Saling Menjaga dan Menguatkan: Menjawab Darurat Bunuh Diri dengan Empati dan Kolaborasi

Saling Menjaga dan Menguatkan: Menjawab Darurat Bunuh Diri dengan Empati dan Kolaborasi

Lonjakan kasus bunuh diri di Indonesia dalam lima tahun terakhir menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Data mencatat peningkatan hingga 60 persen, dengan pandemi COVID-19 dan tekanan ekonomi sebagai pemicu utama. Dalam presentasi bertajuk Saling Menjaga dan Menguatkan, Patricia Meta Puspitasari, M.Psi., Psikolog, menekankan bahwa pencegahan bunuh diri tidak cukup hanya mengandalkan intervensi klinis. Diperlukan kolaborasi lintas profesi dan kesadaran sosial yang lebih luas untuk merawat kesehatan jiwa masyarakat.

Kasus tragis seorang ibu dan anak yang mengakhiri hidupnya karena kesulitan ekonomi menjadi cermin nyata kompleksitas persoalan ini. Patricia menggarisbawahi bahwa manusia adalah makhluk sosial—kehilangan peran dan koneksi sosial dapat memperbesar risiko depresi dan bunuh diri. Data dari Global School-based Student Health Survey menunjukkan peningkatan rasa kesepian dan ide bunuh diri di kalangan remaja Indonesia, dengan perempuan muda mencatatkan angka yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Pengenalan dini terhadap tanda-tanda risiko menjadi langkah penting dalam pencegahan. Beberapa gejala yang perlu diwaspadai antara lain pembicaraan tentang kematian atau bunuh diri, perasaan tidak berharga, pencarian alat untuk bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosial, perubahan drastis dalam penampilan dan pola hidup, serta tindakan seperti memberikan barang-barang pribadi atau mengucapkan salam perpisahan.

Patricia memperkenalkan pendekatan intervensi sederhana namun efektif yang dikenal sebagai 3L: Lihat, Dengar, dan Hubungkan. “Lihat” berarti mengamati tanda-tanda dan menghilangkan benda berbahaya di sekitar individu. “Dengar” mengajak kita untuk menyediakan ruang aman bagi mereka yang ingin mengekspresikan emosi tanpa dihakimi. Sementara “Hubungkan” mendorong kita untuk mengarahkan individu ke bantuan profesional atau jejaring dukungan yang tersedia.

Menariknya, ia membagikan kisah nyata seorang anak berusia 13 tahun yang berhasil mencegah upaya bunuh diri seorang dewasa. Kisah ini menjadi bukti bahwa siapa pun, tidak hanya tenaga profesional, dapat menjadi penolong pertama. Namun, dalam menghadapi individu yang berisiko, penting untuk menghindari sikap meremehkan, membandingkan masalah, atau memberikan ceramah moral dan agama yang justru dapat memperburuk kondisi.

Berbagai layanan telah tersedia untuk mendukung kesehatan mental, seperti Puskesmas dengan layanan psikologi (terutama di Yogyakarta), hotline dan telekonseling seperti healing119.id dan IPK Indonesia, serta kelompok dukungan seperti Into The Light yang mendampingi individu berisiko dan keluarganya. Strategi komunitas juga mencakup kampanye anti-stigma, pelatihan kader kesehatan jiwa untuk deteksi dini, serta promosi perawatan diri seperti tidur cukup, nutrisi seimbang, hidrasi, aktivitas fisik, dan pembatasan paparan media sosial yang merugikan.

Di akhir presentasinya, Patricia mengajak masyarakat untuk membuka ruang cerita dan percakapan. Dalam dunia yang sering kali sunyi bagi mereka yang terluka, menjadi “senter”—penyinar harapan dan dukungan—jauh lebih berarti daripada menjadi hakim. Pencegahan bunuh diri bukan hanya soal menyelamatkan nyawa, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang saling menjaga dan menguatkan.

*) Materi webinar selengkapnya bisa dilihat di Youtube Kagama Channel: