Syawalan 1445 H UGM – KAGAMA: Kagama Batik & Wastra Gelar Peragaan Busana Etnik Nusantara dan Lelang Batik untuk Beasiswa

Seperti tradisi tahun-tahun sebelumnya, UGM bersama Kagama kembali menggelar syawalan di Balairung UGM, Minggu (28/4). Acara yang dihelat secara hybrid tersebut diikuti oleh ratusan peserta baik yang mengikuti lewat daring dan yang datang langsung ke Balairung.

Beberapa komunitas Kagama diundang oleh panitia sebagai hiburan untuk memeriahkan acara, seperti Kagama Dansa Seirama, Komunitas Sajiwa, dan Kagama Batik & Wastra (KBW). Yang menarik, KBW bukan hanya menampilkan hiburan lewat peragaan busana etnik Nusantara, namun juga mengadakan lelang batik yang hasilnya dipergunakan untuk dana beasiswa.

Peragaan busana berlangsung meriah dan mengandung sedikit kelucuan, karena peragawan dan peragawatinya bukan model profesional, tapi dari warga Kagama sendiri. Beberapa di antaranya adalah pejabat di lingkungan akademik UGM.

Model prianya yaitu mantan wakil rektor UGM yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Kahgama, Prof. Paripurna P. Sugarda, Direktur Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat, dr. Rustamaji, dan aktivis Kagama Care, drg. Agus Ramli. Sedangkan model wanitanya adalah Kepala Kantor Alumni UGM, Dr. Sulistyowati, dosen Sastra Indonesia, Dr. Novi Indrastuti, dr. Yanri Subronto, dan anggota PPBI Sekarjagad, Yudi Aning.

Busana etnik Nusantara yang diperagakan merupakan karya desainer warga Kagama alumnus Fak. Pertanian yang sedang naik daun, Tyas Moer. Sementara bertindak sebagai koreografer adalah alumnus Fak. Psikologi bernama Bagus Setyoko.

Seusai fashion show berakhir, dilanjut acara lelang “Batik Tiga Negeri Keluarga Tjoa”, koleksi dari pembina KBW yang juga adalah Wasekjen Bidang VI PP Kagama, Sulastama Raharja. Jalannya lelang dipandu oleh Ketua KBW, Nurhayati Nirmalasari atau biasa akrab disapa Nungki.

Nungki menjelaskan kepada hadirin apabila “Batik Tiga Negeri” adalah batik yang langka. Batik tersebut diproduksi oleh keluarga Tjoa sejak tahun 1910. Produksi berlanjut hingga generasi ketiga, sebelum akhirnya berhenti pada tahun 2014.

Jika harganya relatif mahal, menurut Nungki hal itu wajar dikarenakan prosesnya yang begitu rumit. Teknik pembuatannya melibatkan proses pewarnaan yang kompleks dan memerlukan keahlian tinggi, di mana kain batik akan dibawa ke tiga kota yang berbeda untuk mendapatkan warna khas masing-masing, yaitu Lasem untuk warna merah, Pekalongan atau Kudus untuk warna biru, dan Solo atau Yogyakarta untuk warna cokelat soga.

Nungki sangat gembira dan bersyukur, hasil dari lelang 4 helai kain batik totalnya Rp. 35 juta. Keseluruhan hasil lelang diserahkan kepada UGM selaku pengelola beasiswa untuk adik-adik mahasiswa yang membutuhkan.

“Sebuah angka yang mungkin relatif tidak banyak, namun semoga bisa membantu yang menerimanya,” ujar Nungki.

Kepada kagama.id, ia mengatakan dalam syawalan kali ini KBW membawa 2 misi, yaitu yang pertama memperkenalkan busana etnik Nusantara dan batik klasik kepada hadirin. Yang kedua, mengusung misi sosial menghimpun donasi untuk beasiswa lewat lelang batik.

“KBW akan berupaya tetap konsisten nguri-uri warisan adiluhung leluhur, khususnya wastra Nusantara. Ke depan kami ada rencana membuat acara peragaan busana tradisional lagi yang lebih besar skalanya. Mohon doa restunya,” pungkas Nungki.