Memahami Depresi dan Mengikis Stigma: Perspektif Klinis dalam Pencegahan Bunuh Diri

Memahami Depresi dan Mengikis Stigma: Perspektif Klinis dalam Pencegahan Bunuh Diri

Dalam upaya memperkuat pemahaman publik terhadap isu kesehatan jiwa, Ega Asnatasia Maharani, M.Psi., Psikolog, memaparkan pendekatan klinis terhadap depresi dan risiko bunuh diri dalam sebuah presentasi bertajuk “From Stigma to Support: Reframing Self Harm and Depression”. Ia menyoroti bahwa bunuh diri bukanlah tindakan impulsif semata, melainkan proses bertahap yang meliputi ideasi, perencanaan, percobaan, hingga penyelesaian. Di balik banyak kasus bunuh diri, lebih dari 90 persen individu memiliki riwayat diagnosis psikiatri sebelumnya—terutama depresi.

Salah satu konsep penting yang diangkat adalah high-functioning depression, kondisi di mana seseorang tampak berfungsi normal dalam kehidupan sehari-hari namun menyimpan ide bunuh diri secara diam-diam. Fenomena ini sering kali luput dari perhatian karena gejalanya tidak kentara, padahal risikonya sama seriusnya.

Selain depresi, faktor risiko lain yang turut berperan meliputi gangguan kecemasan, penyalahgunaan zat, gangguan psikotik, dan gangguan kepribadian. Ega juga membongkar sejumlah mitos yang masih mengakar di masyarakat, seperti anggapan bahwa depresi adalah bentuk kurang bersyukur atau lemahnya iman. Ia menegaskan bahwa depresi bukan sekadar kesedihan dan tidak bisa disembuhkan hanya dengan berpikir positif. Lebih jauh, depresi dapat menyerang siapa saja, termasuk anak-anak dan remaja.

Perilaku menyakiti diri sendiri juga dijelaskan sebagai bagian dari spektrum gangguan, baik yang bersifat non-suicidal maupun suicidal. Keduanya kerap beririsan dengan gangguan makan dan penyalahgunaan zat. Tanda-tanda fisik dan emosional yang umum meliputi kesedihan berkepanjangan, kehilangan minat terhadap aktivitas yang dulu disukai, perubahan pola tidur dan makan, kelelahan, kesulitan berkonsentrasi, penarikan sosial, serta penurunan perawatan diri seperti kebersihan pribadi.

Dalam pemaparannya, Ega juga menguraikan ragam jenis gangguan depresi, mulai dari major depressive disorder, persistent depressive disorder (dysthymia), bipolar disorder, postpartum depression, hingga seasonal affective disorder. Ia menekankan bahwa stigma dan kesalahpahaman terhadap depresi menjadi penghalang utama bagi penderita untuk mencari bantuan, yang pada akhirnya mendorong mereka pada mekanisme koping yang maladaptif dan memperburuk kondisi.

Strategi intervensi yang disarankan selaras dengan pendekatan 3L: Look, Listen, dan Link. Masyarakat diajak untuk merespons dengan empati, menghindari penghakiman, serta mendorong penderita untuk mengakses layanan profesional yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Bentuk terapi yang direkomendasikan antara lain terapi kognitif perilaku (CBT), terapi psikodinamik, terapi interpersonal, dan pendekatan berbasis mindfulness. Dukungan kelompok dan intervensi psikososial juga dinilai penting untuk mengurangi isolasi sosial.

Ega turut membahas faktor-faktor kompleks yang memengaruhi depresi, seperti disfungsi keluarga, tekanan sosial ekonomi, karakter kepribadian (misalnya neurotisisme), kondisi medis, pengaruh obat-obatan, ketidakseimbangan biokimia dan hormonal, faktor genetik, serta lingkungan. Ia mengajak masyarakat untuk memahami bahwa depresi bukanlah persoalan sederhana yang bisa diselesaikan dengan nasihat dangkal, melainkan kondisi multidimensional yang membutuhkan pendekatan holistik.

Sebagai penutup, Ega menekankan pentingnya psychological first aid—kehadiran yang tulus, mendengarkan tanpa menghakimi, memvalidasi perasaan, dan menghubungkan individu dengan layanan yang tepat. Dalam menghadapi krisis kesehatan jiwa, masyarakat ditantang untuk menjadi ruang aman, bukan ruang penghakiman. Karena dalam empati, tersimpan kekuatan untuk menyelamatkan.

*) Materi webinar selengkapnya bisa dilihat di Youtube Kagama Channel: