PP Kagama bersinergi dengan K-GAMA Health, kembali menggelar webinar serial Kagama Health Talks melalui Zoom Meeting, Sabtu (3/12/2022). Pada seri ke-13 yang bekerja sama dengan IDAI Yogyakarta kali ini mengangkat topik “Waspada KLB Polio, Sudahkah Anak-anak Kita Terlindungi?”, menghadirkan 2 narasumber, yaitu dr. Agung Triono, SpA(K) dan dr. Retno Sutomo, PhD, SpA(K). Berkenan memberikan kata sambutan adalah Waketum 2 PP Kagama & Sekjen Kemnaker RI, Prof. Anwar Sanusi, PhD. Jalannya acara dipandu oleh dr. Braghmandita WI, MSc, SpA(K), selaku moderator, dan dr. Devie Kristiani, MSc, SpA(K) sebagai MC.
Narasumber pertama, dr. Agung Triono pada awal pemaparan menjelaskan apa itu polio. Penyebabnya adalah virus polio. Karakteristiknya, virus tahan terhadap asam, sabun, ether, dan kloroform. Dapat bertahan hidup selama beberapa saat di air dan tanah, terutama dalam suhu dingin, dan tidak ada paparan langsung sinar matahari. Sehinga bisa diinaktivasi dengan pemanasan, formalin, sinar UV, klorin, dan pengeringan.
Transmisi penularannya melalui fecal-oral, yang mana virus masuk ke mulut melalui benda, makanan atau minuman yang sudah terkontaminasi tinja yang mengandung virus polio. Atau bisa masuk melalui bagian atas tenggorokan yang terletak di belakang hidung, yang disebut nasofaring.
“Virus Polio Liar (VPL) adalah virus polio yang terdapat di alam, dan bukan berasal dari vaksin. Dapat menyebabkan penyakit polio pada sebagian orang yang terserang. VPL terdiri dari 3 tipe. Tipe 1 Brunhilde bersifat ganas, tipe 2 Lansig sudah hampir musnah, dan tipe 3 Leon ringan & masih dapat menyebabkan gejala,” imbuh dr. Agung.
Polio ditularkan melalui lingkungan tercemar tinja yang mengandung virus polio. Perilaku buang air besar (BAB) sembarangan berperan besar dalam penyebaran polio. Dari hasil observasi, didapati perilaku hidup bersih dan sehat penduduk yang masih kurang, seperti kebiasaan BAB di sungai. Atau meski tersedia toilet, namun lubang pembuangan langsung mengalir ke sungai. Padahal air sungai dipakai sebagai sumber aktivitas penduduk, termasuk tempat bermain anak-anak.
Perjalanan virus polio di tubuh pertama masuk melalui oropharynx ke perut dan berkembang biak dalam darah yang akan memunculkan gejala demam. Apabila berlanjut ke neural, maka akan muncul gejala neurologi atau menyerang saraf. Yang paling sering terjadi, kalau sudah mengenai tulang belakang bagian depan yang merupakan jalur masuknya saraf motorik atau saraf gerak, maka bisa berpengaruh ke kelumpuhan satu sisi.
Untuk tatalaksana medisnya, menurut dr. Agung karena disebabkan virus tidak ada terapi khususnya. Jadi hanya bisa ditangani suportif aja seperti fisioterapi atau ortopedi.
“Yang harus kita waspadai adalah sindroma post polionya. Jika sudah sembuh seperti tidak ada pengaruh apa-apa, namun beberapa tahun ke depan kemungkinan akan terjadi progressive muscle weakness. Hal itu akan menyebabkan cepat mudah lelah dan rasa nyeri yang sering terjadi,” ujarnya.
Dr. Agung selanjutnya mempertanyakan sudahkah anak-anak kita terlindungi dari polio? Sebenarnya Indonesia sudah mendapatkan Sertifikat Bebas Polio pada tahun 2014. VPL tipe 2 telah dinyatakan eradikasi pada tahun 2015 dan tipe pada 3 pada tahun 2019. Namun faktanya pada bulan November, Indonesia berikut 15 negara lainnya melaporkan keberadaan kasus polio tipe 2.
“Jadi status bebas polio bukan berarti polio risk free. Ancaman di kita adalah VPL tipe 1,” ucap dr. Agung.
Situasi terkini yang kita hadapi adalah masih banyak kantong-kantong provinsi dan kabupaten yang cakupan imunisasi polionya rendah. Sementara mobilitas orang bepergian tinggi, sehingga pasti akan menimbulkan masalah, di antaranya adalah adanya KLB Polio di Aceh.
“Untuk Yogyakarta, cakupan imunisasinya tahun 2017-2019 sangat bagus, yaitu di atas 98%. Sementara tahun 2020-2022 terjadi penurunan, namun angkanya masih tetap di atas 90%. Artinya dalam situasi seperti ini, Yogya relatif aman,” pungkas dr. Agung.
Narasumber kedua, dr. Retno Sutomo menyampaikan materi berjudul “Peran Imunisasi untuk Mencegah Penyakit Polio”. Imunisasi adalah proses membuat seorang menjadi kebal atau imun terhadap penyakit-penyakit infeksi tertentu.
“Imunisasi adalah melindungi anak dari penyakit tanpa harus mengalami sakit terlebih dulu,” ujarnya.
Cara kerjanya adalah kuman yang dilemahkan atau dimatikan atau bagian kuman dimasukkan ke dalam tubuh, baik lewat suntik atau tetes. Kemudian tubuh merespon dengan menyiapsiagakan sistem kekebalan. Saat tubuh terserang ‘kuman asli’ secara riil, tubuh sudah siap dengan senjata perlindungan.
Dr. Sutomo melanjutkan, tujuan program imunisasi adalah melindungi individu terhadap penyakit, menurunkan kejadian penyakit di masyarakat, dan terakhir mengeradikasi atau mengeliminasi penyakit. Dalam konteks polio, kita bisa bercita-cita mengeradikasi, namun untuk kasus penyakit lainnya kita hanya bisa menargetkan mengeliminasi. Sehingga meskipun penyakitnya masih ada, akan tetapi tidak lagi menjadi beban yang signifikan di masyarakat.
Imunisasi pada dasarnya bukan hanya untuk perlindungan individual, namun ada juga aspek perlindungan bagi masyarakat. Individu yang sudah imunisasi terlindung dari penyakit, sementara yang belum imunisasi turut terlindungi dari penularan penyakit. Akan efektif apabila cakupan imunisasi tinggi.
“Imunisasi bukan hanya urusan pribadi. Pada dasarnya dengan imunisasi kita berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitar kita agar terhindar dari suatu penyakit,” tegas dr. Sutomo.
Menurut dr. Sutomo, kekebalan alamiah saja tidak cukup dan masih diperlukan imunisasi. Karena kekebalan alamiah tidak selalu terbentuk dengan memadai untuk melindungi tubuh dari suatu penyakit.
Mengapa kita harus peduli dengan polio? Karena kelumpuhan tidak dapat dicegah setelah terinfeksi polio & tidak dapat disembuhkan. Hal itu tentunya akan menjadi beban seumur hidup.
“Imunisasi adalah satu-satunya cara mencegah kelumpuhan akibat polio,” tutur dr. Sutomo.
Imunisasi polio di Indonesia terdiri dari 2 jenis, yaitu vaksin polio tetes (OPV) dan vaksin polio suntik (IPV). Awalnya semuanya berisi 3 tipe virus, namun mulai April 2016 tipe virus 2 sudah ditiadakan dari OPV.
Mengapa sampai terjadi KLB polio di Pidie, Aceh? Menurut dr. Sutomo karena kita menganggap polio sudah tidak ada dan jadi terlena, sehingga Timbulah ‘lubang-lubang’ di kantong masyarakat yang cakupan imunisasinya rendah.
Faktanya di Pidie cakupan imunisasinya sangat rendah, sehingga masuk akal terjadi KLB. Dari data yang ada tahun 2020: OPV4 19% IPV 0,3%, tahun 2021: OPV4 17,7% IPV 0,5%, dan tahun 2022: OPV4 17,7% IPV 0,1%.
Secara umum di Indonesia, cakupan imunisasi turun di masa pandemi. Banyak kabupaten / kota dengan cakupan rendah. Dari data per November 2022 ada 30 provinsi dan 415 kab/kota termasuk beresiko tinggi.
Dr. Sutomo menyatakan kelumpuhan akibat volio “hanya” terjadi pada sekitar 0,5-1% kasus. Satu sisi harus disyukuri karena angkanya sangat rendah, namun perlu diingat bila ada 1 kasus lumpuh akibat polio berarti ada kurang lebih 200 orang terinfeksi polio.
Sebagian kecil serangan menyebabkan keluhan ringan dan sedang. Tapi yang berbahaya adalah sebagian besar tidak bergejala, sehingga banyak orang tidak sadar dirinya menjadi pembawa dan penular virus polio.
“Tidak ada kasus polio bukan berarti ancaman polio sudah hilang,” pungkas dr. Sutomo.
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: