
Zero Error dalam Tata Kelola Makanan Skala Besar: Tantangan dan Tanggung Jawab Program MBG *
Laksono Trisnantoro
YOGYAKARTA, KAGAMA.ID — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah untuk anak-anak sekolah dan pesantren di seluruh Indonesia bukan sekadar proyek logistik. Ia adalah sistem kompleks yang menuntut tata kelola profesional, berbasis prinsip zero error, karena kesalahan sekecil apapun dalam pengelolaan makanan dapat berujung pada keracunan massal atau gangguan tumbuh kembang anak.

Dalam kajiannya, Laksono Trisnantoro menekankan bahwa pengelolaan makanan skala besar harus dipandang sebagai sektor yang tidak memiliki ruang toleransi terhadap kesalahan. Seperti halnya pilot pesawat atau dokter spesialis, koki dan tim dapur MBG—yang tergabung dalam Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG)—harus bekerja dengan akurasi tinggi dan pengawasan ketat.
Governance: Pilar Utama Sistem MBG
Governance dalam sistem kesehatan berfungsi meningkatkan kolaborasi lintas sektor dan menjadi dasar legitimasi bagi pemimpin kesehatan dalam memperbaiki kebijakan. Dalam konteks MBG, governance mencakup:
- Regulasi dan pengawasan oleh Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan.
- Pendanaan dari APBN melalui Badan Gizi Nasional (BGN).
- Pelaksanaan oleh SPPG atau mitra swasta.
- Pengembangan SDM yang kompeten dan tersertifikasi.
Model SPPG pun beragam: dari dapur yang dikelola langsung oleh BGN, kerja sama antar-instansi, kemitraan swasta, hingga dapur hybrid di daerah 3T.
Risiko dan Tantangan: Dari Bahan Baku hingga Penyajian
Potensi kesalahan dalam pengelolaan makanan skala besar mencakup:
- Pembelian bahan baku yang tidak sesuai standar.
- Proses memasak yang tidak memenuhi suhu dan waktu ideal.
- Distribusi makanan tanpa kontrol kualitas.
- Penyajian yang tidak memperhatikan suhu dan waktu konsumsi.

Kesalahan pada tahap-tahap ini dapat menyebabkan keracunan akut atau dampak jangka panjang terhadap kesehatan anak.
Indikator Kinerja dan Akuntabilitas Dana Publik
Sebagai program yang didanai APBN, MBG harus memenuhi indikator kinerja berbasis hasil. Kontrak antara pemerintah dan penyedia jasa harus transparan, berbasis pengalaman dan kinerja, serta tunduk pada regulasi pengadaan dan UU Tipikor.
Pertanyaan kritis yang diajukan Laksono mencakup:
- Apakah SDM SPPG memiliki sertifikasi?
- Apakah proses lelang terbuka dan adil?
- Siapa yang bertanggung jawab atas pengawasan lapangan?
- Apakah indikator gizi dan keamanan pangan dimonitor secara sistematis?
Peran Masyarakat dalam Pengawasan
Laksono menegaskan bahwa formal governance saja tidak cukup. Perlu keterlibatan aktif masyarakat—LSM, media, kampus, dan sekolah—dalam memberikan masukan kebijakan, menjaga kualitas pelaksanaan, dan melakukan evaluasi melalui pendekatan social audit.

“Dalam ekosistem MBG, semua pihak harus bekerja dengan prinsip zero error. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya keberhasilan program, tetapi masa depan anak-anak Indonesia,” tegas Laksono.
*) Materi ini dipaparkan pada webinar bertajuk “Keracunan Pangan dalam Program MBG: Pembelajaran dan Upaya Perbaikan untuk Pencegahan di Yogyakarta
**) Materi webinar selengkapnya bisa dilihat di Youtube Kagama Channel: