Berawal dari tanah Asia, wabah penyakit Covid–19 menyapu dunia dengan kecepatan yang mencengangkan hingga paruh pertama tahun 2020 ini. Meskipun berbatasan langsung dengan Tiongkok, namun Vietnam menerapkan strategi perang semesta yang cukup berhasil dalam mencegah Covid–19 mewabah di negerinya. Sementara kubu antagonisnya dalam medan perang berpuluh tahun silam, yakni Amerika Serikat, justru sulit mengendalikan wabah di dalam negerinya.
Demikian salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan UGMtalks sinergi Universitas Gadjah Mada dan Kagama yang diselenggarakan secara daring (online) pada Minggu 14 Juni 2020. Dengan tema “Mempersiapkan Normal Baru: Pengalaman Negara Lain”, temu–daring yang melibatkan 360 peserta di segenap penjuru menjadi pertemuan serius yang membahas dampak terkini dan pelajaran yang dapat diambil dari pandemi Covid–19 di sejumlah negara.
Sebagai pembicara kunci adalah Ibu Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri RI) dan Bapak Ganjar Pranowo (Ketua Kagama dan Gubernur Jawa Tengah). Pembicara–pembicara selanjutnya adalah para diplomat Indonesia yang sedang bertugas di tiga negara berbeda, masing–masing Bapak Witjaksono Adji (Wakil dubes di KBRI Austria), Bapak Hariyanta Soetarto (minister counsellor di KBRI Vietnam) dan Bapak Theodorus Satrio Nugroho (minister counsellor di KBRI Amerika Serikat). Sedangkan sebagai pembahas adalah dokter Riris Andono Ahmad, epidemiolog dan Ketua Satgas Covid–19 UGM.
Vietnam adalah contoh salah satu negara yang berhasil mengontrol penyakit Covid–19 yang masuk ke negerinya sehingga wabah bisa dikendalikan. Sebagai negara yang bertetangga langsung dengan Tiongkok dengan ratusan kilometer garis perbatasan dan lalu lintas darat antar kedua negara yang intensif, Vietnam tergolong cukup rentan. Mereka mendeteksi kasus pertama pada 23 Januari 2020, hanya beberapa hari setelah pemerintah Tiongkok menyatakan lockdown di kota Wuhan.
Akan tetapi hingga 4 Juni 2020 Vietnam hanya mencatatkan 328 kasus akumulatif. Sebagian besar juga telah sembuh dan tanpa korban meninggal. Keberhasilan ini cukup mencengangkan mengingat Vietnam hanya memiliki 4,5 dokter perseribu penduduk dan 25.000 perawat. Perlengkapan kesehatan di negeri ini juga banyak yang telah kedaluwarsa.
Strategi pemerintah Vietnam dalam mengatasi wabah ini bertumpu pada perang semesta yang melibatkan seluruh komponen negara. Sebagai negara yang pernah mengalami pendudukan hingga hampir seribu tahun lamanya, Covid–19 dipandang sebagai ancaman pendudukan. Apalagi datang dari negara yang pernah terlibat pendudukan di Vietnam.
Tenaga medis, unsur keamanan (polisi / tentara) dan unsur kader partai dimobilisasi penuh di bawah komando wakil perdana menteri. Seruan dan panduan dalam menghadapi penyakit ini disuarakan berulang–ulang secara massif kepada warganya. Narasi pertempuran jangka panjang digaungkan sedari awal. Kepatuhan warga dibangun, salah satunya dengan pengawasan oleh komisi–komisi rakyat di tingkat propinsi, distrik hingga desa dalam prinsip satu komando. Paling menonjol adalah ketentuan wajib masker yang dibarengi ancaman denda cukup tinggi (antara US $ 400 hingga US $ 800) untuk pelanggarnya.
Pada sisi kuratif, surveilans pusat pengendalian penyakit nasional diubah dari berbasis kejadian menjadi rutin. Awalnya pemerintah Vietnam mengimpor rapid diagnostic test dari Korea Selatan (hingga 200.000 buah), sebelum kemudian berinisiatif mengembangkan Covid–19 test kit sendiri yang kemudian dipasarkan pula ke mancanegara. Stok pangan diperkuat sehingga Vietnam memutuskan tidak mengekspor berasnya dulu untuk sementara.
Terdapat sejumlah kebijakan turunan yang semula dianggap over reaktif namun terbukti efektif. Misalnya semua pengunjung dan pasien rumah sakit wajib menjalani tes Covid–19, penutupan arus masuk warganegara asing maupun warga Vietnam sendiri yang mudik, penghentian sementara jalur kereta api dan arus barang dari Tiongkok dan larangan ekspor alat–alat kesehatan. Namun kebijakan–kebijakan tersebut terbukti efektif.
Dengan semua upaya itu Vietnam berhasil menekan masuknya penyakit Covid–19. Pertambahan kasus harian tidak pernah melebihi 30 kasus perhari. Pertambahan kasus tertinggi terjadi pada 14 Maret 2020 yang mencapai 24 kasus per hari. Setelah itu semakin menurun.
Sukses Vietnam tentu kontras dengan apa dialami Amerika Serikat. Kasus pertama di Amerika Serikat terdeteksi sedikit lebih awal dari Vietnam, yakni pada 20 Januari 2020. Namun ia menyebar cukup cepat di dalam negeri. Sehingga per 4 Juni 2020 secara akumulatif telah terjadi 1.943.347 kasus, yang menjadi terbanyak di dunia. Pertambahan kasus baru per hari di atas 20.000 kasus sejak awal April. Jumlah kematian mencapai 112.786 kasus, juga adalah yang terbanyak di dunia.
Kontras dengan Vietnam, Amerika Serikat memang relatif tidak siap dalam menghadapi penyakit Covid–19. Meskipun mereka memiliki sumberdaya yang dibutuhkan. Memiliki memiliki rencana kesiapsiagaan sejak 15 tahun silam, memiliki mempunyai health security yang tergolong baik. Dan bahkan memiliki lembaga–lembaga kesehatan papan atas mulai dari rumah sakit, pendidikan tinggi kesehatan hingga lembaga pengendali penyakit.
Faktor utamanya adalah masalah politik, terutama karena pemilihan presiden akan berlangsung pada bulan November 2020. Faktor lainnya adalah kejadian mirip–pandemi yang disebabkan influensa di Amerika Serikat adalah terjadi secara rutin setiap tahunnya. Di tahun 2018 saja korban jiwa akibat influensa mencapai 80.000 orang, berikutnya di tahun 2019 mencapai 62.000 orang. Sehingga sempat muncul persepsi wabah Covid–19 dianggap sebagai penyakit–mirip–influensa biasa.
Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari kisah sukses Vietnam (dan sebaliknya kisah nestapa Amerika Serikat) dalam panggung Covid–19. Mulai dari melanjutkan penguatan efektivitas mobilisasi sumberdaya bangsa baik TNI / Polri, ASN, tenaga medis dan komponen–komponen bangsa lainnya dalam implementasi pembatasan sosial dan Normal Baru. Juga melanjutkan penyempurnaan dan penguatan efektifitas protokol normal baru dan implementasinya di lapangan. Kemudian melanjutkan penguatan kerjasama, gotong royong dan semangat berbagi sesama anak bangsa senasib sepenanggungan. Dan melanjutkan penguatan kesadaran dan kepatuhan diri, keluarga dan lingkungan masyarakat.
Yang tak kalah pentingnya, rasa saling percaya harus dibangun. Pemerintah harus mampu membangun komunikasi yang efektif sehingga masyarakat bisa memahami kebijakan pemerintah. Dari pengalaman di Austria dan Vietnam, pesan sederhana dan mobilisasi yang sesuai dengan lingkup sosial budayanya sangat diperlukan. Agar semua merasa menjadi satu kesatuan.