Menyambut perayaan Internasional Orangutan Day 2020, pada hari Minggu (22/8/2020) jam 14.00 – 17.00 WIB berlangsung Kagama Goes Green Webinar #2 yang diselenggarakan oleh PP Kagama dan Yayasan Ekosistem Lestari dengan judul “Lanskap Konservasi Orangutan di Indonesia” diiikuti 400 peserta. Webinar menampilkan Ganjar Pranowo sebagai opening speech, Ir. Wiratno, M.Sc. (Dirjen Konservasi, SDA & Ekosistem KLHK) sebagai keynote speaker dan 3 narasumber yaitu Drh. Citrakasih Nente, MVS (SOCP Head of Ex-situ Conservation), Dr. Aldrianto Priadjati (Ketua Forum Orangutan Indonesia), dan Ian Singleton, Ph.D (Direktur Konservasi, PanEco Foundation). Tampil sebagai penanggap adalah Dr. Moh. Ali Imron, S.Hut., M.Sc. serta Nawa Murtiyanto, S.IP., MPA sebagai moderator.
Tampil sebagai opening speech, Ganjar Pranowo mengungkapkan kekagumannya dan memuji teman-teman Kagama yang ternyata juga peduli dengan lingkungan hidup. Setelah webinar sebelumnya membahas masa depan harimau Indonesia, webinar kali ini membicarakan perlindungan terhadap orangutan. Di tengah pandemi teman-teman Kagama tidak pernah berhenti berpikir & bertindak untuk kehidupan yang lebih baik. Dengan masing-masing disiplin ilmu yang dikuasainya lewat jejaring yang ada semuanya bersatu untuk menemukan solusi-solusi. Kita tidak boleh mengutuk kegelapan, namun harus menjadi lilin penerang bagi sekitarnya. Bagaimana kita harus selalu saling peduli & loyal kepada keilmuan kita masing-masing yang bisa kita kontribusikan kepada kehidupan.
Ir. Wiratno sebagai keynote speaker menjelaskan tentang konservasi lintas batas. Dalam melakukan konservasi kita membutuhkan ‘manusia unggul’. Mereka adalah pribadi-pribadi yang selalu berusaha melakukan pekerjaan konservasi dengan spirit yang tinggi dan penuh semangat. Juga mampu membangun network & memeliharanya dalam bentuk komunikasi yang bagus. Manusia unggul pada umumnya memiliki panggilan hidup yang dalam bahasa Jawa disebut “memayu hayuning bawana” yang bisa diartikan menjaga keindahan dunia di mana hal itu bisa diterjemahkan bahwa manusia hendaknya arif bijaksana dalam memelihara lingkungan dan tidak berbuat semena-semena terhadap alam.
Konservasi lintas batas mensyaratkan adanya multi stakeholder, multi disiplin ilmu, multilevel leadership, perbaikan berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan dan kearifan lokal dan pendampingan-pendampingan di lapangan. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan strategi berupa konservasi keanekaragaman hayati menjadi tanggung buat siapapun dan membangun kesadaran kolektif. Lalu melindungi yang tersisa, memulihkan yang terdegradasi serta menyelesaikan konflik antara manusia dan satwa liar. Selain itu menyeimbangkan kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Yang terakhir adalah perlunya spirit 5K: keberpihakan, kepedulian, kepeloporan, konsistensi dan kepemimpinan.
Narasumber pertama Aldrianto Priadjati, Ketua Forum Orangutan Indonesia (FORINA), menjelaskan FORINA adalah lembaga yang didirikan pada tanggal 25 Februari 2009 yang peduli pada konservasi orangutan di Indonesia. Indonesia memiliki 3 spesies orangutan yaitu orangutan sumatera (pongo abelii), orangutan tapanuli (pongo tapanuliensis) dan orangutan kalimantan (pongo pygmaeus) yang kesemuanya masuk taraf kritis mengkhawatirkan. Ada 5 strategi dan program konservasi orangutan yang dilakukan yaitu meliputi pengelolaan konservasi orangutan, aturan dan kebijakan, kemitraan dan kerjasama dalam mendukung konservasi orangutan, komunikasi dan penyadartahuan masyarakat untuk konservasi orangutan, serta pendanaan untuk mendukung konserbasi orangutan dan habitatnya.
Kolaborasi berbagai pihak sangat penting mengingat habitat orangutan terkoneksi satu sama lain. Lebih dari 70% habitat orangutan ada di luar kawasan konservasi. Upaya konservasi orangutan yang terintegrasi dengan melibatkan seluruh stakeholder dalam upaya konservasi menjadi suatu keharusan.
Ian Singleton narasumber asal Inggris yang bertahun-tahun meneliti orangutan di Indonesia, menyoroti masalah kecepatan berkembang biak orangutan yang lebih lambat dibandingkan dengan kera besar lainnya. Untuk gorila rata-rata pada umur 10,1 tahun melahirkan untuk pertama kali kalinya dan simpanse 13,5 tahun. Sedangkan orangutan pada kisaran 15,6 tahun. Kemudian jarak melahirkan anak yang satu dengan lainnya untuk gorilla rata-rata 4,3 tahun, simpanse 5,6 tahun dan orangutan 7,7 tahun. Secara umum seekor orangutan betina sepanjang hidupnya hanya mempunyai 3 – 5 anak. Angka tersebut sangat berarti untuk konservasi, karena kehilangan 1 betina akan sangat mempengaruhi jumlah populasi. Seperti yang dikatakan Aldrianto sebelumnya, Ian juga menyatakan ketiga spesies orangutan di Indonesia saat ini jumlahnya relatif sedikit dan semua terancam eksistensinya. Masa depan mereka tergantung di tangan kita semua. Jika kita tidak bisa turun langsung memberikan sumbangsih, minimal sedikit kepedulian kita mendukung gerakan konservasi orangutan akan sangat membantu kelestarian mereka.
Narasumber terakhir, Citrakasih Nente memaparkan materi tentang rehabilitasi dan reintroduksi orangutan yang berada di wilayah Sumatera. Rehabilitasi diberikan kepada orangutan dewasa dan anak-anak karena berbagai faktor seperti korban perburuan, pemeliharaan illegal, diperdagangkan secara liar atau habitatnya yang semakin terfragmentasi. Tahap pertama yang dilakukan adalah melakukan karantina khususnya pemeriksaan kesehatan karena orangutan mempunyai kekerabatan genetik yang sangat dekat dengan manusia, sehingga ada penyakit yang bisa menular dari manusia ke orangutan atau sebaliknya. Rehabilitasi harus dilakukan karena orangutan tidak bisa langsung dilepasliarkan di hutan. Banyak hal yang harus diajarkan terlebih dulu agar mereka bisa mandiri kelak di alam liar, khususnya buat orangutan yang masih kecil.
Yang dilakukan para staf di pusat rehabilitasi adalah berperan menjadi induk pengganti lewat dua kegiatan yaitu di forest school atau di kandang. Karena banyak orangutan yang terlalu dimanja atau lama dikurung di kandang tidak tahu caranya memanjat dan berayun antar pohon atau hal-hal buat survive lainnya seperti bagaimana caranya mencari makan.
Selesai proses rehabilitasi di Sumatran Orangutan Coservation Programme (SOCP) yang berada di wilayah Sumatera Utara, hal berikutnya yang dilakukan adalah mengirim orangutan ke pusat reintroduksi di Cagar Alam Jantho Aceh atau di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Jambi. Ada yang langsung dilepas di hutan namun ternyata ada yang masih perlu didampingi lebih lanjut di forest school yang berada di dekat lokasi hutan.
Setelah proses reintroduksi ternyata pekerjaan belum selesai. Masih diperlukan Post Release Monitoring (PRM) atau monitoring pasca pelepasan, dengan tujuan untuk mengetahui apakah orangutan mampu beradaptasi atau hidup mandiri di hutan. Metodenya dengan cara mengikuti dari sarang ke sarang, dari bangun tidur di pagi hari sampai kembali beranjak tidur di sore hari. Selain monitoring orangutan juga dilakukan monitoring habitatnya untuk mencegah terjadinya kemungkinan ancaman. Kegiatan pengamanan kawasan melibatkan kerjasama berbagai elemen: BKSDA, polisi, tentara, ranger dan masyarakat.
Leave a Reply