Ada yang membuat miris saat Ketua Umum PP Kagama, Ganjar Pranowo, memberikan sambutan pada Wisuda Program Pascasarjana Periode IV Tahun Akademik 2023/2024 di Grha Sabha Pramana, Rabu (24/7). “Indonesia Darurat Kesehatan Mental”, begitu judul materi sambutannya. Seperti sebuah kekhawatiran yang berlebihan, namun faktanya memang terbukti demikian.
Ganjar membeberkan sejumlah fakta fenomena bunuh diri di kalangan anak muda yang begitu tinggi belakangan ini. Menurutnya saat ini kita memang sedang dalam kondisi darurat kesehatan mental.
Ia mengutip Pusat Informasi Kriminal Polri tahun 2023 yang mencatat sebanyak 1.226 orang melakukan bunuh diri, yang artinya rata rata setidaknya 3 orang melakukan bunuh diri perhari. Lalu, penelitian BRIN tahun 2023 menunjukkan, dalam kurun waktu 11 tahun terakhir (2012-2023) sebanyak 46,63 % bunuh diri dilakukan oleh remaja. Sementara survei I-NAMHS (Indonesia – National Adolescent Mental Health Survey) tahun 2022 menemukan: 1,4% remaja memiliki ide bunuh diri; lalu 0,5% membuat rencana bunuh diri; dan 0,2% mencoba bunuh diri.
Ganjar menambahkan, I-NAMHS tahun 2022 melakukan survei yang melibatkan 5.664 remaja, terdiri dari 2.883 laki-laki dan 2.781 perempuan untuk mewakili remaja seluruh Indonesia. Hasilnya kurang lebih bisa menjelaskan, mengapa dalam lima tahun terakhir banyak kasus bunuh diri yang dilakukan anak-anak muda kita.
Survei tersebut mendapatkan tiga temuan penting, yang pertama 1 dari 3 remaja memiliki masalah kesehatan mental. Kedua, 1 dari 20 remaja memiliki gangguan mental, yang mana angka tersebut setara dengan 20 juta remaja. Ketiga, anxiety atau kecemasan berlebihan menjadi gangguan mental yang paling umum terjadi.
“Mengapa anak-anak muda kita dilanda kecemasan berlebihan? Banyak jawabnya, seperti khawatir tidak lulus sekolah, khawatir tidak dapat pekerjaan, dll,” ujar Ganjar.
Lebih lanjut Ganjar mengatakan, Survei Kesehatan Indonesia (2023) menunjukkan prevalensi depresi Indonesia sebesar 1,4%. Artinya, ada sekitar 1 dari 100 penduduk usia 15 tahun ke atas yang mengalami depresi. Dan 87.3% penderita depresi di Indonesia tidak berobat.
Karena literasi kesehatan mental sangat kurang, sebanyak 43.8% melaporkan bahwa mereka tidak mengakses layanan atau bantuan karena merasa ingin atau mampu menangani masalahnya sendiri. Yang membuat Ganjar prihatin, dari kurang lebih 10 ribu Puskesmas di Indonesia, hanya sekitar 6.000 yang memiliki layanan kesehatan jiwa.
Ganjar secara retorika bertanya, apa yang akan terjadi jika masalah kesehatan mental remaja kita abaikan? Ia menyatakan ada 3 masalah yang akan timbul, yaitu masasalah akademik, masalah kesehatan fisik, dan masalah sosial.
Selanjutnya ia merinci apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi masalah kesehatan mental yang melanda anak muda kita. Secara individu, sebaiknya tidak melakukan self diagnosis terhadap kondisi psikologisnya sendiri, dan mencari bantuan profesional ketika mengalami masalah kesehatan mental. Lalu, secara lingkungan memberikan dukungan psikologis kepada sesama yang mengalami gangguan kesehatan mental. Yang terakhir, secara sosial mendukung orang, kelompok, serta lembaga yang aktif bergerak di kesehatan mental, dan menggalang kerja sama atau kolaborasi di antara penggerak kesehatan mental.
“Tidak apa-apa untuk tidak merasa baik-baik saja. Meminta bantuan adalah langkah pertama menuju penyembuhan,” tegas Ganjar.
Ganjar lalu menyebutkan solusi apa saja yang bisa kita ambil bersama dalam menangani masalah kesehatan mental. Untuk jangka pendek, meningkatkan akses layanan konseling, serta memperbanyak jumlah pusat kesehatan yang menyediakan layanan kesehatan mental, dan melaksanakan kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan mengurangi stigma.
Untuk jangka panjang, meningkatkan infrastruktur dan tenaga kesehatan, seperti membangun lebih banyak fasilitas kesehatan mental yang lengkap dengan tenaga profesional yang memadai, dan meningkatkan jumlah psikiater di Indonesia yang saat ini rasionya tidak sebanding dengan jumlah penduduk. Lalu, mengintegrasikan pendidikan kesehatan mental dalam kurikulum sekolah untuk mendidik generasi muda tentang pentingnya menjaga kesehatan mental, serta mengembangkan program anti bullying dan program dukungan sebaya di sekolah.
Di penghujung sambutannya, Ganjar mengaku kagum dan salut dengan mereka yang sudah mengabdikan hidupnya untuk membantu sesama dalam menghadapi masalah kesehatan mental. Ia menyebutkan contohnya, Sukaryo Adi Putra (Sinau Hurip), Rhaka Ghanisatria (Menjadi Manusia), dan Adjie Santoso Putro (Pulih Nan Selaras).
“Kita harus dukung mereka sesuai kemampuan kita demi perbaikan kesehatan mental masyarakat, khususnya anak muda kita,” pungkas Ganjar.