Oleh: Sitawati Ken Utami
Berkisah tentang batik membuat saya terhanyut pada kenangan. Ketika ibu saya tercinta, Sri Wahyuni, terbaring lemah di tempat tidur karena stroke dan lalu saya membuka lemari ibu yang dipenuhi dengan koleksi batik lawasan. Semuanya berwarna coklat sogan. Satu demi satu saya ambil dan bertanya pada ibu, apa nama batik-batik ini? Dari mana ibu mendapatkannya?
Ada satu batik yang sangat menarik perhatian yakni batik parang yang halus lembut dan membuat hati tenteram ketika menyentuhnya. Batik itu merupakan hasil karya cipta eyang putri, Sapar Uminah. Dulu para perempuan sudah terbiasa punya keahian membatik untuk hadiah atau diturunkan pada anak cucunya.
Batik parang hasil karya adiluhung ini merupakan hadiah pernikahan ibu bapak dengan tetenger (penanda) tulisan “6-12-59” pada plisiran (pinggiran) kain. Artinya batik itu selesai dibuat pada tanggal 6 Desember 1959. Entah berapa lama proses pembuatan batik tersebut. Yang jelas, kain batik itu dibuat dengan penuh cinta kasih seorang ibu kepada anaknya.
Batik parang ini merupakan batik tulis dengan motif bergaris-garis diagonal memenuhi seluruh bidang kain. Masing masing baris selebar sekitar 5-6 cm. Ada 2 baris yang berselang-seling seperti bentuk atau ornamen hurus S yang tidak terputus dari ujung ke ujung. Satu baris berwarna putih dan coklat sogan, sedangkan baris lainnya berwarna hitam dan putih. Di antaranya ada garis pembatas berbentuk kotak-kotak kecil berwarna coklat. Indah dan klasik!
Motif Parang memang dikenal sebagai motif tertua sejak jaman Mataram Kartasura. Menurut cerita sejarah, motif Parang ini diciptakan oleh Panembahan Senopati, raja Mataram, yang sedang bertapa di laut selatan. Ketika itu melihat karang yang terkena deburan ombak terus menerus sehingga menginspirasi untuk mencipta batik Parang yang bermakna semangat pantang menyerah dan berseinambungan terus menerus. Dari berbagai jenis parang, batik peninggalan eyang saya ini bernama Batik Parang Rusak. Parang itu sendiri berasal dari kata pereng atau lereng yang terlihat di pinggir laut.
Pada saat membedah batik-batik simpanan ibu, ada juga batik parang jenis lain. Batik tersebut merupakan seragam keluarga yang saya pakai ketika pernikahan kakak, mas Yudhi Hernowo tahun 1991. Dalam bentuk yang sama dengan garis diagonal, tetapi motifnya tidak hanya ornamen S yang berkesinambungan melainkan diseling dengan motif lain yakni isen-isen cecekan (berisi titik titik) yang membentuk pola bunga yang berurutan. Oleh karenanya maka batik tersebut digolongkan pada Parang Seling.
Memakai batik bermotif parang tidak boleh sembarangan. Untuk gaya Yogyakarta, plisirannya berwarna putih ditampakkan sedangkan untuk gaya Surakarta tidak boleh. Sedangkan cara memakai kainnya untuk perempuan menangkup dari kiri ke kanan badan pemakai. Apabila dilihat dari depan posisi diagonal dari atas kanan menurun ke kiri bawah.
Ada satu lagi batik Parang yang pernah saya pakai waktu acara pernikahan keponakan. Motifnya Parang Tuding karena bentuknya menyerupai jari yang sedang menuding dengan lengkungan di ujungnya. Batik yang ini diseling dengan cecek pitu (titik-titik putih berjumlah 7) yang membentuk lingkaran dan tertata secara geometris di sepanjang barisnya.
Selain batik-batik parang warisan ibu yang saya ceritakan di atas, tentu ada batik parang lain dengan jenis yang berbeda terutama dari segi lebarnya baris. Untuk baris dengan kelebaran kurang dari 5 cm disebut dengan Parang Klithik, batik yang terlihat feminim cocok dipakai untuk perempuan. Sedangkan baris dengan kelebaran lebih dari 10 cm disebut dengan Parang Barong, yang terlihat gagah dipakai untuk pemimpin atau raja di kraton.
Tidak pernah bosan saya membelai, melipat dan menghirup aroma batik lawasan yang mengingatkan pada rasa kasih orangtua dan leluhur. Batik tidak saja menorehkan kenangan indah, juga membuat hati merasa damai dan tenang.
*) Foto batik koleksi penulis