Gelanggang Inovasi & Kreativitas (GIK) UGM mempersembahkan sebuah pertunjukan ketoprak kolaborasi berjudul “Mendung ing Karangwuni”, Selasa (20/8). Pentas melibatkan kolaborasi berbagai unsur, yaitu pemain ketoprak RRI, pemain ketoprak profesional, civitas akademica, mahasiswa, alumni, dan warga. Mewakili civitas academica yaitu Wakil Rektor Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat dan Alumni, Dr. Arie Sudjito dan Direktur Kemahasiswaan UGM, Dr. Sindung Tjahyadi. Sedangkan alumni diwakili oleh komunitas Kagama Teater, di bawah kepemimpinan Patah Ansori.
Kisah cerita “Mendung ing Karangwuni” diangkat dari kehidupan masyarakat kebanyakan yang menyoroti pentingnya integritas, dialog, dan mendengarkan suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Bertindak sebagai sutradara adalah Bambang Paningron, pelaksana produksi Arya Adhita, dan penulis naskah Tedjo Suyanto.
Sang sutradara, Bambang Paningron mengatakan, GIK UGM sebagai entitas baru, bagian dari ekosistem kebudayaan di Yogyakarta, memiliki peran strategis membangun peradaban bersama masyarakat melalui seni tradisi. Kolaborasi civitas akademica UGM bersama komunitas seni tradisi dan warga sekitar menjadi rujukan penting sebagai dukungan atas identitas budaya yang unik, memperkaya kehidupan sosial masyarakat, dan penghargaan pada toleransi antar suku, agama, dan etnis. Pentas yang digelar adalah salah satu bentuk media untuk kembali mengukuhkan UGM sebagai kampus kerakyatan yang inklusif.
Bambang melanjutkan, banyak nilai-nilai dan kearifan lokal yang terkandung dalam seni tradisi seperti ketoprak. Ia menyebutkan gotong royong adalah salah satu kunci utama dalam merawat peradaban. Ketoprak dan seni tradisi yang lain bukanlah sekedar bentuk ekspresi budaya, tetapi juga sebagai pemersatu, pemberdaya, dan penggerak dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk melestarikan dan mengapresiasi seni tradisi sebagai salah satu aset berharga dalam pemajuan kebudayaan Indonesia.
“Ketoprak hanya salah satu bentuk atau kemasan saja. Ia bisa saja berubah mengikuti jamannya, tapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya jauh lebih penting. Itulah yang harus terus dipelihara,” ujar Bambang.
Menurutnya, generasi muda sebagai aset bangsa harus diperkenalkan dengan dunia tradisi yang selalu berusaha menjaga adab, integritas dan etika. Proses pewarisan nilai-nilai melalui pertunjukan seni tradisi ini dirasa sangat penting, karena ia bisa menjadi cerminan peristiwa yang hidup di masyarakat dengan seluruh dinamikanya.
“Seni tradisi membutuhkan anak-anak muda untuk terus menjaga nilai-nilai itu,” pungkas Bambang.
Sementara itu, Ketua Kagama Teater, Patah Ansori mengatakan komunitas yang dipimpinnya tertarik ikut dalam pementasan karena karena sangat setuju dengan misi yang dibawa, yaitu memperkenalkan seni tradisi kepada anak muda. Dalam hal ini tradisi ketoprak.
Ia menyatakan Kagama Teater tidak membatasi diri memainkan teater modern atau kontemporer saja, namun juga tidak menutup kemungkinan untuk mementaskan seni teater rakyat, baik ketoprak, srandul, ludruk, dsb. Karena hal itu justru ada nilai positifnya, yaitu ikut melestarikan kebudayaan adiluhung bangsa.
“Kami membuka diri untuk berkolaborasi dengan pihak mana saja untuk diajak berpartisipasi dalam sebuah pementasan, baik teater modern ataupun teater tradisi,” ujarnya