Minggu (23/8/2020) jam 13.30 – 17.00 WIB telah terselenggara dengan sukses Webinar Sinergi UGM-KAGAMA #3 berjudul “Membangun Komunitas yang Tangguh pada Era Adaptasi Kebiasaan Baru”, yang diikuti oleh sekitar 500 lebih peserta. Berkenan memberikan kata sambutan adalah Ir. Budi Karya Sumadi (Menteri Perhubungan & Waketum 1 PP Kagama) dan Prof. Dr. Paripurna P. Sugarda (Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni). Lalu hadir pula Ganjar Pranowo Ketua Umum Kagama dan Dr. Pujo Semedi, MA dosen senior antropologi sebagai keynote speaker. Webinar menghadirkan 4 narasumber yaitu Ir. Ardiati Bima yang merupakan pelopor gerakan canthelan, Dra. Chandra Kirana Prijosusilo, Psi., Rimawan Pradiptya, S.E., M.Sc., Ph.D. dosen FEB & pendiri gerakan SONJO, dan Wisnu Budi Ardianto, SE penggerak masyarakat Siaga Covid-19. Tampil sebagai pembahas yaitu Achmad Munjid, Ph.D. dan sebagai moderator adalah Rahmawati Husein, Ph.D.
Tampil pada awal acara ketua panitia webinar Sulastama Raharja (Wasekjen VI PP Kagama) menyatakan bahwa webinar kali adalah langkah awal inisiatif untuk membangun komunitas yang tangguh pada era adaptasi kebiasaan baru menghadapi pandemi Covid-19, membangun kajian secara komprehensif, menemukan rumusan solusi untuk menerapkan cara membangun komunitas yang tangguh pada berbagai ragam arah kebijakan pemerintah, dan menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19. Selama ini Kagama sudah berpartisipasi aktif dalam segala upaya menciptakan komunitas yang tangguh pada era adaptasi kebiasaan baru, khususnya dalam ketahanan pangan melalui program cantelan dan pertanian perkotaan atau urban farming. Saat ini tercatat canthelan sudah tersebar meliputi 23 provinsi dengan sejumlah 121 lokasi di 46 kota. Lalu ada 108 kelompok masyarakat di 14 provinsi yang menjadi partner Kagama dalam pertanian perkotaan. Kegiatan ini melengkapi kegiatan Kagama sebelumnya yaitu pembagian APD bagi tenaga medis di 220 fasilitas kesehatan di 34 provinsi. Hal ini membuktikan bahwa Kagama senantiasi berbakti dan mengabdi pada ibu pertiwi.
Prof. Paripurna selaku Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni menyoroti hubungan antara UGM dengan Kagama yang sangat erat kerja samanya. UGM dan Kagama tidak bisa dipisahkan. UGM adalah rumah Kagama, sebaliknya Kagama adalah rumah UGM. Sehubungan dengan tema membangun komunitas yang tangguh pada era adaptasi kebiasaan baru, UGM telah melakukan KKN secara daring yang bertujuan bukan saja untuk melakukan penjelasan tentang protokol kesehatan dan mencari solusi-solusinya di suatu wilayah, namun juga menumbuhkan kegiatan ekonomi.
Kita harus terus berupaya memelihara kearifan lokal dalam arti geografis, administratif dan daring. Karena setiap kumpulan atau society selalu memiliki semacam common norm atau normal bersama. Normal bersama itulah yang sangat efektif untuk mendorong masyarakat mematuhi protokol kesehatan, dan pada saat yang sama menggiatkan lagi aktifitas ekonomi secara paralel. Hal itu memang tidak mudah, namun dengan kerja sama yang kuat akan membuat kita mampu memberikan kontribusi besar bagi pemerintah dalam rangka membangun komunitas yang tangguh pada era adaptasi kebiasaan baru.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang tampil sebagai pembuka berikutnya, mendukung pernyataan Prof. Paripurna bahwa UGM dan Kagama selalu memberikan solusi bagi bangsa. Suatu semangat yang tidak pernah kenal lelah. Saat ini pandemi masih ada dan entah kapan akan berakhir, namun memenuhi permintaan Presiden kita tetap harus melakukan ikhtiar-ikhtiar agar ekonomi terus berjalan. Agar masyarakat semakin tidak terpuruk, tetap mendapatkan pekerjaan dan sumber-sumber pendapatan. Sinergi UGM – Kagama yang kita lakukan ini semoga bisa memberikan solusi, yang salah satu medianya adalah menitipkan pesan lewat kegiatan KKN yang kita lakukan dengan ide dan pemikiran original yang sangat bermanfaat buat masyarakat Indonesia.
Masalah ekonomi rumah tangga petani yang tangguh dan punya kemampuan untuk pulih kembali ketika mengalami tekanan menjadi inti pembahasan Pujo Semedi. Ketangguhan ekonomi rumah tangga tersebut tidak terbentuk dalam waktu singkat, namun merupakan hasil sejarah panjang konstruksi relasi manusia dengan lingkungan dan manusia lainnya. Dari hasil penelitiannya di Petungkriyono, Pekalongan, membuktikan di masa pandemi ini kehidupan sosial rumah tangga petani di daerah tersebut teruji ketangguhannya. Ketangguhan yang dicapai melalui penciptaan relasi ekosistem dan diproteksi melalui relasi politik-ekonomi tertentu. Di Petungkriyono para petani dengan serius menjaga agar tidak terjadi akumulasi akses terhadap semua sumberdaya. Juga agar tidak terkadi dominasi kekuasaan politik-ekonomi. Jika dilihat dalam perspektif yang lebih luas, apa yang oleh warga Petung disebut brayan dan sepada-pada, dalam pemikiran Pujo adalah ungkapan prasaja dari sila Keadilan Sosial. Atmosfer politik-ekonomi yang ber-Keadilan Sosial harus ditegakkan guna melindungi pemerataan akses ekonomu dan politik warga. Kemampuan warga untuk menegasi akumulasi politik-ekonomi harus dipelihara, jangan sampai terjadi adigang adigung adiguna atau kesewenang-wenangan. Dua hal tersebut yang mungkin bisa membantu membangun ketangguhan sosial-ekonomi rakyat jelata.
Peran UGM dan Kagama yang aktif memberdayakan masyarakat di kala pandemi menjadi sorotan Ganjar Pranowo, seperti melakukan pengadaan APD dan mempelopori gerakan canthelan yang bertujuan untuk menjaga ketahanan pangan. Dalam penanganan pandemi unsur pemaksaan sangat tidak efektif, namun dengan konsep dimanusiakan atau diuwongke akan lebih tepat mengena sasaran. Di kala instruksi top down kurang efektif maka kemudian dibalik menjadi bottom up, sehingga ketemu pada titik sepakat sehingga konsensusnya bisa dibangun bersama-sama. Jogo Tonggo adalah contohnya, yang mampu mempertemukan aturan top down dengan bottom up mempergunakan kekuatan masyarakat. Dari jogo tonggo kemudian berkembang menjadi jogo kerjo di lingkungan pekerjaan, jogo santri-kyai di lingkungan pesantren, dan jogo pasar, agar basis komunitas di masyarakat bisa didorong. Namun konsep yang muluk-muluk tidak akan berjalan tanpa adanya pendamping, karena peran pendamping sangat penting. Basis komunitas di masyarakat harus kita kuatkan dengan melibatkan tokoh-tokoh setempat, dan membuat partnershipnya dengan pemerintah. Sekecil apapun kreasi dan inovasi kita yang berbasis lokalitas menjadi sangat penting.
Pelopor gerakan canthelan Ardiati Bima (Fak. Pertanian ’86) menjelaskan bagaimana komunitas canthelan pelan-pelan berkembang menjadi semakin membesar. Program sinergi dengan Kagama Care tersebut saat ini sudah tersebar pada 121 lokasi di 46 kota meliputi 23 provinsi, dengan penerima sekitar 1000 keluarga / hari. Canthelan kemudian juga menjalin sinergi dengan beberapa pihak seperti masuk pada program-program yang dijalankan oleh KKN UGM. Seiring waktu berjalan kemudian berkembang menjadi gerakan ketahanan pangan dan urban farming, yang tentu saja melibatkan Kagama Care juga. Yang menarik adalah kemudian lahir banyak varian dari canthelan yaitu warung suka-suka bayar seikhlasnya, pasar tiban membayar dengan nominal tertentu dan bebas memilih sembarang jenis barang dengan jumlah maksimal tertentu, memproduksi makanan di mana keuntungannya dikembalikan lagi untuk pembiayaan canthelan, Canthelan Bibit Sayuran, Canthelan Kerja Kebun, dll. Yang membuat Ardiati kagum sekaligus trenyuh adalah kegiatan canthelan ini mampu menggerakkan seluruh segmen warga dan mewadahi warga yang tidak punya dana besar tetapi ingin berdonasi dalam bentuk apa saja. Ada yang hanya menyumbang telur 2 butir, pepaya 1 buah, mie 2 bungkus dll juga sudah bisa ikut berpartisipasi dan bermanfaat buat warga lainnya.
Narasumber berikutnya, Chandra Kirana Prijosusilo menyebutkan bahwa Covid-19 penyebab krisis ekonomi hanyalah simptom dari persoalan yang lebih fundamental yaitu perubahan iklim dan kolaps biodiversiti. Virus tersebut menghinggapi manusia karena inang aslinya yaitu binatang liar semakin kehilangan habitat. Menaklukkan Covid-19 tanpa menanggulangi perubahan iklim dan mencegah hancurnya biodiversiti, hanya akan bersifat sementara karena bisa dipastikan akan terus bermunculan virus-virus sejenis lainnya. Budaya agro-ekologi tradisional Indonesia terbukti tangguh dan teruji menghadapi gelombang krisis perekonomian dan pangan. Juga memegang kearifan yang bisa menjadi jawaban bagi krisis perubahan iklim, krisis erosi genetika, krisis pangan dan krisis ekonomi. Kita semua perlu lebih memahami, menghargai dan membangun masa depan dengan kearifan yang terkandung di dalamnya.
Chandra yang merupakan penggiat komunitas berbagi benih menjelaskan pentingnya menjaga kelestarian seluruh alam, salah satunya adalah lewat berbagi benih kehidupan. Benih adalah warisan kehidupan yang wajib dijamin kesediannya untuk semua manusia, seperti juga air dan udara. Chandra meyakini bahwa di tanagan rakyat, bila pemerintah mendukung dengan mumpuni, maka dalam jangka panjangnya benih warisan bisa menjadi landasan bagi pengembangan ekonomi Indonesia yang lestari dan adil.
Narasumber ketiga, Rimawan Pradiptya selaku pendiri gerakan SONJO (Sambatan Jogja) menjelaskan SONJO adalah salah satu strategi bertahan di masa pandemi. Dalam menghadapi Covid-19 kita ‘berperang’ dalam jangka panjang, diperkirakan paling cepat 2 tahun ke depan baru berakhir. Artinya strategi yang kita lakukan juga harus secara jangka panjang. Konsep yang dipakai SONJO adalah fokus pada upaya untuk bertahan hidup dan melakukan perubahan kecil secara rutin setiap hari. Karena perubahan besar pada dasarnya adalah akumulasi dari perubahan kecil. Perubahan-perubahan yang terjadi pada akhirnya akan membentuk norma baru. Norma yang terbentuk pasca Covid-19 ditentukan oleh norma mayoritas yang berkembang di masa pandemi.
Di masa pandemi mustahil semua urusan kita minta bantuan ke pemerintah. Masyarakat harus mengandalkan dirinya sendiri. Hal itulah yang terjadi di SONJO yang mengandalkan semua resources kecuali uang, dengan cara kerja sama dan tanggung renteng. Landasan yang dipakai adalah sambatan atau mobilisasi sumber daya. Sambatan adalah bentuk gotong royong yang tumbuh subur di pedesaan Jawa, yang konsepnya memobilisasi sumber daya di masyarakat untuk mengatasi kelangkaan modal. Melalui sambatan, tenaga kerja dan waktu ditransformasikan menjadi modal. Pola sambatan (gotong royong) dapat digunakan untuk mengatasi dampak Covid-19 secara bersama-sama.
Narasumber terakhir, Wisnu Budi Ardianto memaparkan tentang mewujudkan masyarakat tangguh Covid-19 melalui sinergi kampung – kampus – Kagama, dengan studi kasus di kampungnya sendiri yaitu RW 03 Padukuhan Kocoran, Caturtunggal, Depok, Sleman. Karena Padukuhan Kocoran sangat dekat dengan lingkungan kampus UGM maka penting sekali untuk melakukan sinergi di antara keduanya dalam menghadapi ancaman Covid-19. Sosialisasi kepada seluruh warga terutama para pemilik kost tentang protokol kesehatan sering dilakukan, juga dimohon semuanya untuk tertib administrasi seperti harus adanya surat pengantar dari daerah asal bagi mahasiswa yang sudah mulai kembali ke kostnya masing-masing.
Selain menjalin kerja sama dengan padukuhan lain di sekitarnya, di mana untuk berkomunikasi mereka mempergunakan radio komunikasi yang jenisnya Radio Pancar Ulang (RPU), warga Kocoran juga bekerja sama dengan KKN PPM UGM yang berlangsung secara daring. Adik-adik KKN menshare booklet, leaflet, buku, dll, yang dikirimkan secara online kepada pengurus RW dan kemudian baru disampaikan kepada warga. Lalu ada juga webinar tentang kesehatan yang narasumbernya dari UGM agar warga semakin melek literasi dalam menghadapi pandemi. Kemudian sering diadakan sosialisasi Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) oleh Satgas Covid UGM yang diikuti oleh pengurus kampung, tokoh masyarakat, wakil PKK, wakil pemuda, wakil pelaku usaha dan wakil pemilik kost.
Dalam perkembangannya sinergi tidak hanya terjadi dengan kampus UGM namun juga dengan Kagama, seperti program canthelan yang diinisiasi oleh Kagama yang kemudian dikloning oleh warga kampung. Sinergi yang terjadi pada ujungnya adalah menyiapkan perubahan melalui adaptasi kebiasaan baru dengan 5 langkah strategis, yaitu menyiapkan agent of change (dosen & mahasiswa), sosialisasi dan edukasi kepada warga, pendampingan fase transisi menuju AKB, internalisasi ke warga dan mengumpulkan inisiasi baru sebagai bentuk perubahan perilaku, dan pada akhirnya menciptakan warga menjadi agent of change dan inisiator perubahan perilaku.
Leave a Reply