Membangun Agility Menghadapi Tatanan Baru Melalui Perubahan Perilaku

Oleh: Tri Yuli Adriana

Dalam menghadapi suatu perubahan akibat pandemi covid-19 kita harus menyikapinya dengan mempunyai kemampuan atau agility yang lentur, lebih lincah dan seimbang. Secara umum ada dua cara menyikapi suatu masalah, yang pertama adalah mereka yang termasuk golongan gumun-ers, dari bahasa Jawa yang artinya mudah kagum, terpesona, terheran-heran akan suatu hal. Bawah sadar mereka menolak, merasa tidak nyaman dan merasa tidak mampu menghadapinya. Yang terjadi mereka tidak melakukan apapun atau do nothing.

Golongan yang kedua adalah game-ers. Mereka sebenarnya terheran-heran juga namun bisa menerima, merasa tertarik dan akhirnya menjadi tertantang. Ujungnya mereka melakukan sesuatu atau do everything.

Jadi hal itu menjelaskan bagaimana kita melihat suatu masalah mampu mempengaruhi perasaan dan aksi tindakan kita. Dari mind set mempengaruhi mental set dan terakhir berpengaruh pada aksi atau perilaku.

Pertanyannya kita yang mampu mengendalikan situasi atau situasi yang mengendalikan kita? Kita akan menjadi victim / korban ataukah justru menjadi warrior / pejuang? Tentu saja kita harus mampu menghadapi tantangan di dalam perubahan yang sedang berlangsung ini. Kita harus bisa menyesuaikan diri dan jangan sampai dikalahkan oleh situasi. Sehingga proses kita membangun agility adalah proses mengelola perilaku.

Perilaku dihasilkan dari proses belajar. Perilaku adalah proses yang dipengaruhi kognitif dan lingkungan. Sehingga secara keseluruhan jika kita ingin membuat perilaku baru lakukanlah proses belajar, dan kondisikanlah kognitifnya serta lingkungannya.

Menghadapi era new normal, jangan berharap kehidupan normal seperti dulu akan balik lagi. Kita harus melakukan upaya yang adaptif menghadapi new normal. Pertanyaannya adalah ketika ada aturan atau norma yang dirubah baik oleh regulasi atau lingkungan, apakah perilaku kita bisa sejalan dengan perubahan itu?

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku. Diantaranya adalah menerapkan sistem dan aturan. Apabila aturan tersebut tidak berjalan maka dibutuhkan law enforcement. Lalu ada juga faktor pengetahuan, lingkungan, proses belajar, budaya atau adat istiadat, suasana hati dll yang kesemuanya itu bisa mempengaruhi nilai-nilai dan mind set yang akhirnya mempengaruhi kesediaan untuk berubah.

Mengelola perubahan perilaku dari unsupportive behaviour menjadi supportive behaviour, bisa dengan formula CARE (Conditioning Approach, Reinforcement & Evaluation). Pertama-tama harus ada proses pengkondisian. Tapi di tengah pengkondisian tersebut harus diberi ruang untuk belajar. Ada proses intervensi ketika ada unsupportive behaviour mind setnya tidak sama dengan yang kita harapkan. Kita juga harus menyediakan role model, serta ada proses trial & error. Apabila dirasa sudah mendatangkan manfaat baru ada proses perubahan perilaku, yang kita sebut sebagai norma.

Yang namanya proses reinforcement adalah proses yang dijalankan dari trial & error sampai menjadi sebuah norma, bukan dari belajar sejak awal. Karena meski aturan dan sanksi sudah ada, namun untuk menegakkan masih menjadi tanda tanya.

Dalam change management dibagi menjadi 2 fase yaitu sosialisasi dan internalisasi. Dalam fase sosialisasi yang terpenting adalah terjadi pergeseran paradigma seseorang. Pada tahap ini individu sadar dan paham perlunya mengubah perilaku, namun belum merasakan sebagai kebutuhan atau masih sebatas kewajiban saja. Perilaku yang baru akan muncul apabila ada ‘law enforcement’ atau pengawasan.

Kita sangat membutuhkan role model atau formal leader yang berfungsi sebagai agent of change sekaligus informal influencer. Karena yang ada saat ini kebanyakan adalah informal influencer dengan perilaku yang berlawanan dengan yang kita harapkan. Kontrol perubahan perilaku memang berbasiskan masyarakat di kelompok-kelompok kecil, tapi harus ada sparring partner yang disebut sebagai agent of change yang dibekali ilmu yang mumpuni bukan sekedar berimprovisasi.

Setelah tahap penentuan role model, berikutnya fase trial & error harus dilakukan untuk meyakinkan diri mampu atau ‘self efficacy’ yang kuat untuk menerapkan budaya / tatanan baru. Peran umpan balik yang positif menjadi penentu, karena dapat menumbuhkan optimisme yang realistis, keyakinan diri yang kuat dan kesediaan untuk berpartisipasi dengan perubahan yang diinginkan.

Pada fase internalisasi ada 3 tahap yang ditempuh. Yang pertama tahap need atau kebutuhan, yaitu melakukan perilaku baru ketika menghadapi masalah dan mulai mendapatkan pengalaman positif dari perilaku baru. Berikunya memasuki tahap buy in, yaitu melakukan perilaku baru setiap waktu dan merasa ada yang kurang atau salah kalau tidak melakukan karena sudah menjadi kebiasaan. Selanjutnya terakhir tahap ownership, yaitu tanpa diminta mengingatkan orang lain perilaku baru yang diharapkan, karena perilaku sudah menjadi norma / budaya sebuah kelompok.

Ketika semua proses belajar sudah berjalan kita akan punya referensi berupa mitigasi resiko. Semua pertanyaan dan pengalaman yang ada di masyarakat kita kumpulkan dan sudah ada jawaban serta solusinya. Sehingga bisa menjadi pembelajaran bagi wilayah lain jika ada permasalahan yang sama. Juga bisa menjadi pegangan jika ada tantangan ke depan.

*) Makalah ini disampaikan dalam ‘Seminar Online Sinergi UGM-KAGAMA Seri ke-2: Perubahan Perilaku, Tantangan Untuk Membangun Budaya Tatanan Baru’ Minggu 12 Juli 2020

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*