
Prof Dwikorita Karnawati: Menata Ulang Penanganan Multi-bencana Sumatra dari Hulu DAS hingga Kebijakan Hunian
Rangkaian banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada penghujung 2025 bukan sekadar peristiwa alam tunggal. Dalam kacamata Prof Dwikorita Karnawati—Guru Besar Geologi Lingkungan dan Kebencanaan UGM sekaligus mantan Kepala BMKG—bencana ini adalah hasil interaksi berlapis antara kerentanan geologi, anomali iklim, dan degradasi lingkungan yang memicu geo-hidrometeorologi berantai: longsor–erosi–banjir bandang–banjir besar. Skala kerusakan, sebaran lintas-DAS, dan intensitas kejadian yang berulang menegaskan bahwa mekanisme penanganan yang lazim diterapkan untuk “bencana tunggal” tidak lagi memadai.

Geologi yang rentan, iklim yang menguat, lingkungan yang melemah
Secara geologis, Sumatra dicirikan oleh pegunungan curam dan rapuh bersebelahan dengan dataran rendah kipas aluvial—bentang alam yang historis terbentuk dari endapan banjir bandang masa lalu. Ketika kerentanan geologi ini berjumpa dengan hujan ekstrem yang makin sering, ditambah kerusakan hulu DAS, dampaknya adalah bencana beruntun dengan daya rusak meningkat dan periode ulang yang kian pendek.
Data iklim beberapa tahun terakhir memperkuat diagnosis tersebut: 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah pencatatan modern, dan kejadian cuaca ekstrem di Indonesia melonjak tajam; tren kebasahan wilayah barat Indonesia, termasuk Sumatra, diproyeksikan menguat pada dekade mendatang. Semua itu memperbesar risiko aliran debris, gerakan tanah, dan banjir bandang pada lanskap curam yang mengalami perubahan tata guna lahan.
Kesenjangan kapasitas penanganan
Di tengah kerja keras berbagai unsur—pemerintah pusat–daerah, TNI–Polri, relawan—Prof Dwikorita menilai masih ada kesenjangan serius antara kompleksitas risiko dan kapasitas mekanisme penanggulangan yang tersedia. Karakter bencana yang “luar biasa, kompleks, dan dinamis” menuntut pendekatan yang melampaui pola rutin, dengan armada, teknologi, dan SDM tangguh yang ditingkatkan berlipat—serta koordinasi lintas-sektor yang menyatu dari tanggap darurat hingga pemulihan.
Kesenjangan ini tampak di medan: wilayah terdampak melintasi banyak DAS, akses lapangan kerap tersendat oleh sumbatan sedimen–gelondongan kayu, sementara hujan susulan berpotensi memaksa daerah kembali ke fase darurat ketika rehabilitasi baru berjalan. Karena itu, strategi penanganan mesti bergerak paralel—response yang kuat, mitigasi yang segera, dan rekonstruksi yang berbasis sains.
Hulu DAS: inspeksi menyeluruh dan intervensi cepat
Agenda paling mendesak menurut Prof Dwikorita adalah mengurangi risiko banjir bandang susulan lewat inspeksi menyeluruh di hulu DAS. Tim harus memetakan sisa endapan longsor, material rombakan, dan kayu-kayu yang menahan alur di elevasi tinggi. Sumbatan alami semacam itu, bila jebol saat hujan lebat, dapat memicu banjir bandang baru ke wilayah hilir. Intervensi teknis—penyaluran terkendali (controlled flushing/sudetan) sumbatan sedimen—perlu dilakukan segera, diikuti pembangunan check dam berjenjang dari hulu ke kaki gunung untuk menahan kecepatan dan volume sedimen.
Untuk mempercepat pemulihan fungsi dasar, pembersihan sedimen, lumpur, gelondongan kayu, dan bangkai hewan pada lahan–prasarana mesti diprioritaskan agar sarana vital (jalan, irigasi, hunian sementara) lekas berfungsi. Di tahapan rehabilitasi–rekonstruksi, evaluasi menyeluruh mekanisme bencana melalui fact-finding lapangan dan pemodelan fisika-matematis yang tervalidasi data empiris menjadi prasyarat kebijakan berbasis bukti.
Kebijakan hunian: jangan mewariskan risiko
Salah satu pokok pandangan Prof Dwikorita yang paling tegas adalah soal penataan hunian pascabencana. Wilayah yang pernah terlanda banjir bandang—umumnya zona kipas aluvial yang menyimpan “memori bencana”—tidak layak dijadikan lokasi hunian tetap (huntap). Kawasan tersebut sebaiknya ditetapkan zona merah untuk konservasi–rehabilitasi lingkungan, sementara hunian sementara (huntara) dapat digunakan dengan batas waktu ketat dan bukan permanen. Huntap harus diarahkan ke zona aman di luar bantaran sungai aktif, berjarak memadai dari lereng curam, serta memenuhi akses air baku dan layanan dasar.
Argumentasi geologisnya jelas: memaksakan hunian tetap di lahan aluvial berarti mewariskan risiko kepada generasi berikutnya, terlebih di tengah kerusakan hulu DAS yang memperpendek periode ulang banjir bandang menjadi 15–20 tahun atau bahkan lebih singkat bila pemulihan lingkungan tidak dilakukan.
Pandangan ini beririsan dengan observasi lapangan Prof Dwikorita yang mengaitkan titik terdampak dengan sedimen aluvial historis, serta penegasan agar lokasi relokasi mempertimbangkan peta bahaya–eksposur–risiko dan daya dukung lingkungan (air, akses, kebutuhan dasar).
Membangun kembali lebih aman: dari taktis ke sistemik
Untuk menjembatani kesenjangan kapasitas, Prof Dwikorita mendorong langkah “luar biasa” yang menempatkan keselamatan sebagai standar baru: peningkatan armada–teknologi–SDM, operasi hulu DAS yang proaktif, hingga penguatan sistem informasi berbasis sains. Dalam kerangka rekonstruksi, prinsip build back better yang berorientasi “zero victims, zero loss and damage” menjadi target kebijakan—rekonstruksi yang tidak hanya memulihkan, tetapi meningkatkan ketahanan sosial–lingkungan dan menata ulang ruang agar aman di masa depan.
Agenda sistemik ini menuntut integrasi lintas sektor: pemerintah pusat–daerah, akademisi, NGO, swasta, relawan, dan komunitas lokal yang tidak terdampak langsung, agar jalur kebijakan berjalan dari hulu–tengah–hilir. Rehabilitasi lingkungan (perlindungan hutan hulu, pengendalian erosi, perbaikan tata guna lahan), perbaikan hidrolik (normalisasi alur, check dam, vegetasi penyangga), dan ketertiban ruang (penegakan zona merah–kuning–hijau) harus menjadi satu paket kebijakan, bukan program terpisah.
Keniscayaan perubahan kebijakan
Inti pesan Prof Dwikorita adalah keharusan bergeser dari pendekatan reaktif menuju mitigasi preventif berbasis geologi–hidrologi–iklim. Dengan tren kebasahan yang menguat dan frekuensi cuaca ekstrem yang menanjak, Sumatra—dan Indonesia pada umumnya—memerlukan mekanisme penanganan khusus di luar pola rutin yang selama ini berfokus pada respons darurat. Tanpa itu, setiap musim hujan berpotensi mengembalikan daerah terdampak ke fase tanggap darurat, sementara rekonstruksi baru saja dimulai.
Pada tataran praktis, pandangan ini bermuara pada dua keputusan kunci: menata ulang hulu DAS dan menegakkan disiplin ruang hunian. Keduanya menentukan apakah kita bisa memutus siklus bencana berulang, atau justru mewariskan risiko kepada generasi berikutnya. [
Rangkuman rekomendasi kebijakan (berdasarkan pandangan Prof Dwikorita)
- Inspeksi menyeluruh hulu DAS: petakan endapan longsor, material rombakan, dan sumbatan alur; lakukan sudetan/penyaluran terkendali; bangun check dam berjenjang untuk mengendalikan sedimen.
- Pemulihan fungsi dasar: percepat pembersihan sedimen–lumpur–kayu–bangkai hewan di infrastruktur vital; kembalikan layanan minimum hunian sementara dan akses publik. [
- Rehabilitasi–rekonstruksi berbasis sains: fact-finding lapangan, pemodelan fisika-matematis, dan validasi data empiris untuk merancang intervensi yang tepat sasaran.
- Penataan hunian: tetapkan zona merah di kipas aluvial/banjir bandang; arahkan huntap ke zona aman; gunakan huntara hanya sementara dengan batas waktu jelas.
- Penguatan kapasitas lintas-sektor: naikkan skala armada–teknologi–SDM, tingkatkan koordinasi dari darurat hingga rekonstruksi, dan terapkan prinsip build back better.