity tidak bisa menjadi senjata kita,” imbuh dr. Riris.
Varian baru terjadi karena mutasi virus, akibat mekanisme alami virus untuk bertahan hidup. Semakin tinggi tingkat penularan, semakin tinggi peluang terjadinya varian baru.
Omicron bukan keturunan langsung dari Delta. Kalau diurut ia berasal dari varian awal Alpha, tapi ada hipotesis yang menyatakan bahwa ia bisa muncul dari wilayah yang tidak mempunyai sistem surveilans yang bagus. Atau mutasinya terjadi karena infeksi kronis pada mereka yang mempunyai penurunan kekebalan, seperti kasus HIV. kalau infeksi bisa sustained di populasi, karena kita tidak melakukan pencegahan dengan baik, maka kemungkinan munculnya varian baru akan semakin lebih besar lagi.
“Pendapat yang menyatakan Omicron bisa menyebabkan kekebalan natural dan munculnya herd immunity tanpa menyebabkan korban yang banyak, sama sekali tidak benar. Karena jika kasusnya sangat banyak akan berpotensi menyebabkan masalah seperti Delta,” pungkas dr. Riris.
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: