Kagama Peduli Kesehatan 3: Beberapa Pakar Bicara tentang Pembukaan Sekolah di Masa Pandemi dari Berbagai Sudut Keilmuan

Minggu (2/5/2021) pukul 09:00 – 11:30 WIB berlangsung webinar Kagama Peduli Kesehatan #3 yang diinisiasi oleh PP Kagama lewat aplikasi Zoom Meetings dan disiarkan langsung pada kanal Youtube Kagama Channel. Judulnya “Pembukaan Sekolah di Masa Pandemi: Tinjauan Aspek Kesehatan, Kompetensi dan Perkembangan Anak”. Ada tiga narasumber yang hadir, yaitu Dr. dr. Ida Safitri Laksanawati, Sp.AK, Elga Andriana, S.Psi, M.Ed, Ph.D, dan Ririn Yuniasih, M.Ed, M.Sc.Ed., Ph.D. Bertindak sebagai keynote speaker adalah Dekan FK-KMK UGM, Prof. dr.Ova Emilia, M.Med.Ed, SpOG(K)., Ph.D. Kata sambutan diberikan oleh Anwar Sanusi, Ph.D., Waketum 2 PP Kagama, dan pidato penutupan oleh Dr. dr. Cahyono Hadi, Sp. OG(K). Jalannya webinar dipandu oleh Wiwit Wijayanti dari tim Humas PP Kagama, dan Dr. Rina Triasih, M.Med(Paed), Sp.AK., Ph.D. bertindak sebagai moderator.

Anwar Sanusi mengawali acara dengan mengapresiasi kegiatan-kegiatan Kagama yang sangat bermanfaat dan menghadirkan solusi bersama di masyarakat. Bertepatan dengan 2 Mei 2021 yakni Hari Pendidikan Nasional, pembukaan sekolah di masa pandemi merupakan suatu kenormalan baru dalam menghadapi pandemi Covid-19. Tinjauan aspek kesehatan menjadi hal pertama yang diperhatikan dilanjutkan kompetensi dan perkembangan anak setelah cukup lama melaksanakan kegiatan belajar secara daring.

Prof. Ova Emilia, Dekan FK-KMK UGM

Selanjutnya Prof. Ova Emilia menjelaskan paparannya, di mana ada dua prinsip kebijakan pendidikan yang harus diperhatikan dalam pembukaan sekolah di masa pandemi, yaitu yang pertama, kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga dan masyarakat merupakan prioritas utama dalam menetapkan kebijakan pembelajaran. Kedua, tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial menjadi pertimbangan selanjutnya dalam pemenuhan layanan pendidikan selama masa pandemi Covid-19.

“Pembukaan sekolah menjadi jawaban dari kendala-kendala pembelajaran jarak jauh yang dilaksanakan semasa pandemi. Kesulitan yang dihadapi oleh guru, siswa dan orang tua baik secara masalah jaringan listrik dan internet maupun dana untuk mengaksesnya. Pembukaan sekolah bertujuan untuk meminimalisir ancaman putus sekolah, penurunan capaian belajar dan kekerasan pada anak dan risiko eksternalnya.” ujar Prof. Ova, yang menyelesaikan studi doktoralnya di University of New South Wales, Sydney, Australia

Pembukaan sekolah juga perlu memperhatikan faktor-faktor diantaranya, kondisi geografis, tingkat risiko penyebaran Covid-19, kesiapan faskes, kesiapan satuan pendidikan, akses terhadap sumber belajar, kondisi psikososial peserta didik,kebutuhan layanan pendidikan bagi anak, ketersediaan akses transportasi, tempat tinggal dan mobilitas warga antar-wilayah.

“Dalam menerapkan suatu kebijakan tidak terlepas dari sisi positif dan negatif. Namun, kebijakan tersebut harus diterapkan sebagai solusi awal dalam menghadapi bersama pandemi Covid-19 dengan penuh optimisme.” pungkas Prof. Ova.

dr. Ida Safitri Laksanawati, Dosen FK-KMK UGM

Narasumber pertama, Dr. dr. Ida Safitri Laksanawati, Sp.AK (Dosen FK-KMK UGM) memaparkan keterkaitan pembukaan sekolah di masa pandemi dengan kesehatan anak. Mengawali paparannya dengan data epidemiologi kasus Covid-19 pada anak dengan persentase 13.6 % dari total kasus di Amerika Serikat atau sekitar 3,63 juta anak terinfeksi Covid-19. Menurut WHO, data global anak yang terjangkit virus Covid-19 sudah mencapai 8,5 % dari total kasus global. Walaupun angka tersebut rendah dari kategori umur lainnya. Namun, patut diawasi dan dicegah penularan dan transmisinya. Merujuk pada data DIY per 25 April 2021, anak yang terinfeksi covid-19 berjumlah 4227 atau sekitar 11,2% dari total kasus (38.355) dengan angka kesembuhan 3795 jiwa dan meninggal 5 jiwa.

“Penularan covid-19 pada anak jauh lebih rendah dibandingkan kategori usia lainnya. Namun penularan terjadi dari orang dewasa kepada anak sehingga perlu pencegahan dalam memutus transmisi virus terkhususnya pada penularan di sekolah.” ucap dr. Ida.

Menurut WHO dan UNICEF, Prinsip pembelajaran di masa pandemi dilaksanakan dengan menjamin kegiatan akademik dan perkembangan anak yang aman dan memadai. Penerapan pembelajaran daring meminimalisir risiko penularan Covid-19 di sekolah. Meminimalisir tersebut dapat dilakukan dengan memantau potensi sekolah sebagai sumber penularan di masyarakat dan memastikan upaya pencegahan di sekolah yang terintegrasi dengan masyarakat.

“Keputusan pembukaan sekolah di masa pandemi harus mempertimbangkan level transmisi lokal. Poin-poin yang harus dipenuhi antara lain, ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan, mampu mengakses fasilitas layanan kesehatan, kesiapan mewajibkan pemakaian masker, memiliki alat pengukur suhu / thermogun, memiliki pemetaan warga satuan pendidikan, dan mendapatkan persetujuan komite sekolah / perwakilan orang tua dan wali murid serta menerapkan tahapan pencegahan yakni respiratory hygiene, hand hygiene, physical distancing.” demikian dr. Ida mengakhiri paparannya.

Elga Andriana, Dosen Fakultas Psikologi UGM

Narasumber kedua, Elga Andriana, S.Psi, M.Ed, Ph.D (Dosen Fakultas Psikologi UGM) melihat pembukaan sekolah di masa pandemi dengan sudut pandang permasalahan yang dialami anak selama pandemi Covid-19. Ada dua hal penting yang diperhatikan dalam menyiapkan anak kembali ke sekolah yakni sosial emosional dan akademik. Perkembangan sosial emosional anak dan transisi sekolah menjadi sorotan utama dalam pembukaan sekolah di masa pandemi.

“Pengalaman yang dialami anak di masa pandemi antara lain, social isolation, financial hardships, domestic violence, trauma dan contact Covid-19. Transisi sekolah dimasa pandemi harus melewati tiga tingkatan, yakni tingkatan universal intervention dengan memperhatikan seluruh peserta didik dalam aspek preventif dan proakatif. Tingkatan selanjutnya, targeted group intervention dengan memperhatikan tingkat risiko penularan pada sebagian peserta didik, Tingkat efisiensi dan mitigasi pencegahannya. Terakhir, intensive individual interventions dengan memperhatikan aspek individual peserta didik berbasis assessment dan menerapkan prosedur yang berlaku di masa pandemi.” ujar wanita yang menyelesaikan studi doktoralnya di University of Sydney, NSW, Australia tersebut.

Elga menambahkan, pembukaan sekolah di masa pandemi harus dibarengi dengan psychoeducation dengan mempertimbangkan emotion awareness, student’s resilience, protective factors, healthy coping skills dan self-regulation. Melakukan social emotional screening dengan mengidentifikasi dan melakukan supporting terhadap risiko yang dihadapi oleh peserta didik. Intensif dalam menangani trauma dan stress pada peserta didik yang menyandang disabilitas dan peserta didik dengan tingkat social emotional screening rendah.

“Perlu diajarkannya perilaku adaptif kepada anak. Sehingga anak siap dan mampu menghadapi pembukaan sekolah di masa pandemi.” demikian pungkas Elga.

Ririn Yuniasih, Ph.D.

Narasumber ketiga, Ririn Yuniasih, M.Ed, M.Sc.Ed., Ph.D, menjelaskan pembukaan sekolah di masa pandemi ditinjau dari kesiapan penyelenggaran pembelajaran. Diawali dengan pendidikan dan pandemi yang memunculkan disrupsi perubahan dan ketidakpastian, di mana terjadi perubahan yang sangat cepat dan tak terduga dan banyaknya bagian yang hilang dari tatanan sebelumnya. Timbulnya uncertain atau ketidaktahuan kapan dan bagaimana pandemi akan berakhir secara pasti.

“Perubahan dan ketidakpastian tersebut berdampak pada bidang pendidikan. Pembelajaran selama pandemi menemui beberepa problematik diantaranya orientasi belajar yang hanya fokus pada content-based, preskriptif dan prosedural cenderung kaku dan minim eksplorasi dan adaptasi, upaya penyeragaman pada anak, dan fokus pada penilaian akademik.” ujar Ririn Yuniasih yang saat ini sedang berkarir sebagai Peneliti di Monash University.

Menurut Ririn, pembelajaran jarak jauh banyak mengalami kendala dalam aspek ketersediaan akses dan fasilitas. Pembelajaran selama pandemi perlu beradaptasi dan melakukan inovasi. Mengutamakan wellbeing, berfokus pada pemaknaan dan menguatkan dimensi etis antara lain keadilan sosial, kesetaraan suara dan hak anak. Menyiapkan ekosistem pendidikan yang bertujuan untuk mencapai kompetensi dan wellbeing pada anak. Mengutip trisentra pendidikan dari Ki Hajar Dewantara yakni, kolaborasi, kemitraan dan partnership.

“Kebijakan pemerintah yang mulai menerapkan pembelajaran tatap muka atau PTM terbatas pada Juli 2021 harus memprioritaskan protokol kesehatan, perbedaan perlakuan pada zona hijau, kuning dan merah. Pendidikan di era new normal dapat dilakukan dengan berbagai macam praktik diantaranya homeschooling, blended learning, online education, dan flexible school schedule.” ucap Ririn mengakhiri presentasinya.

Seluruh pembicara bersepakat kesiapan dalam pembukaan sekolah di masa pandemi adalah aspek utama yang harus diperhatikan. Lamanya siswa belajar di rumah dan sistem pembelajaran daring membuat peserta didik harus didampingi secara sosial emosional dan akademiknya untuk keberhasilan transisi pendidikan kembali ke sekolah Memperhatikan protokol kesehatan dan pencegahan penyebaran serta transmisi virus Covid-19 harus diterapkan demi kembalinya peserta didik ke sekolah dengan aman. [arma]

*) Materi selengkapnya bisa disaksikan di Youtube Kagama Channel: