Dalam rangka ikut memeriahkan Nitilaku 2022, Kagama Pengda Bali bersama PP Kagama menggelar webinar berjudul “Bali Pasca Pandemik, Bali di Luar Pariwisata”, Jumat (16/12/2022). Webinar menghadirkan 4 narasumber, yaitu Putu Ardana, Iwan Dewantama, Agung Wedha, dan Gede Mantrayasa. Kata sambutan disampaikan oleh Ketua Kagama Bali, Agung Diatmika, dan jalannya acara dipandu oleh Sukma Arida.
Narasumber pertama, inisiator Petani Muda Keren, Agung Wedha menjelaskan perspektif Bali sebelum dan setelah pandemi di sektor pertanian. Dengan petani muda lainnya ia melakukan empowering ke banyak petani di masa pandemi. Menurutnya, pertanian menjadi fundamental activity di saat pandemi.
Visi yang diusungnya, yaitu bertani organik atau ramah lingkungan untuk menjaga bumi tetap sehat, sehingga pertanian akan menjadi sustainable business. Tujuannya agar anak cucu kita tetap akan bisa menikmatinya kelak.
“Ayo jaga air di pulau Bali. Bukan karena ada air ada pohon, tapi karena ada pohon ada air,” ujar Agung.
Agung membuat gerakan “Orang Bali Suka Menanam” dengan didasari prinsip Bali itu pertanian, pertanian itu air, dan air itu hutan. Jika kita menjaga pertanian dan hutan, maka otomatis air akan tetap terjaga pula. Selama air masih ada, maka alam Bali dan Nusantara akan tetap lestari.
Semua itu merupakan konsep holistik bertajuk BALI, singkatan dari Bantu Ayah Lindungi Ibu. Ayah adalah udara dan air, ibu adalah tanah air. Selagi kita memuliakan alam, maka pastinya alam akan memuliakan kita.
Agung menambahkan, di Bali pertaniannya berbasis budaya, dan budaya lahir dari sektor pertanian. Kita memuliakan air dan subak sehingga Bali bisa menjadi seperti sekarang.
“Pariwisata hanyalah bonus dari pertanian. Pariwisata bisa hancur karena merubah pertanian,” ucapnya.
Agung melanjutkan, tahun 80-an Bali mendapatkan ledakan ekonomi akibat suksesnya pariwisata yang lahir dari pertanian. Pada masa pandemi di Bali terjadi kekacauan ekonomi akibat pariwisata yang meninggalkan pertanian. Kita terlalu mengutamakan pariwisata dengan melupakan pertanian, sehingga ketika pandemi melanda Bali terkena dampak ekonomi yang dahsyat
Petani adalah penjaga tanah air negara Indonesia. Agung mengutip kata-kata Presiden Soekarno, “Selagi kita bisa mengontrol pangan kita, maka negara kita akan baik-baik saja”. Agung meyakini, peran petani sangat fundamental dalam menjaga ketahanan pangan.
Di masa pandemi, Agung bersama Petani Muda Keren melakukan empowering kepada banyak petani. Ribuan tenaga kerja di sektor parisiwisata yang terdampak pandemi dan pulang kampung tanpa pekerjaan, dibimbing untuk menjadi petani baru.
Agung akhir-akhir ini juga mengembangkan apa yang disebut Tourisme Supporting Agriculture (TSA), yaitu pariwisata mendukung pertanian. Menurutnya, di Bali selama ini terjadi salah kaprah, yaitu pertanian dipakai sebagai atraksi pariwisata. Turis datang kita baru menanam padi dan membajak sawah. Jadi fokusnya atraksi bukan berproduksi.
Paradigma yang salah itu kemudian diubahnya. Diperbanyaklah kebun cantik ditanami buah-buahan dan sayur-sayuran. Fokusnya berproduksi, bonusnya adalah pariwisata. Orang datang untuk belajar bertani, dan memperoleh pengalaman bertani.
“Ke depan petani tidak boleh sebagai obyek lagi namun harus menjadi subyek pariwisata. Petani harus menjadi tuan di tanahnya sendiri, bukan investor yang menguasai lahan-lahan di Bali,” pungkas Agung.
Narasumber kedua, Gede Mantrayasa mengatakan kegiatan di Bali hampir selalu terkait dengan adat, dan terfokus kepada apa yang dinamakan Parahyangan. Tugas desa adat hanya pada kegiatan adat, khususnya Parahyangan. Namun sering terlupakan ternyata banyak sekali kewajiban atau beban yang disandang oleh tetua adat.
Kemudian di desa ada masalah lingkungan atau Palemahan, seperti urusan sampah. Di situ sering terjadi benturan kepentingan antara desa adat dan kedinasan. Kadang semua masalah dilemparkan ke kedinasan tanpa kita melakukan sesuatu.
Lalu untuk masalah yang disebut Pawongan kadang hanya terpikirkan tentang urusan pernikahan dan kematian. Tetapi jarang sekali yang berbicara bagaimana menyiapkan penjuru-penjuru adat.
Jadi sulit sekali di Bali mencari kelian adat dan pengurus adat lainnya. Karena kebanyakan tidak ada keterikatan dengan desanya atau tidak ada kepedulian.
“Orang pintar banyak tapi yang peduli membangun desanya sedikit,” tegas Gede.
Dari hal-hal tersebut di atas membuat Gede tergerak untuk menyiapkan SDM yang mumpuni agar supaya desa atau banjar bisa berdaya untuk menyelesaikan masalah masyarakatnya. Ia kemudian memulai gerakannya dari anak-anak dengan mendirikan Komunitas Sahabat Alam “Natah Rare”. Komunitas tersebut tidak hanya mengajarkan anak-anak seni budaya saja, namun juga mengasah kepedulian mereka kepada lingkungan dan rasa empati kepada sesama.
Awal mulanya pada tahun 2019 Gede membuat Gerakan Banjar Berdaya yang diawali dengan kegiatan Pasraman Hijau, yang menyasar anak-anak untuk memahami permasalaham lingkungan dan mengajak mereka untuk menyampaikannya melalui berbagai media, seperti membuat majalah dinding sebagai ssebuah infografis, mengolah barang bekas menjadi sebuah kerajinan, menciptakan lagu bertema lingkungan, dll. Puncak acara sepekan Pasraman Hijau bertepatan dengan Tumplek Wariga, hari di mana masyarakat Bali memuliakan alam dan lingkungan, khususnya tumbuh-tumbuhan.
“Komunitas ‘Natah Rare’ lahir tahun 2020, sebagai kelanjutan dari Pasraman Hijau. Lewat komunitas tersebut, kami mengajak anak-anak untuk mengetahui masalah lingkungan secara riil, dengan mengajak mereka misalnya turun langsung ke tempat pembuangan sampah, dan mengkampanyekan menolak plastik sekali pakai,” demikian kata Gede mengakhiri paparannya.
Narasumber ketiga, Iwan Dewantama, mengatakan ia berbicara dalam kapasitasnya sebagai Satgas Desa Inklusif. Desa Inklusif adalah tatanan masyarakat desa yang mengakui, menghormati, memenuhi, melindungi serta melayani hak-hak seluruh warga desa termasuk masyarakat rentan dan marjinal.
Desa Inklusif adalah salah satu program Kagama yang dijalankan sebagai mandat sinergi tiga lembaga yaitu Kemendesa PDTT, UGM, dan Kagama, sejak tahun 2020. Pilot Desa Inklusif Kagama ini mengacu pada panduan fasilitasi Desa Inklusif yang dikembangkan oleh Kemendesa PDTT namun dilaksanakan secara khusus di lokasi yang dipilih Kagama dan dijalankan oleh kader-kader Kagama.
Di Bali ada satu desa yang terpilih sebagai Desa Inklusif, yaitu Desa Pempatan yang terletak di Kec. Rendang, Kab. Karangasem, dan secara geografis dekat dengan Pura Besakih. Desa Pempatan dipilih karena memiliki keunikan dan potensi yang ada.
Sampai saat ini perubahan yang terjadi di Desa Pempatan cukup signifikan. Dengan dukungan yang relatif minim, namun perkembangannya mampu melampaui harapan awal.
Semua itu tak lepas dari momen-momen penting yang terjadi, seperti kunjungan Ketua Umum PP Kagama, Ganjar Pranowo ke Pempatan, yang sangat konsen ke pemberdayaan desa sebagai unit terkecil pemerintahan, dan menjadi kunci penting pendukung negara.
Ketika Ganjar berkunjung ke Desa Pempatan pada akhir Maret 2022, terkuak potensi keberadaan anggrek beberapa spesies. Ganjar saat itu juga langsung memberi arahan kepada Komunitas Kagama Orchids (KO) untuk menindaklanjuti, khususnya buat tujuan konservasi.
“Jadi ada dua momen penting, yaitu kunjungan Ganjar dan pelatihan tentang anggrek oleh kawan-kawan KO, sangat menyentuh masyarakat Pempatan. Yang mana hal itu membuat progresnya sebagai Desa Inklusif jadi kelihatan nyata,” ucap Iwan.
Ketika kita bicara desa sebagai ideologis, kita cenderung terjebak kepada wacana pilkades, anggaran dana desa, politik, dsb. Jika di Bali berkutat pada peran desa adat dan desa dinas. Kita tidak mau masuk lebih dalam lagi untuk membahas bagaimana proses demokratisasi berjalan di tingkat desa, dan bagaimana musyawarahnya melibatkan semua elemen masyarakat.
Yang mana semua itu menjadi kunci pesan dari desa inklusif. Sehingga demokratisasi di desa bisa terejawantahkan dan pembangunan yang melibatkan semua pihak terjadi. Dengan demikian diharapkan penggunaan dana desa menjadi optimal.
Dana desa yang dikucurkan pemerintah era Jokowi sangat besar mulai tahun 2015 dan meningkat terus sampai saat ini. Artinya komitmen presiden terhadap penguatan desa sangat besar.
“Persoalannya adalah bagaimana penyerapannya,” ujar Iwan setengah bertanya.
Karena selama ini ditengarai masih banyak kesalahan tata kelola keuangan terjadi. Termasuk bagaimana banyak aparat desa yang terkena kasus penyelewengan dana desa.
Itu adalah masalah riil yang terjadi di tingkat desa. Dan sebagai warga Kagama, Iwan dkk mencoba menjadi bagian dari penguatan desa lewat program Desa Inklusif. Ia berharap apa yang terjadi di Desa Pempatan akan terhubung dengan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kawan-kawan Kagama lainnya di seluruh Bali, seperti apa yang sudah diuraian 2 narasumber sebelumnya.
Iwan ingin Desa Pempatan menjadi showcase kita bersama. Agar kita tidak hanya terlihat sekedar guyub dan rukun saja, namun juga migunani dalam konteks jangka panjang. Bagaimana desa dengan pendampingan Kagama akan semakin kuat, dan di situlah migunaninya Kagama benar-benar terwujud. Penting bagi kita untuk menguatkan sel-sel yang ada di Kagama, baik dalam konteks lokal Bali dan nasional.
“Semoga desa-desa akan menjadi organ pemerintahan lebih kuat lagi, dan menjadi kekuatan pilar kebangsaan, sebagai landasan menuju Indonesia maju di tahun 2045 kelak. Desa kuat maka Indonesia akan hebat!” pungkas Iwan.
Narasumber terakhir, Putu Ardana yang akrab disapa Kaweng, di awal pemaparan menceritakan tentang Masyarakat Adat Dalem Tamblingan (MADT), yaitu sebuah masyarakat adat yang sangat tua. Prasasti tertua yang menyebut eksistensi MADT adalah Prasasti Ugrasena yang bertarikh 922 M.
Keimanan masyarakat adat tersebut juga unik yang disebut “Piagem Gama Tirta”, yakni keimanan yang memuliakan air dan menjaga harmoni dengan alam. MADT awalnya bermukim di hutan sekitar danau. Hutannya disebut Alas Mertajati atau sumber hidup yang sesungguhnya, dan danaunya bernama Tamblingan yang berasal dari kata tamba dan eling yang artinya obat penjaga kesadaran.
Pada abad ke-14, MADT memutuskan menggeser pemukimannya ke daerah yang sedikit lebih rendah dan menjadikan kawasan pemukiman awal mereka sebagai kawasan suci. Kawasan suci berupa Alas Mertajati dan Danau Tamblingan dijadikan sebagai sumber utama kehidupan yang tidak boleh diutak-atik. Untuk berkehidupan, mereka bersepakat hanya mengambil dari rembesannya saja, bukan dari sumber utama tersebut.
Dalam konteks kekinian, Alas Mertajati yang merupakan bagian dari Cagar Alam Batukaru adalah penghasil jasa-jasa ekosistem yang perannya besar sekali untuk Bali. Ada yang mengatakan Cagar Alam Batukaru adalah pemasok 1/3 air untuk seluruh kebutuhan Bali.
Sejak kemerdekaan, pemerintah mengklaim kawasan suci MADT sebagai milik negara lewat SK Menteri. Pada tahun 1996, kawasan suci yang tadinya berstatus hutan tutupan diturunkan statusnya menjadi TWA (Taman Wisata Alam). Pada tahun 2014 SK Menteri diperkuat lagi dengan menambah luasan TWA menjadi 1.800 hektar.
Dengan status TWA dan semakin pesatnya perkembangan pariwisata di Bali maka para investor mulai meliriknya. Kaweng mengaku tersinggung dengan kehadiran salah satu investor besar karena mereka akan menjual ritual ibadah di kawasan MADT sebagai tontonan.
Kaweng kemudian memimpin masyarakat adat melawan tekanan-tekanan dalam berbagai bentuk dari investor maupun pemerintah yang mau mengubah kawasan suci mereka menjadi kawasan wisata. Sampai saat ini, berkat keteguhan dan kekompakan perlawanan MADT, belum ada satupun investor yang berani mengeksekusi ijin yang sudah mereka kantongi.
Karena melakukan perlawanan begitu melelahkan, akhirnya Kaweng memimpin untuk memperjuangkan agar hutan suci mereka dikembalikan posisinya menjadi hutan adat untu bisa disucikan seperti semula sehingga tetap bisa menjadi sumber hidup utama bagi MADT. Karena UU yang ada memang memungkinkan tentang adanya desa adat.
Perjuangan mengembalikan hutan adat diawali pada tahun 2018 dengan melakukan pemetaan partisipatif yang melibatkan hampir semuanya anak-anak muda MADT. Selain pemetaan spasial juga dilakukan pemetaan sosial budaya, potensi ekonomi, inventarisasi flora fauna, pemetaan mata air, dsb.
Pelibatan anak-anak muda dimaksudkan untuk melakukan transformasi nilai-nilai luhur yang diwariskan para leluhur MADT untuk memuliakan air dan menjaga harmoni dengan alam. Juga untuk menumbuhkan kepedulian mereka kepada masyarakat adat.
Menurut Kaweng, sayangnya hambatan terbesar dari perjuangan hutan adat ini justru datang dari Pemda Tingkat II yang sampai saat ini masih belum mau menandatangani peta wilayah adat MADT. Tetapi pendaftaran pada KLHK sudah dilakukan pada awal 2021 dengan persyaratan yang belum lengkap, yaitu tanpa tanda tangan bupati.
Ia menyatakan stigma terhadap MADT yang anti investasi adalah tidak benar. Kalau mau berinvestasi kenapa harus di dalam kawasan yang jelas-jelas adalah kawasan suci dan penghasil jasa-jasa ekosistem? Kenapa tidak di luar kawasan saja toh masih banyak tanah kosong!” ujar Kaweng tegas.
Ia setuju dengan pernyataan Bali sudah sangat tergantung kepada pariwisata. Menurutnya, pariwisata yang awalnya adalah dampak atau bonus dari laku hidup dan budaya masyarakat bali, sudah bergeser menjadikan pariwisata sebagai tujuan. Model pariwisata sebagai tujuan, membuat Bali hampir sepenuhnya sudah tergantung kepada pariwisata. Ketika pariwisata kolaps maka Balipun juga ikut kolaps. Hal itu sangat nyata pada saat terjadi pandemi beberapa waktu lalu.
“Industri pariwisata tidak ada bedanya dengan industri pertambangan yang destruktif. Kalau dalam industri pertambangan yang ditambang adalah mineral pemberian alam, maka dalam industri pariwisata yang ditambang adalah peradaban yang dibangun oleh komunitas selama ratusan tahun,” pungkas Kaweng.
*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: