PP Kagama bersama Kagama Fotografi kembali menggelar webinar lewat Zoom Meeting, dengan didukung oleh komunitas foto “GS Fotografi”, Sabtu (18/6/2022). Pada webinar seri ke-26 kali ini, narasumber utama fotografer Tom Blero berbagi cerita tentang memotret Candi Plaosan beserta lanskap budayanya dan membahas buku “Lanskap Budaya Candi Plaosan” terbitan BPCB Jateng. Ketua Umum PP Kagama Ganjar Pranowo dan Kepala BPCB Jateng Sukronedi, berkenan memberikan kata sambutan, dan Wiwit Wijayanti dari Humas PP Kagama bertindak sebagai host.
Tom Blero di awal pemaparan menjelaskan Candi Plaosan terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kec. Prambanan, Klaten. Posisinya sekitar 1,5 km ke arah timur laut dari Candi Prambanan.
Candi Plaosan boleh disebut sebagai pelopor toleransi. Karena inisiatornya Rakai Pikatan, seorang raja yang beragama Hindu, namun membuat candi yang peruntukannya buat beribadah umat Budha. Meski tidak bisa dipungkiri istrinya yang bernama Pramodhawardhani adalah dari Wangsa Syailendra yang memeluk agama budha.
Candi Plaosan terbagi menjadi dua cluster, yaitu sebelah utara dan selatan, yang mana keduanya dipisahkan oleh jalan raya. Namun secara umum orang-orang tahunya Candi Plaosan Lor karena memang terlihat jelas dari jalan, sementara itu Candi Plaosan Kidul agak tersembunyi.
Tom mengakui ia lebih sering memotret Candi Plaosan Lor (CPL) dibanding candi-candi lainnya yang berada di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Alasannya sederhana, CPL bisa dipotret dari segala arah dan dari luar pagar sehingga tidak perlu membeli tiket untuk masuk kompleks. Selain itu kita bisa memotret komplit berbagai genre, mulai dari arsitekturnya, lanskapnya yang menyatu dengan alam, hingga human interest.
Bangunan CPL termasuk lengkap. Ada candi induk kembar, candi kecil-kecil atau perwara, stupa, pagar, dan mandapa. Segala obyek yang berada di kompleks CPL bisa dipotret baik dari dalam kompleks maupun dari luar pagar.
Tom menjelaskan, memotret CPL dari luar kompleks bisa dari segala arah, kecuali dari utara. Kita bisa mendapatkan gambar yang bagus semua, dengan catatan waktunya tepat. Untuk memotret dari sisi barat, Tom mengatakan sebaiknya waktunya pagi-pagi sekali karena kita bisa memperoleh sunrise yang berpadu cantik dengan bangunan candi. Namun apabila kebetulan candi diselimuti kabut tebal, jangan kecewa dulu, karena kita justru bisa memperoleh suasana candi yang mistis. Kelemahannya dari sisi barat ini kita sulit sekali mendapatkan obyek manusia sebagai foreground.
Kalau dari selatan, waktu memotretnya bisa pagi atau sore. Namun Tom menyarankan lebih baik pagi saja, karena kalau pas cuaca cerah kita akan mendapatkan background berupa Gunung Merapi yang sangat cantik.
Menurut Tom dari arah selatan memotret bangunannya saja sudah keren, apalagi ditambah foreground berupa obyek manusia yang lalu lalang di jalan raya sebelah selatan candi, baik yang jalan kaki maupun yang naik sepeda. Ia memberi sedikit tips, tentukan dulu frame candi sebagai background. Jadi begitu ada obyek manusia lewat tinggal tekan shutter kamera untuk menciptakan komposisi yang cantik.
Kemudian kalau dari arah timur, sama seperti dari selatan, waktu pengambilan gambar bisa pagi atau sore. Namun apabila kita memotret sore hari, jika bernasib baik kita akan mendapatkan bonus berupa sunset yang keren. Dari arah timur kita juga bisa menciptakan komposisi ciamik dengan memadukan bangunan candi dan obyek manusia.
Berdasar pengalaman, kelemahan obyek manusia yang lewat secara natural dan alami, terkadang menyulitkan kita untuk mendapatkan gambar sesuai keinginan kita. Karena kita tidak bisa mengatur obyeknya. Jika ingin mendapatkan komposisi yang cantik kita bisa mempergunakan model yang bisa disuruh melakukan pose berkali-kali.
Tom melanjutkan, dari luar pagar memang kita sudah bisa memotret CPL secara lanskap. Namun kalau mau mendapatkan detil, seperti memotret relief tentu saja kita harus masuk ke dalam kompleks candi. Di mana kita bisa memotret candi induk kembar, berikut relief-relief yang memenuhi bangunannya baik di luar maupun di dalam. Lalu ada candi perwara atau candi-candi kecil pendamping candi induk, stupa, dan mandapa (tempat bersemedi / beribadah).
Terkadang kita kurang puas jika hanya memotret bangunannya saja yang terkesan statis dan kaku. Untuk membuatnya menjadi dinamis, tentu saja kita butuh obyek tambahan manusia. Sama seperti memotret dari luar kompleks, obyeknya bisa natural atau kita membawa model sendiri.
Berikutnya Tom sedikit membahas buku “Lanskap Budaya Candi Plaosan” terbitan BPCB Jateng, di mana ia menyumbangkan sebagin besar foto untuk ilustrasi buku tersebut. Ia mengakui pengetahuannya tentang Candi Plaosan semakin bertambah ketika dilibatkan dalam proyek BPCB itu.
Tom mengakui baru tahu bahwa Candi Plaosan bukanlah sekedar benda mati berupa bangunan megah dari batu, namun ada interaksi yang teramat erat dengan bentang alam dan masyarakat di sekitarnya. Dalam kaitannya dengan alam ini, ia harus memotret sungai Dengkeng di sebelah timur candi, persawahan di sekitar candi, sumber batu hitam di daerah lereng Gunung Merapi, dan sumber batu putih yang berada di Banyunibo.
Masyarakat di sekitar Candi Plaosan sebagian besar bertani. Keberadaan Candi Plaosan dan juga aktivitas bertani tersebut secara tidak langsung mampu mempengaruhi tradisi dan kesenian rakyat yang dari dulu sampai sekarang masih terjaga keberadaannya.
Di sekitar Candi Plaosan sekarang ini ada 4 jenis kesenian rakyat yang masih eksis, yaitu Srandul, Pring Sedapur, Karawitan, dan Gejog Lesung. Tom juga harus memotret semuanya itu. Ternyata kondisinya juga tidak berbeda jauh dengan kesenian rakyat di daerah lain, yaitu masalah regenerasi sehingga lama kelamaan jika tidak ada generasi muda yang meneruskannya dikhawatirkan akan punah.
Di akhir pemaparan, Tom mengatakan keselarasan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, dengan alam, dengan sesama manusia, telah melahirkan lanskap budaya yang adiluhung.
“Keberadaan sungai dan sawah, pemukiman bernuansa pedesan, Gunung Merapi di utara, serta Pegunungan Seribu di selatan, telah membentuk pesona memikat yang mendukung situs Candi Plaosan sebagai lanskap budaya yang harus dijaga kelestariannya,” pungkas Tom.
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: