Metamorfosis Kagama Canthelan

Oleh: Tegus WS

“Baru kelihatan pagi ini cing? Kemarin ga ikut ambil?”

“Kemarin, saya ada kok. Tapi malu kalau berebutan barang gratis. Saya ngeliat aja, seru!”, jawab encing Sanin, yang tinggal di kampung atas kompleks perumahanku.

“Kenapa malu cing?” tanyaku penasaran.

“Ga apa-apa sih pak!” Dia diam sejenak sambil menoleh ke barisan ibu-ibu yang sedang menunggu panggilan ibu Dian, salah satu motor penggerak Pasar Noceng yang digelar di pojok taman cluster tempatku tinggalku. “Biar kite orang ga mampu, tapi kalau harus berebut barang gratis dan ga dapat apa-apa, malu pak!” lanjutnya.

Encing Sanin kemudian melanjutkan cerita, kalaupun harus antri menunggu panggilan pagi ini, tidak ada yang menjadikannya malu. Ia lebih bangga membeli daripada menerima gratisan, terutama ketika itu semua harus terjadi melalui adegan rebutan.

“Bener pak!”, timpal mpok Daweng. “Kalau pakai bayar begini, kami lebih seneng. Boleh banggalah pak, meski belinya pakai antri di pasar murah begini,” yang serentak dibenarkan oleh beberapa ibu yang ikut nguping obrolanku dengan encing Sanin dan mpok Daweng.

Menjadi Awal Wajah Baru Kagama Canthelan (KC)

Obrolan dengan ibu-ibu warga kampung Pengasinan Kota Bekasi pagi itu menjadi klimaks dari semua kegiatan Canthelan yang kumulai awal minggu ke-3 Juni lalu hingga sekarang. Ungkapan kebanggaan hati mereka ketika membeli dan bukan di saat menerima gratisan, seperti titik orgasme dari foreplay panjang canthelan yang kusiapkan dalam beberapa minggu ini. Luar biasa. Jauh diatas semua gagasan charity sederhana ketika membagikan sesuatu secara gratis. Wall of Fame ternyata tak harus terisi oleh gemerlap prestasi dan kesuksesan, dari ruang yang sesak bagi yang tak berharta dan berkekuranganpun, kilau hati mereka mampu menghiasi perasaanku.

Diawali dengan 7 kantong plastik berisi paketan sayur asem, minyak goreng 360 ml, tempe dan bumbu instant sayur asem, yang jika dinilai sekitar 15 ribuan kala itu. Hingga hari ke-18 semua berjalan lancar dan jumlah paketan setiap hari bertambah hingga terakhir sekitar 20 paket.

Melihat orang-orang berebut dan banyak yang tidak mendapatkan paket gratisan, mulailah berpikir apa yang kira-kira lebih manusiawi dan akan menjangkau lebih banyak warga yang datang untuk sekedar mendapatkan sayuran atau bahan pokok yang dicanthelkan pagi itu.

Setelah ngobrol dengan beberapa ibu-ibu pengambil canthelan, mereka setuju kalau hari ke-19 para pengambil Canthelan diminta menaruh uang sedekah, minimal 2000 rupiah, bahkan ada ibu-ibu yang setuju 5000 rupiah. Dan “canthelan dengan sedekah” tersebut berjalan selama dua hari tanpa masalah apapun. Ibu-ibu pemulung dari RT sebelah tetap datang dan menaruh uang di kotak. Janda tua dari RT di pinggir jalan Tol, juga datang dengan sedekah yang sama. Ibu warung rokok di pojok jembatan, yang dagangannya bisa dihitung dengan jari, juga datang dengan menaruh sedekah yang tak kalah dengan yang lain. Semua tetap datang dan tetap berebut. Tetap saja banyak yang tidak kebagian.

“Pak, saya sudah 4 kali ke sini tapi belum pernah dapat sayuran!”, teriak Bedah, ibu muda yang sudah aku kenal sejak dia masih remaja. Suaminya seorang karyawan pabrik, yang pada masa pandemi ini, penghasilannya jauh menurun karena sistem kerja yang diterapkan jauh lebih ketat. Beruntung, katanya, suaminya tidak kena PHK. Tapi dengan penghasilan tidak lebih dari 1,5 juta sebulan, untuk membayar kontrakan rumah dan makan sehari-hari juga sebenarnya tak cukup.

Semakin banyak melihat orang datang dengan kekecewaan, karena tak mendapatkan paket gratisan, aku dan anakku, Otto, kemudian berencana merubah kegiatan Canthelan Gratis menjadi “Pasar Murah Serba 2000”. Satu orang satu kupon, berhak maksimal ambil 3-4 macam sayur atau bahan pokok yang bisa kita sediakan. Gayung bersambut, ketika iseng-iseng jalan ke kampung atas dan bilang kalau besok pagi canthelan gratisan sudah tidak ada dan diganti pasar murah serba 2000, mereka semua setuju, apalagi dari kalangan emak-emak yang selama rebutan gratisan, tidak pernah dapat apa-apa.

Ini semua juga karena ada sentilan teman “Tim Kecil Bekasi”, yang mengkritik jangan hanya bagi-bagi dong, cari formulasi yang ada unsur edukasinya. Konsisten dengan keusilan teman-teman dekat yang ikut menyumbang bukan hanya kritik tetapi duit juga, terjadiah ekplorasi ide mencari value added dalam kegiatan berbagi di masa pandemi ini.

Advokasi Makanan Sehat

Pasar Murah Serba 2000 yang kemudian lebih populer sebagai Pasar Noceng tak sekedar facelift canthelan, selain berbagi kepada warga miskin yang membutuhkan, kemudian salah satunya juga mengambil peran penyadaran kepada warga tentang pentingnya sayuran dan buah untuk kesehatan dan lain-lain. Berbeda ketika seorang ibu menerima gratisan sayuran, apapun itu akan dia terima. Tetapi Ketika mereka dibebaskan belanja 4-5 macam barang serba 2000, pada umumnya mereka memilih bahan pokok non sayuran seperti mie telur, minyak goreng, daging ayam, ikan asin dan lain-lain yang perbedaan harganya dengan di warung atau pasar memang njomplang, jauh lebih murah.

Melihat kecenderungan komposisi belanja seperti itu, Ibu Dian Trino, sebagai SPG terdepan di meja penjualan Pasar Noceng, berinisiatif untuk mewajibkan belanja dengan komposisi 2 (dua) macam sayuran dan 3 (tiga) macam barang non sayuran. Semula memang harus otot-ototan karena banyak ibu-ibu yang nolak.

“Anak saya ga suka sayuran!”
“Di rumah jarang masak sayur!”
“Saya mah yang penting nasi sama gorengan. Sayur ga harus ada!”

Begitu sebagian besar ungkapan ibu-ibu. Sesuatu yang sama sekali tidak disangka bahwa mereka kalah dengan trend anak-anak yang lebih memilih rasa gurih, asin, berlimpah micin, minyak goreng dan apapun yang serba kering. Mereka lupa pentingnya sayuran bagi Kesehatan dan juga bagi pertumbuhan ideal otak anak-anak. Mereka tak sudi repot dan beradu pendapat setiap kali jam makan datang. Mereka menyerah dan membiarkan kebiasaan tak sehat terus bertumbuh dari dapur-dapur mereka sendiri.

“Mulai sekarang semua wajib beli sayur!” begitu teriak Dian, Alex Trino, Erin dan Otto yang pagi itu melayani penjualan Pasar Noceng.

“Masing-masing wajib beli 2 macam sayuran dan 3 lainnya bebas!” kembali Dian berseru keras.

Sejak saat itulah stok sayuran yang disediakan mulai cepat habis, tak seperti awal-awal Pasar Noceng beroperasi.

“Gara-gara ini nih pak, sekarang anak-anak saya paksa makan pakai sayur!” kata seorang ibu muda yang anaknya masih TK dan SD kelas 2. “Kalau tidak mau makan sayur, lusa emak ga boleh lagi beli daging ayam di pasar Noceng!” lanjutnya.

“Bener pak, selama ini mah yang penting ada nasi sama gorengan. Kalau ada ya sambel,” tambah seorang ibu lainnya ketika kutanya apa benar kalau sebagian keluarga berpikir yang penting ada nasi dan gorengan. Mereka tak peduli pentingnya komposisi makanan sehat. Boro-boro mikir susunan jenis makanan, ada yang dimakan saja mereka sudah bersyukur.

Para Penombok Budiman

Jumat (24/7), adalah hari Pasar Noceng ke-9 dan sekaligus hari KC ke-35. Masih ada canthelan terutama kalau sayuran tidak habis di pasar noceng, yang buka 2 hari sekali. Hari-hari diantaranya tersebut kadang ada canthelan, seadanya.

Yang datang pada setiap buka pasar murah, ada sekitar 80 hingga pernah 106 keluarga pembeli. Pembelian dilakukan dengan menggunakan kupon belanja. Setiap kupon dapat digunakan untuk membeli 3 item barang di awal mulai pasar noceng buka, kemudian menjadi 4 item dan pada pasar noceng ke-8 & 9 sudah menjadi 5 item barang boleh dibeli.

Modal belanja bahan sayuran dan bahan pokok lainnya sekitar 600.000-1.200.000 rupiah setiap kali buka pasar murah. Sementara uang hasil penjualan berkisar antara 450.000-900.000 alias perlu nombok sekitar 150.000 hingga 300.000 setiap kali buka Pasar Noceng. Yang artinya untuk sekitar 80 keluarga pembeli, misalnya, subsidi yang diberikan berkisar 1.875 sampai 3.750 per keluarga pembeli. Secara agregat, dengan jumlah subsidi yang sama Ketika program canthelan, dengan model pasar Noceng ini, yang mendapatkan maslahatnya bisa mencapai 80 bahkan 100 keluarga.

Dengan uang 8.000 atau 10.000 rupiah untuk berbelanja di pasar Noceng, berapa nilai barang yang dapat mereka bawa pulang. Dari ungkapan para pembeli, harga barang apabila belanja di warung atau pasar, bisa mencapai 18.000 hingga 30.000, sekali belanja.

Dengan motto “Penyumbang Ikhlas, Penjual Bahagia dan Pembeli Jujur dan Terbantu”, kemudian datang tawaran dari para donatur budiman untuk membantu memberikan subsidi. Donasi dipergunakan untuk nomboki selisih antara pembelian dengan duit masuk hasil penjualan.

Donatur pertama adalah teman-teman “Tim Kecil Bekasi”, kemudian disusul seorang eksekutif muda sebuah perusahaan Internasional yang tinggal di bilangan Kuningan Jaksel, menyusul seorang guru besar dari Bandung, dua dermawan perempuan dari Bekasi, eksekutif muda dari Semarang, dan dua donatur dari Pondok Gede dan Serpong. Tentu, masih tersedia ruang-ruang beramal dan bersedekah bagi orang-orang murah hati lainnya.

Populer

Berita kegiatan Pasar Noceng melebar dari mulut ke mulut. Pembeli tak lagi berasal dari seputaran cluster tempat saya tinggal, tetapi sudah menarik keluarga miskin dari beberap RW setempat. Pada umumnya mereka berasal dari keluarga dengan penghasilan pas-pasan, bahkan beberapa adalah keluarga rentan (vulnerable people) pengangguran, lansia dan janda miskin.

Pemerintah Kelurahan Pengasinanpun tak kalah penasaran dan rombongan pejabat Kelurahan yang dipimpin pak Lurah berkunjung untuk menyaksikan hiruk pikuk pasar Noceng ke-9, Jumat (24/7) lalu. Tak kalah seru, hadir pula para pengurus RW setempat yang juga baru pertama kali melihat sendiri kegiatan pasar Noceng yang ada di wilayahnya sendiri.